Waktu menjadi berjalan lambat saat kau benar-benar kehilangan seseorang. Saat dia benar-benar tak ada di sisimu lagi, hidupmu menjadi semakin kosong. Tak ada lagi tawanya, senyumannya, bahkan deru napasnya yang bisa kau ketahui. Kau kehilangan dia dan bayangannya di hari-harimu. Membuatmu… sangat merindukannya.
Andai saja, aku hanya berandai. Dia masih menggenggam erat tanganku dan tertawa bersamaku saat ini, semua ini tidak akan sesakit ini. Andai, dia tidak pergi begitu cepat dan meninggalkan semua penyesalan hebat dalam hidupku, semua tak akan membuatku kecewa separah ini.
Saat melihatnya di foto tersenyum dengan cantiknya, hatiku sakit. Saat melihatnya tertawa di foto membuat hatiku ngilu. Saat melihat hal yang dia suka, aku mengingatnya. Saat-saat musim yang paling disukai terjadi, membuatku sakit. Aku menyesal telah melewatkannya begitu saja.
Dulu, mengucapkannya begitu sulit. Bahkan begitu sulit saat berlatih di depan kaca sambil membayangkan wajahnya. Dia memang mempesona. Hingga aku tak bisa berpikir dengan jernih. Dia memenuhi semua ruang dalam tempurung kepalaku, singkatnya, dia menguasai otakku.
“Aku merindukanmu,” sekarang kata itu bebas mengalir. Tapi percuma, dia telah pergi sangat jauh. Dan itu membuatku semakin menyesali semuanya. Semua yang terjadi hingga aku bisa dengan bodohnya kehilangan dia.
“Jung Kook?” panggil sebuah suara membuyarkan semua kenanganku tentangnya. “Ya?” Jin berdiri di belakangku. Orang itu tersenyum saat tanganku meletakkan kembali foto orang itu. Wajah Jin cerah, meskipun kesedihan di sana masih terlihat dengan jelas. Wajah itu selalu seperti itu. Sejak saat itu, Jin memasangnya dengan setia. “Sudah saatnya, kita harus pergi.” “Hyung… aku.. tidak bisa pergi..”
—
Musim dingin terjadi di bulan agustus. Saat aku menemukanmu untuk pertama kalinya. Butiran salju jatuh menapaki bumi di hari yang dingin itu. Kau berdiri di bawah pohon maple yang kehilangan daunnya, dengan syal tebal melilit lehermu. Tanganmu membuka menangkap mereka dengan seulas senyum di bibirmu. Kau begitu indah.
Seperti butiran-butiran salju yang turun dari langit, akankah aku mendapatkanmu jika aku menjadi mereka? Akankah lebih mudah bersamamu jika aku adalah mereka yang bisa membuatmu terseyum?
“Kang In Ha!” “Hey! Tuan Jeon!” Aku menjadi bodoh. Itu terjadi begitu saja. Itu semua karenanmu. Sejak saat itu. Aku ingin selalu ada untukmu dan menggenggam tanganmu. Aku ingin memberikan rasa yang hangat, di musim yang dingin itu. Aku ingin menjaga hatimu dari rasa dingin yang mungkin membekukan itu. Aku tidak ingin kau sakit hingga kita mendapatkan musim semi yang kita inginkan.
Aku ingin melihatmu seperti bunga-bunga magnolia yang bermekaran di musim semi yang indah di tahun setelahnya dan setelahnya lagi. Aku ingin selalu bisa menemanimu. Menjadi hal yang berharga yang kau sukai. Seperti mereka yang membuatku bahagia, aku juga ingin membuatmu bahagia. Sama seperti itu. Aku memulai semuanya dengan satu langkah lebih maju, memberanikan diri menjadi seorang yang lebih dekat denganmu, Teman.
