Kenapa harus rel kereta? Iya, memang seperti itu kenyataanya. Rel kereta selalu berdampingan tetapi tak akan pernah bisa bertemu, tujuan kita berbeda.
Baru saja dia menghilang di tikungan ujung jalan itu, jarang sekali dia mengenakan sarung dan baju koko putihnya. Aku masih terduduk diam di bawah pancaran sinar lampu di pertigaan jalan ini. Tak kuasa kutahan lagi akhirnya mengalir juga air ini, air mata akibat keputusanya yang telah menohok setiap relung hatiku. Aku memeluk erat tubuhku sendiri karena angin malam menerpa leganku yang tak tertutup kain dan juga betisku yang menggigil ditiup dinginya hawa malam. Aku mencoba mengingat setiap kata yang diucapkanya tadi dan mencerna apa maksud dari perkataanya.
“maaf sebelumnya tapi ini harus aku katakan sekarang sebelum perasaan ini terlalu dalam mencengkeram hatiku” dia memulai permbicaraan. “apa maksudmu?” Jawabku tidak mengerti. “aku sekarang telah sadar, kita berbeda dan tidak mungkin bersatu. Aku tidak mau membuat kamu menderita dengan perasaan yang tidak seharusnya ini.” lanjutnya. “aku masih belum mengerti, sebenarnya apa maksudmu?” aku semakin tak paham. “mulai sekarang kita harus mengakhiri hubungan ini, aku sedang berusaha berubah dan aku mohon sama kamu jangan ganggu prosesku ini” “tapi kenapa dulu kamu sendiri yang memintaku? Jawab!?” mataku tajam memandangnya. “aku minta maaf, sungguh aku merasa bersalah atas keputusanku dulu, maafkan aku” dia menunduk. “terus apa kamu pikir, hanya dengan kata maaf bisa menghilangkan rasaku terhadapmu yang sudah tertanam ini?” “aku juga sulit untuk melakukanya tetapi aku harus melakukanya sedikit demi sedikit, kamu juga harus berusaha” “kamu egois, dasar egois!” ucapku sedikit berteriak. “aku tau, aku egois. Kamu juga berhak untuk egois sepertiku, gunakan hak egoismu itu. Sekali lagi aku minta maaf dan terimakasih untuk semuanya” “terserah, aku tidak mau mendengarkan apa yang kamu katakan dan aku tidak mau melihatmu lagi!!!” kali ini aku benar benar berteriak. “aku pergi…” Aku tak lagi menjawabnya, aku tak sanggup mengeluarkan kata kata lagi dari mulutku, rasanya sudah beku tatapanku kosong memandang ke sembarang arah.
Mengapa aku? mengapa harus aku yang merasakan ini. Setelah rangkaian kenangan manis yang tertaut indah menghiasi kisah kita, aku dan kamu. Aku mencoba menormalkan deru nafasku setelah air mataku menetes, kuharap dengan begitu akan sedikit menenangkan hatiku saat ini, tapi ternyata tidak bisa. Aku mengambil beberapa tisu dari tasku dan mulai menghapus tetesan air mataku, pikiranku sudah tak mampu berpikir dengan jernih karena dikeruhkan oleh hati yang sudah menjadi kepingan kecil yang aku sendiri tak yakin jika dapat menyatu kembali. Lalu? Apa yang harus aku lakukan sekarang.
Namaku Meyra dan aku adalah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Semarang dan dia yang telah menyakitiku namanya Rifqi, kita sudah menjalin hubungan lebih dari satu tahun sejak hari terakhir kegiatan penerimaan mahasiswa baru. Aku bahkan masih ingat betul dulu waktu sudah hampir malam karena acara baru saja selesai, rifqi menghampiriku menanyakan siapa namaku dan meminta kontakku. Rifqi yang memang menurutku menarik tanpa berfikir panjang aku menyebutkan namaku dan memberikan nomor teleponku kepadanya, dia tersenyum sangat manis akupun tanpa sadar membalas senyumanya. “terimakasih mey, nanti aku hubungi ya” ucapnya ramah. “eh iya” jawabku yang masih memandang wajahnya.
