Aku tahu kalau kamu menungguku di dermaga pelabuhan ini. Aku tahu kalau kamu ingin menjemputku, menunggu kapal terakhir berlabuh. Tapi sayang, kamu tidak melihatku. Bukan karena aku tidak pulang. Tapi kapal yang membawaku ke pulau kesayangan kita ini, mengalami masalah aneh. Yah, aneh menurutku, mesin kapal mendadak mati, dan para penumpang jadi kecewa karena harus berbuka puasa dengan cemilan saja. Aku juga kecewa, karena kapal ini, sampai sangat terlambat di dermaga pelabuhan. Tidak ada yang menjemputku. Pasti kamu sudah pulang, menganggapku ingkar janji, tidak jadi pulang seperti kemarin.
Tadi pagi kamu meneleponku, memintaku untuk segera pulang, karena lampu-lampu “colok” sudah dipasang dan akan menyinari malam-malam Ramadhan. Ceritamu, kalau kamu juga ikut memasang lampu-lampu itu tadi. Oh, benarkah itu? Pasti menyenangkan, memanjat dan menyusun lampu-lampu itu di setiap persimpangan jalan. Dan nanti malam, setiap simpang jalan akan ada gapura yang menyala-nyala, dengan gambar-gambar yang menarik.
Lampu-lampu colok ini sangat indah. Meski hanya lampu minyak tanah yang terbuat dari kaleng-kaleng minuman bekas. Tapi sentuhan seninya sangat indah, mereka menyusun kaleng-kaleng minuman bekas itu, pada kerangka kayu dan kawat, dengan pola gambar-gambar mesjid, kaligrafi, atau gambar-gambar lainnya yang sangat unik dan menarik. Ketika lampu-lampu itu dinyalakan, maka jadi pertanda bahwa tiga hari lagi, takbir Syawal kemenangan akan berkumandang untuk tahun ini. Menyusul suasana kebahagian, berkumpul bersama keluarga dan sanak famili. Kebahagiaan yang takkan dapat tergantikan dengan kebahagiaan apapun di dunia ini.
Malam ini, kita menikmati keindahan lampu-lampu unik itu. Sungguh menyenangkan, melihat gambar-gambar menarik dalam nyala lampu yang indah. Pulau kita terlihat sangat menawan dipandang dari pinggir pantai. Menyenangkan bisa menghabiskan malam denganmu. Meski kamu masih tetap protes tentang janji pulangku. Aku mohon, coba diam sejenak, amati suara angin yang menderu di atas lautan, mungkin di sana ada yang akan membelaku. Bukankah kapalku yang bermasalah? Aku tetap pulang memenuhi janji, bahkan membawakanmu T-shirt Master Boy. Hei.. bukankah sudah kamu kenakan T-shirt itu sekarang? Jadi tersenyumlah, lupakan kalau kamu sudah menungguku setiap sore di dermaga pelabuhan, selama dua hari berturut-turut.
Bukankah Malam ini aku sudah berdiri di hadapanmu? Jadi, coba dekapkan wajahmu di bawah sinar rembulan, tahan suaramu, tetaplah diam, tak perlu kau katakan, rindumu telah terbaca olehku. Tumpahkanlah lewat nyanyian saja. Meski suaramu sumbang, dan lagunya terdengar aneh. Tapi itulah salah satu cara untuk menyiasati rindu, kadang-kadang tanpa terasa, senyum yang tertahan di sudut bibir dapat membuat pipi memerah hangat. Nyanyikan lagi lagu itu untukku. Lagu yang sama, yang kamu nyanyikan saat kita memlalui malam yang sunyi di Bukit Batu. Lagu yang meminta sebuah senyuman, meski hanya satu senyum saja.
Aku jadi teringat tentang perjalanan kita menuju ke seberang pulau. Kita menaiki kapal “pompong” untuk menyeberang ke Bukit Batu, atau pastinya, kamulah yang memaksa untuk mengikutiku ke sana. Entahlah, yang jelas kita mengunjungi Bukit Batu selama dua hari. Menikmati liburan singkat di sana. Entah apa yang kita cari dan temukan di sana. Hanya hal-hal lucu yang dibuat-buat oleh teman sekelasmu yang juga tinggal di sana. Yah, hal-hal lucu. Kita selalu tertawa jenaka sepanjang hari di sana. Kita benar-benar menikmati suasana pedesaan yang lengang, pohon-pohon kelapa yang memuaskan dahaga kita, dan malam gelap yang sangat sunyi, ditemani merdunya suara-suara jangkrik. Oh, sejak kapan Bukit Batu bisa jadi seindah ini? Padahal tahun lalu saat aku ke sini, semua hanya biasa-biasa saja, sepi dan lengang.