“Hey! Kenapa bediri di sana bodoh!” Tawamu begitu nyaring saat memanggilku mendekat, meskipun sebenarnya itu sebuah candaan humor yang sangat aku benci. Aku tetap bahagia meskipun kau memanggilku bodoh. Walaupun sebenarnya aku tidak benar-benar bodoh. “Berhenti memanggilku bodoh. Aku tidak bodoh!” Kau selalu mengusap kepalaku saat aku marah. “Aigo.. apa nunna membuatmu marah? Maaf..” Aku selalu menyukainya saat kau melakukannya, meskipun aku sadar, kau tidak lebih tua dariku. “Kita hanya beda beberapa hari, apa aku harus memanggilmu nunna?” “Aigo.. tuan Jeon. Kau benar-benar dingin padaku..” Dan saat itu kita tertawa bersama. Di tengah musim dingin dengan hati yang terasa hangat.
—
Salju turun sedikit demi sedikit, semakin sedikit hingga akhirnya mulai pergi. Aku merindukanmu, sampai kapan aku harus menahannya? Berapa lama aku harus menunggumu? Berapa lama lagi tidurku harus terusik oleh kenangan tentangmu? Aku tidak menyesalinya, mengenalmu. Tapi aku sekarang menyesali kebodohanku karena membiarkanmu pergi begitu saja. Aku membiarkanmu pergi tanpa tau bagaimana perasaan sebenarnya yang aku miliki padamu.
Sepanjang malam yang aku habiskan tanpa tidur, aku menantikan kedatanganmu. Itu semua penantianku untuk bertemu dengamu. Menantikan langkah-langkahmu untuk menujuku. Berlari mendekat dan menyembuhkan seluruh rasa rinduku. Mengenyahkan semua rindu itu pergi.
“Sampai kapan?” tanya Jin saat dia bertemu denganku. “Sampai musim semi” aku selalu menjawab seperti itu.
Melewati ujung musim dingin yang begitu dingin sampai hari-hari menjadi dingin, hari tanpamu begitu berat. Saat butiran salju turun semuanya menjadi lebih lambat, semua penantianku. Tapi sekali lagi, kata-katamu mampu membangkitkanku.
“Musim dingin bukanlah musim yang patut kita benci, meskipun musim semi lebih indah. Inilah musim yang akan mengantarkanmu pada kebahagiaan musim semi yang sangat kau kagumi. Percayalah.. tak akan ada musim semi jika tak datang musim dingin.”
Aku membiarkan diriku tenggelam dengan semua kenangan-kenangan tentangmu yang tak mau pergi. Semuanya enggan meninggalkanku dan memilih tinggal. Ini bukan hanya tentang cerita masa lalu, tapi tentang kita dan musim semi yang kita nanti.
“Aku hanya harus bertahan sampai bunga-bunga bermekaran. Tolonglah, biarkan aku tinggal sedikit lebih lama.” Jin menundukkan kepalanya. Dia tidak lagi bisa menatapku.
—
Entah siapa yang berubah di antara kita. Kau begitu membencinya dengan tiba-tiba. Kau menjauh. Kau menghilang dari hariku dengan begitu tiba-tiba. Meninggalkanku dengan tanda tanya besar yang tak terjawab oleh jawabanku sendiri. Semua logikaku, enyah entah kemana. Kau membenciku. Kau meninggalkanku tanpa sepatah katapun dan pergi menghilang seperti angin. Hanya seperti itu, dengan alasan yang hanya kau ketahui sendiri. Tapi aku tidak pernah sekalipun melupakanmu. Tidak sekalipun berhenti memikirkanmu.
Jujur, aku harus mulai melupakanmu. Ini sudah terjadi sekian tahun. Aku harus menghapusmu untuk melanjutkan hidupku. Karena itu jauh lebih sakit. Lebih menyakitkan daripada menyalahkan semuanya padamu. Kau membuatku jatuh ke dalam dilema.
“Kita benar-benar harus pergi.” “Biarkan aku! Biarkan aku disini, Hyung!” Aku benci mengeluarkan semua rasa sakit ini. Seperti asap yang mencemariku, seperti karbon dioksida yang meracuniku. Meskipun aku katakan akan menghapusmu, tapi aku tidak bisa benar-benar membiarkanmu pergi karena masa lalu kita. “Kau selalu keras kepala. seperti batu! Aku menyesal mengenalkannya padamu!” Meskipun Jin benar. Aku benar-benar tidak bisa membencimu.
