“Nih” meberikan tisu di hadapanku. Kukira itu adalah Dito tapi ternyata itu Rudy. “Makasih” jawabku dan langsung menghapus air mata. “Kamu tidak seharusnya berkoban sejauh ini” katanya “Maksudmu?” Tanyaku “Aku tau, kamu sangat menyayangi Dito, aku tau kamu hanya berpura-pura bahagia tapi sebenarnya kamu sangat terluka ditempat asing yang hanya ada dirimu” jelasnya dengan panjang lebar, sepertinya dia juga menahan sesak. “Dari mana kamu tahu?” Tanyaku karena begitu kaget dengan penjelasan yang diberikan Rudy. Dia memberikanku buku. Ya aku tau itu adalah binderku dari mana dia mendapatkannya. “Ini aku temukan di rumah pohon belakang sekolah, maaf jika aku lancang. Membaca semua privasi yang tak seharusnya ku tau” jelasnya seakan-akan tau aku menuntut penjelasnnya. Aku baru ingat setelah aku melihat Dito dan Elga aku bergegas ke rumah pohon mengambil tas sehingga binderku tertinggal. “Tapi kumohon jangan kamu beritahu siapapun, kumohon padamu Rudy” aku memohon dengan suara yang sangat lirih. “Tapi kamu harus janji sama aku” balasnya. “Apa?” Tanyaku bingung. “Kamu harus selalu bagi luka kamu dengan aku. Tidak ada yang boleh kamu pendam sendiri” pintanya. “Tapi mengapa kamu sangat peduli padaku?” Tanyaku kepada Rudy. “Karena aku juga merasakan hal yang kamu rasakan Sistya, aku tau bagaimana rasanya mencitai seseorang tapi orang itu malah mencintai orang lain” jawabnya “Benarkah?” Tanyaku memastikan Rudy hanya mengangguk pelan. “Hahahaha” tawaku pecah “Aku jadi penasaran siapa wanita yang telah mencuri hati sahabatku yang paling rese ini” timpahku “Ayo dong Dy siapa dia? Beritahu aku? Kumohon Dy” kutimpahkan bertubi-tubi pertanyaan padanya. “K.E.P.O” jawabnya memberi tekanan pada setiap hurup yang diejanya. Seketika aku kesal dengannya aku kedepankan bibirku hingga maju 5 cm lalu kita tertawa bersama-sama.
Aku berjalan menelusuri trotoar dengan dipayungi sinar matahari yang begitu sangat bersemangat menerangiku. Tapi tidak dengan hatiku, hatiku masih begitu hancur masih dalam kegelapan, belum kutemui sedikit cahayapun disana. Aku berjalan begitu lemas, pikiranku seakan-akan melayang aku berjalan dengan tatapan kosong tak ada kesadaran di diriku ini hampa semua terasa hambar. Seketika kurasakan tubuhku terdorong aku melayang dan seketika aku terbanting begitu kencang, banyak orang yang mulai mengerumuniku. Ternyata aku tertabrak sebuah mobil yang melaju kencang saat aku hendak menyebrang, karena pikiran ku yang kacau akhirnya terjadilah seperti ini. Lalu semua terasa begitu gelap sangat gelap tapi aku tak merasakan sedikitpun ada sakit di tubuhku.
Cahaya aku melihat sedikit cahaya, kudekati asal cahaya itu datang. Lalu aku duduk menundukkan kepala aku bertanya pada diriku sendiri. Mengapa aku masih tak mengenali tempat ini. Dimana aku sekarang, tapi tak ada rasa takut sedikitpun kurasakan ketenangan disini. Kulihat banyak burung berterbangan tapi bukan burung nyata, aku hapal itu burung-burung harapan yang kubuat. Satu persatu mulai berjatuhan di kanan dan kiriku. Setelah selesai kubuka dan kubaca kembali harapan-harapan yang kubuat ternyata mereka memisahkan diri mereka. Burung yang menjatuhkan diri di sebelah kananku adalah semua harapan yang telah aku dapatkan sedangkan di sebalah kiri adalah kebalikannya. Mulai kulihat lagi banyak burung berterbangan kesana kemari mengelilingiku tapi aku yakin ini bukan buatanku. Lalu salah satu dari mereka menjatuhkan diri, kubuka dan kubaca -tolong kembali- aku mengingat-ingat tulisan yang tak asing itu. Aku ingat itu adalah tulisan Rudy, kemudian burung- burung itu mulai membawaku ke tempat yang semakin terang lalu mereka menjatuhkanku begitu saja.