Kamu ingat malam indah kita di Bukit Batu? Duduk di teras rumah yang beratapkan daun nipah. Dingin dan sepi, tidak ada cahaya lampu yang menerangi teras. Tidak ada listrik di sini. Tapi hatiku nyaman, karena suara jangkrik seperti melantunkan lagu cinta. Dan rembulan menemani kita sepanjang malam. Lantas kita berbagi cerita. Tentang cerita-cerita sedihmu dulu. Aku menatapmu, rasanya ingin kusampaikan padamu tentang hadirku bagimu. Apapun masalahmu, jangan kau larikan pada benda-benda durjana itu, tapi tumpahkanlah padaku, bersamaku. Coba katakan padaku apa yang kau inginkan, mungkin saja aku mampu melepaskan dukamu. Aku ingin selalu ada untukmu, aku ingin hadirku berarti bagimu. Kamu sudah menemukanku, menerima hatiku, menyimpan cintaku, jadi coba kau dekap hening yang terbang menembus waktu, tatap mataku, dan bacalah hatiku.
Tak perlu kau risaukan luka dan kepedihan masa lalumu. Setidaknya aku dapat mengajakmu larut dalam gelora nyanyianku. Kadang-kadang tanpa terasa, tanpa kau sadari, mataharimu telah bersinar ceria kembali. Jadi, simpanlah mimpimu dalam kehangatan mentari pagi bersamaku, ketika embun masih menggantung di ujung dedaunan. Pejamkan matamu, aku ingin rebahkan kepala di dadamu, untuk mendengarkan detak jantungmu, menyebut namaku pada setiap detak-detiknya. Jadi, biarkanlah hati saja yang bicara. Kita tidak pernah tahu kapan dukamu terobati. Kita tidak perlu tahu kapan waktu bisa memisahkan kita. Tapi, kita bisa saling mengandalkan perasaan ini, saling menemani untuk selalu bersama. Dan aku mendengarkanmu menyanyikan sebuah lagu…
Masih adakah waktu tersisa kasih Temani diriku di malam gelap ini Biarkanlah jangan dengar mereka Salahkah dirimu mencintaiku Manisnya kata cinta darimu Sinari hati ini kekasih Sampai kapan kita begini Janganlah bersedih, usahlah mengangis Berikanlah aku satu senyum saja Lupakanlah semua problema yang ada Berikanlah aku satu senyum saja
—
Pagi ini, setelah dua tahun kepergianmu, menghilang tanpa kabar untukku, aku masih tetap melangkah menyambut fajar di pantai ini. Walau hanya ada aku dan pohon-pohon pinus di batas pantai. Kami memandang garangnya ombak lautan di bulan desember. Suasana sangat sepi dan dingin di sini. Lautan mengantarkan angin yang terbang kencang menderu, melaju di antara cabang dan ranting pinus yang terpaksa bergoyang. Aku akan tetap berdiri di sini, di bawah pohon-pohon pinus yang berjejer memagari pantai. Aku ingin membuang kerinduan ini di tengah lautan yang bergelora. Semoga terhempas gelombang, semoga tenggelam hingga ke dasar lautan, semoga berhenti mengejarku. Aku ingin kerinduan ini meninggalkanku, dan berbalik mengejarmu. Agar kamu saja yang terjerat dalam bayang-bayangku.
Biarlah, aku akan mencoba diam bertahan, di hempas amarah gelombang, yang mengejar para “tembakul” di pasir pantai. Akan aku hadapi gelombang garang yang menggetarkan batang-batang pinus. Akan aku tunggu tetesan embun menetes dari pucuk-pucuknya. Akan aku hirup sampai tuntas bayang-bayangmu yang bersembunyi di antara kulit-kulit pohon yang kasar. Agar dapat kuhapus kisah kita yang salah ini. Agar dapat aku lupakan senyumanmu. Agar kerinduan tidak bermain-main lagi dalam nyanyian pohon-pohon pinus yang nakal ini.
Mungkin aku telah keliru berpihak pada perasaanku, kalah dengan semua suara-suara yang menghujat, memintaku melupakanmu, menggantikanmu. Duhai angin laut, berhentilah membuat pohon-pohon pinus menari. Aku tidak ingin mereka mengingatkanku pada kerinduan ini. Wahai kalian, pohon-pohon pinus yang nakal, aku mohon, berhentilah menyanyikan lagu itu. Karena dia tidak akan pernah kembali, menyanyikan lagu itu lagi untukku. Aku tidak ingin mengenang seseorang yang sudah melupakanku. Bukankah dia sudah menggantikanku dengan yang lain? Meski tanpa kata pisah, tapi kabar tentang pernikahannya sudah lebih pahit dari sebuah kata pisah yang sepihak.
Cerpen Karangan: Lucy Syahroel Blog / Facebook: Lucy Novianti Junaidi Tempat tinggal: Pekanbaru