—
Musim dingin memang musim yang panjang, membuatku semakin mengingatmu. Merasakan rasa tersiksa yang amat sangat karena rindu ini. Semuanya menjadi sangat berat untuk ku rasakan. Karena perjalanan yang masih panjang ini sangat melelahkan.
Kau tau semua itu. Kau pasti mengetahui semuanya. Kau adalah teman, sahabat terbaik yang pernah aku punya. Itu semua pasti pilihan yang sangat berat. Tapi kau benar-benar memilihnya. Kau memilih diam dan tak mengatakan apapun. Kau tau pagi yang sangat cerah akan datang. Tanpa adanya kegelapan dan rasa dingin di udara yang menyelimutinya. Kau tau musim dingin tak akan berlangsung selamanya. Kau tau semuanya, hingga takdir kita. “Hanya beberapa malam lagi. Aku akan menemuimu dengan tangan terbuka dan rasa bahagia. Dengan diiringi musim semi bersama mekaran bunga warna-warni yang akan membuatmu senang.” Kau membuatku percaya, musim semi yang indah benar-benar ada. “Kita benar-benar harus pergi sekarang. Apa kau benar-benar ingin melakukan ini padaku?” Jin meneteskan air matanya. Itu adalah pertama kalinya dia menangis setelah sekian lama. Aku tau itu begitu menyakitkan untuknya. Tapi.. aku benar-benar tak bisa pergi. Aku ingin di sini dan pergi jika memang sudah waktunya. “Biarkan aku sedikit lebih lama Hyung” aku tidak ingin kehilangan dia lagi. In Ha. “Tapi Dokter tak akan bisa menunggumu!” “Hyung!” Aku benar-benar tak ingin melewatkannya.
—
Melewati musim dingin memang melelahkan. Begitu dingin dengan udara yang menusuk kulit. Semua menjadi beku. Hati manusia juga akan mengalami hal yang sama jika terlalu lama menunggu dan tak merasakan apapun. Mereka akan mati dan membeku seperti batu.
“Dia.. tak akan bisa menunggumu. Dia.. sudah terlalu lama. Jika diantara kalian saling menunggu, jadi siapa yang akan lebih tersakiti?” “Dia?” tanyaku. Jin mengangguk. “Ya… karena dia sangat menginginkannya.”
Sampai hari-hari menjadi musim semi, tak bisakah kau menunggu hingga saat itu? Sampai di hari bunga-bunga bermekaran, tak bisakah kau bertahan lebih lama? Tolong tetaplah tinggal, tetap tinggal di sini lebih lama lagi. Tetaplah tinggal di sisiku hingga musim semi.
“Dia sudah pergi. Ini kesempatan terakhirmu..” “Hyung! Tak bisakah kita menunggu? Besok sudah musim semi” “Aku bisa.. tapi.. dia tak akan bisa. Donor organ harus secepatnya dilakukan, dan dia.. sudah memberikan jantungnya untukmu”
Hatiku hancur. Hatiku remuk mendengar semuanya berakhir begitu tragis seperti ini. Tak pernah terbayangkan senyuman cantikmu kala itu menjadi senyum terakhir yang sangat indah untuk diabadikan dalam memori.
“Sebelum In Ha meninggal, dia sudah merencanakan sekian lama. Dia sudah tau umurnya tak akan bertahan lebih lama setelah bertemu dengamu.”
Kau selalu mengatakan musim semi adalah musim terindah yang sangat kau kagumi. Tapi.. aku mulai membencinya. Aku mulai membenci semuanya.
“Hyung.. aku ingin bersamanya.. hingga saat terakhir.. aku ingin mencintainya hingga saat terakhir. Maaf hyung, aku benar-benar tak bisa pergi, untuk bertahan hidup sendirian”
The End
Cerpen Karangan: Nurillaiyah Blog: xiodeo.blogspot.com