Sedikit cahaya mulai menerobos masuk ke arah penglihatanku, kucoba kenali tempat ini. Begitu banyak burung kertas yang digantung diatap sehingga mereka terlihat seperti hidup. “Dokter dok teman saya sudah sadar” suara itu kutau suara itu adalah suara Rudy. “Tante Sistya sudah sadar” teriaknya lagi. Kemudian dokter dan ibuku datang, dokter mencoba memeriksa keadaanku, sementara ibu hanya menangis haru melihat aku tersadar. Aku bingung apa yang terjadi pada diriku. Tubuhku terasa begitu nyeri, perih kurasa di sekujur tubuhku. “Alhamdulillah kamu sudah sadar nak” ucap syukur ibu sembari menciup keningku. “Kamu sudah hampir seminggu tak sadarkan diri, kamu kecelakaan” jelas Rudy yang seakan tahu apa yang kupertanyakan. Aku tersenyum padanya lalu dia membalasnya. Tapi aku tidak melihat Dito, dimana dia? Atau sedang bersama Elga? Karena aku juga tidak melihatnya.
Dua hari setelah aku sadar Rudy selalu mengunjngiku, menghabiskan waktunya untuk menemaniku. Kuambil kalung sepotong hati yang di dalamnya hanya tersisa fotoku. Kuberikan kepada dengan memberinya senyum. Kurasa dia begitu paham apa yang aku inginkan Rudy menerimanya lalu membalas senyumku.
Ada seseorang masuk ke dalam tempat aku terbaring lemah. Sosok yang selalu kurindukan Dito anak laki-laki yang menghancurkan setengah hatiku. Lalu di belakangnya disusul Elga, nampaknya mereka datang bersamaan mengingat mereka adalah pasangan kekasih. Aku hanya tersenyum kepada mereka, rasa sesak sudah tidak lagi ada entah apa yang membuatnya pergi. “lo cepet sembuh yah, Dita sikembarang gua yang paling gua sayang ini” kata-kata Dito membuat setengah hati yang masih kupunya kembali kokoh. Aku harus ikhlas menerima jika Dito bukan untukku. Aku hanya tersenyum, aku tidak terlalu kuat untuk mengatakan satu katapun pada mereka.
Tiba-tiba sesak sangat terasa di dadaku, dokter mulai memasangkan alat medisnya pada tubuhku. Aku meresa tubuhku tergoncang-goncang tanpa sedikitpun rasa sakit yang kurasa. Gelap semua gelap tak kurasakan lagi alat-alat medis itu. Aku hanya mendengar tangis yang begitu pecah dari sekelilingku. Aku sudah tidak ada di dunia ini aku pergi dengan wajah tersenyum karena aku telah memberikan sisa hatiku untuk dia. Dia yang selama ini menantiku.
Telah berlalu seminggu aku pergi meninggalkan semuanya. Mereka datang kemabali ke rumahku. Ibu memberikan buku binder dan setoples burung kertasku pada Dito. Dia buka lalu dibacanya satu persatu kata yang kutulis melukiskan persaanku pada dirinya.
Dear Dito Aku sigadis lemah yang telah jatuh hati padamu sejak sekolah dasar, sejak aku belum mengenal cinta. Yang kurasa hanyalah kenyamanan bila di dekatmu. Sampai rasa takut kehilangan terhadap dirimu semakin hari semakin menghantuiku. Bahagiaku selalu tak terbedung saat berdua bersamamu menghabiskan semua waktu yang kupunya hanya denganmu.
