Angin semilir menangkap daun kering yang lepas dari genggaman dahan pohon mahoni. Yah itu ibarat sebuah takdir saat kata “di dunia ini tidak ada yang abadi” menjadi nyata.
Udara malam ini sangat dingin. Sampai jam 8 malam kampung ciherang sudah sangat sepi. Lagu malam sudah mulai menggema dari senja tadi. Yaa suara jangkrik dan kodok sawah. Sepintas terdengar suara pengajian di kampung sebelah terdengar samar. mungkin jauh. Sang daun masih terbang dengan senyumnya. Daun kecil.
“Ali masuk ke dalam, dingin di luar, bentar lagi hujan” panggil umi dengan suara paraunya. “iya mi, bentar lagi, nanggung kopinya belum abis” jawab Ali asal. Yahh jiwa dan raganya lepas. Hatinya masih melayang tanpa memikirkan apa yang dia ucapkan. “ya udah, umi ke dalam dulu, nemenin bapakmu dulu” umi pun berlalu ke dalam rumah. Tapi Ali masih terpaku di sudut teras rumah. Tatapannya jauh tapi dalam. Gunung haruman ditatapnya tajam. Terlihat rumah rumah penduduk di kaki gunung menjadi pemandangan malam dengan cahaya lampunya. “Ranti” ucap Ali pelan. Bayangnya melayang mengingat kejadian dua minggu yang lalu. Saat ranti membatalkan pertunangan mereka karena alasan Ali yang lebih memilih meninggalkan Jakarta dan ranti demi Bapaknya yang lagi sakit parah.
Sejujurnya Ali tidak memilih untuk berpisah. Namun sikap Ranti yang terlalu ego dengan hanya memikirkan perasaannya dari pada memikirkan persoalan dan musibah yang dialami Ali. Tapi berpisah setelah 4 tahun taaruf mungkin cara terbaik bagi Ali. Yang lebih memilih keluarga daripada pasangan hidup. Yah itu suatu karomah bagi seorang anak. Dengan harus mengabdi kepada orangtua. Supaya tidak durhaka di hadapan tuhan…
Cerpen Karangan: Mr R Blog / Facebook: Ririd Ridwan maulani