Siang berganti malam, kumpulan awan hitam meluruh menjadi titik hujan yang menenangkan dan juga hatiku yang tersesat jauh dalam labirin cinta yang telah dibuat olehnya. Semakin aku memasukinya semakin aku tak mampu keluar dan akhirnya aku turuti saja kemana hatiku melangkah, berharap di ujung labirin ini akan kutemui dia yang tersenyum membawa bunga. Kita mulai saling balas membalas pesan mesra melalui benda pintar berbentuk kotak dengan aplikasi yang identik dengan warna hijau itu. Di setiap waktu pasti ada saja pesanya yang membuatku menarik simpul bibirku lalu membentuk sebuah senyuman dan bahkan aku sampai tertawa dibuatnya. Bukan hanya di dunia semu saja, tetapi dalam dunia nyata dia juga memperlakukanku bak seoarang putri mahkota yang jelita, mulai dari mengantar jemputku saat kuliah, sering memberikan kejutan kecil walaupun hanya sekuntum bunga melati yang dipetiknya di depan fakultas dan menungguku dengan setia ketika aku beribadah, pun juga aku menunggunya saat dia ibadah. Inilah yang menjadi hal yang sampai sekarang aku tak pernah berani menanyakanya, kita berbeda kepercayaan. Dalam hubungan ini entah siapa yang salah, apakah aku yang telah menerimanya, ataukah dia yang dengan berani memintaku, atau mungkin diantara kita tidak ada yang bersalah, atau kita berdua bersalah. Tapi sudahlah, aku tak mau lagi membuat pikiranku sendiri pusing memikirkan hal yang rumit itu, rifqi juga sepertinya tak mempermasalahkan perihal kita berbeda keyakinan. Kita berdua sekarang bahagia menikmati proses ini dan pasti nanti juga akan ada jalan keluar dalam masalah ini.
“liburan semester ini kamu mau kemana aja?” tanyaku antusias. “bapakku mau agar aku memperdalam ilmu agamaku di pesantren” jawabnya datar. “kamu tidak salah, lalu kamu mau?” aku mulai khawatir. “ini keinginan bapakku jadi aku tak bisa menolaknya” masih dengan jawabnya datar dan memandang ke sembarang arah.
Aku tak sanggup lagi melanjutkan pertanyaanku, terbayang jika aku dan rifqi tidak bisa saling menghubungi selama liburan yang hampir dua bulan sudah membuat kacau. Rambut sebahuku melambai-lambai tertiup angin diiringi daun kering yang jatuh berguguran semakin membuat suasana hening dengan sejuta pertanyaan menyelimuti kita berdua.
Dugaanku tak meleset walau hanya satu millimeter, kita sama sekali tak saling berkirim pesan selama hampir dua bulan. Hatiku serasa dipermainkan oleh perasaanku sendiri, dulu dia yang selalu ada untukku sekarang bak hilang ditelan oleh keputusanya. Walaupun seperti itu namun perasaanku untuknya tak berubah sedikitpun, aku masih tersesat di dalam labirin hatinya bahkan sekarang labirin itu semakin membuatku pusing dengan ketidakpastian. Aku belum menemukan jalan keluar dari labirin ini dan juga belum mendapatinya di ujung labirin dengan bunga di tanganya.
Aku berjalan malas menyusuri jalanan kota ini, lampu penerang jalan berjejer rapi melaksanakan tugas mulia memberikan pelita kepada siapapun yang melewatinya, bola mataku menangkap sosok laki-laki tengah duduk di salah satu tempat duduk di pertigaan jalan itu, aku seperti mengenalnya, iya dia rifqi tapi kenapa dia terlihat sangat berbeda dengan sarung dan baju koko menutupi tubuhnya. Apapun itu aku tak peduli yang penting sekarang aku sudah kembali menemukanya dan mulai terbayang kisah-kisah indah yang akan aku ukir bersamanya lagi.
Aku berjalan menghampirinya dan memberikan pertanyaan bertubi-tubi, tetapi semua angan-anganku denganya lenyap tak tersisa bagaikan kepulan asap yang hilang tertiup angin kencang. Perkataanya sungguh sudah sangat telak menohok setiap relung hatiku, sekarang rasanya aku ingin berlari entah kemanapun arahnya yang penting segera keluar dari labirin cinta ini.
Aku sadar, kita memang berbeda. Bagaikan rel kereta yang selalu berdampingan namun tak akan pernah bisa bertemu pada titik sama. Aku menerima keputusanmu, tetapi aku tetap yakin rel kereta pasti ada ujungnya, walaupun tidak saling bertemu namun di ujung itulah yang memaksa kita berhenti lalu saling menoleh kemudian memandang satu sama lain.
Cerpen Karangan: Ahmad Rosidi Blog / Facebook: facebook Ahmad Rosidi Cerita ini teruntuk sahabatku dwi handayani, selamat ulang tahun ya buat bapak kamu, semoga sehat selalu dan tetap menjadi sosok pria tangguh untuk kamu salam pena!