Ketika kamu menjalin kasih dengan gadis lain yang tak lain adalah sahabatku sendiri, aku mulai rapuh aku benar-benar terpukul, hingga setengah hatiku telah pecah untukmu. Setiap malam kutangisi kisah cinta kalian hingga mataku begitu bengkak dan terasa sangat berat. Kau ingat ketika kau selalu bertanya dengan keadaan mataku di pagi hari? Aku menjawabmu dengan senyuman dan “ini nih biasa gara-gara keasikan baca novel jadi lupa tidur deh gua” kau selalu percaya pada setiap kata-kata dustaku. Aku tidak tau harus merebutmu kembali atau tetap membiarkanmu dengan dia.
Aku selalu menyalahkan keadaan dan waktu, mengapa kamu pilih dia Dit? Padahal aku yang telah kau kenal lama. Setiap kemesraan yang kalian tunjukkan di depanku itu sangat membuat aku sakit, sesak dadaku menyaksikan semuanya, mata yang mulai memanas hingga sesekali aku tidak bisa mengontrolnya untuk tidak jatuh di hadapan kalian. Di lubuk hatiku aku sangat menyesal telah memperkenalkan kalian, sedia menjadi jembatan untuk kalian bersama. Bersama itu pula aku terluka, dibalik senyumku hati yang kupunya selalu menangis ia menjerit memintaku untuk menghentikannya.
Aku hanya gadis lemah dan rapuh yang tak sanggup melalukan apupun. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk membuat hatiku sedikit tenang. Aku juga tidak tau kamu akan tau atau tidak dengan persaanku ini tapi aku harap ketika kamu menemukan buku ini dan membacanya aku sudah memberikan setengah hatiku pada orang lain, yang akan dengan tulus menjaganya dengan penuh ikhlas tanpa tekanan.
Itu lembar terakhir di dalam binderku. Dito hanya menangis membacanya seakan-akan menyalahi dirinya sendiri. “Ditaa aku menyayangimu” suara Dito dengan tangisnya. “Sistya aku minta maaf telah merebut kepunyaanmu yang kuambil tanpa permisi” tangis Elga tak kalah histeris dengan Dito.
Selanjutnya toples itu mulai dibuka satu persatu burung itu diambilnya. Dia buka harapan-harapan yang kugantung padanya. Di burung yang terakhir Dito membuka -aku ingin kalian bahagia tanpa aku sebagai perusaknya- jelas Dito tau betul itu kata-kataku untuknya dan Elga. Ibu kembali datang membawakan sepucuk kertas dan satu burung kertas, kali ini ibu berikan kepada Rudy.
Dear Rudy Cowo rese yang kujuluki kutu kupret, aku begitu mengal baik dirimu. Oh iya aku mau ucapain makasih sama kamu yang telah bertahan dengan luka yang kuberikan. Aku tau kau menyukaiku, aku juga tau kau begitu terluka saat aku menangisinya. Kamu gak usah heran kenapa aku bisa tau. Karena sebenarnya aku itu bisa baca pikiran orang. Pasti sekarang kamu tidak percaya kan? Ketika kamu baca surat ini mungkin aku telah tiada. Kamu ingat dengan kalung sepotong hati yang kuberikan? Tolong kamu jaga baik-baik kalung itu, karena hanya setengah hati yang bisa kuberikan padamu. Aku yakin kau juga tau bahwa setangah hatiku yang lain telah hancur. Di setengah hati itu bisa kau buka di dalamnya ada foto anak kecil perempuan dengan senyum yang begitu manis. Iya itu adalah aku. Aku juga menyayangimu Rudy, Sistya Pradita juga mencintaimu.
Mata Rudy kian berkaca-kaca buliran itu keluar dari kelopak matanya. Lalu dia buka burung kertas itu -aku harap kamu bahagia terus- kata yang terselip di burung harapan itu. “Sistya, aku menyayangimu teramat sangat, maaf karena aku tak sanggup mengungkapkannya padamu karena aku terlalu takut” suara Rudy yang lemah. Lalu Rudy pandang lekat-lekat kalung itu, dikecupnya dengan penuh kehangatan. “Aku akan menjaga setengah hatimu sis” janji Rudy.
Cerpen Karangan: Lilis Ulfah Andriyani Blog / Facebook: Lilis Ulfah