“Jika dia tidak datang ke dalam hidupku, mungkin hidupku akan gersang seperti ladang tandus musim panas. Bercelah dengan luka-luka yang menganga”
Aku mengenalnya selama beberapa lama sebelum akhirnya keluargaku pindah dari Vancouver. Selama beberapa lama aku kehilangan kontak dengannya. Hingga akhirnya aku kembali bertemu dengannya setelah lebih dari sepuluh tahun kami terpisah.
Dia tiba-tiba datang dengan perut yang mulai membuncit. Tubuhnya kecil dan kurus. Jika tidak sedang hamil, mungkin orang akan mengiranya korban kekerasan. Dia begitu pasi dan menyedihkan dengan keadaan yang seperti itu.
Dulu, Ane kecil adalah orang yang ceria dengan tawa renyahnya yang tak kalah cantik dengan Agustin. Dua gadis kembar itu merupakan teman yang sangat baik. Untukku, mereka adalah tipe sahabat yang tak bisa diam dan selalu punya hal menarik.
“Di mana suamimu?” tanyaku. “Dia sudah bertemu Agustin.”
Tapi setelah bertemu Ane dewasa aku sama sekali tak bisa mengenalinya. Dia menjadi sosok yang tertutup. Menjadi perempuan pendiam yang punya begitu banyak rahasia yang tak bisa aku tebak. Begitu rapat menyembunyikan keadaan dan perasaanya yang sebenarnya.
“Maaf..” Aku terdiam. Tidak seharusnya aku menanyakan hal itu. “Maafkan aku, Ane. Aku benar-benar tak bermaksud membuatmu mengingatnya, tak bermaksud membuatmu sedih.” “Dan.. aku baik-baik saja.” Aku tau kau tidak baik-baik saja Ane. jangan bohongi aku, aku tau. Setidaknya jika kau sedang berbohong, aku tau.
Aku duduk di bawah pohon yang mulai merangas bersama Ane. Wajah perempuan itu membulat, tubuhnya lebih baik setelah beberapa lama. Sekarang dia terlihat seperti perempuan normal yang sedang mengandung. “Dan..” panggilnya. Aku menolehkan kepalaku padanya. “Maukah kau menjadi kebahagiaan Rain?” Aku tersentak. Dalam benakku bertanya apa maksud dari pertanyaan yang barusan keluar dari dalam mulut mungilnya. Kenapa aku? Kenapa orang yang baru bertemu denganmu? “Kau ibunya, kenapa harus aku?” tanyaku. Ane tersenyum. “Karena kau bahagia. Hidupmu indah, tidak ada masa lalu yang menyedihkan sepertiku.” Ane mengusap perutnya pelan. “Karena tidak akan ada cerita menyedihkan yang akan membuatnya terjebak dan merasa tertekan sepertiku. Jika kau bersamanya, hidupnya akan lebih berwarna dengan ayah yang baik dan penyayang sepertimu. Dengan kisah yang lebih indah dan tidak tragis sepertiku.” “Aku tidak bisa, jika tidak bersamamu.. juga, aku tidak seperti bayanganmu.” Ane tersenyum padaku. “Kau bisa, aku yakin kau bisa membesarkannya.” Aku menatapnya, mata Ane terlihat mengkilat oleh air mata yang hampir luruh.
Setelah menimang akhirnya aku memutuskan. “Baiklah.” Ane menggenggam tanganku. Tangan mungilnya begitu dingin di musim yang hangat ini. Dingin seperti salju musim dingin meskipun kami sedang berada di pertengahan musim kering yang sangat panas. Cuaca tidak merubah dia. “An… kita menikah saja.” Ane menoleh. Dia melirik ke arahku. “Haruskah?” tanyanya. Aku menganggukan kepalaku. “Kita menikah dan membesarkannya bersama. kita akan mendidik dan menjaganya bersama-sama. Kita akan membahagiakan kehidupannya. Biarkan aku menjadi ayahnya, ayah bayimu.”
—
Musim panas itu sudah berlalu, musim panas keduaku yang menjadi kenangan buruk untukku. Setelah pindah. Bukan kenangan baik yang bisa aku simpan. Satu hal yang selalu membuatku terluka terjadi saat itu. Hal yang tak pernah terlintas di kepalaku dan membuatku terguncang hebat. Memisahkan jiwaku. “Dan.. kami akan berpisah. Siapa yang akan kau ikuti?” tanya ibuku. Pernyataan itu seperti petir siang bolong yang menyambarku keras. Aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi padaku. Selama ini yang aku tau, semuanya berjalan dengan baik-baik saja. mereka hidup dengan nyaman dan bahagia. Kami masih tertawa bersama dan bergurau bersama seperti biasa. “Aku..” Mereka menatapku lekat. Tiga pasang mata di hadapanku menanti kepastianku. Aku benar-benar tidak menyukai suasana ini. Semua yang terjadi bukan kemauanku. Jujur saja aku benar-benar benci saat ini. Aku sama sekali tidak pernah menginginkan perpisahan, karena aku sudah terbiasa dan nyaman dengan mereka. “Aku akan ikut oma..” Oma tersenyum ke arahku. Ini benar-benar pilihan yang menurutku tepat. Jika aku memilih salah satu diantara mereka, aku akan kehilangan yang lainnya. Akan lebih baik jika tidak satu pun dari mereka yang mendapatkanku. Aku lebih memilih Oma, karena oma-lah tempat paling netral yang bisa aku gapai.
“Dan.. kenapa tidak ikut Mama atau Papa?” tanya perempuan yang telah melahirkanku, ibuku. Aku tersenyum. “Karena aku tidak ingin memihak siapapun. Karena aku tidak ingin berada di satu sisi dan kehilangan sisi lainnya. Aku ingin kalian tetap utuh di dalam kepalaku dan hatiku.” Kedua orang itu tertegun menatapku. Aku kembali tersenyum. “jika kalian ingin aku bersama dengan kalian, kalian harus terus bersama agar terus bersamaku.” Dua orang di hadapanku saling menatap. Aku sungguh ingin mereka tetap bersama, bersama dengangku hingga aku dewasa bersama-sama. Tapi ekpresi mereka sama sekali tak sependapat. Ibuku menghela napasnya. “Maafkan kami, Dan. Kami tidak bisa bersama lagi.”
Tepat hari itu, rasanya memang berat. Hari itu.. sebagian jiwaku retak seperti lahan persawahan. Sebagian jiwaku terpisah. Ibuku pergi dengan pilihannya, ayahku pergi dengan kehendaknya. Mereka meninggalkanku sendirian, mereka meninggalkanku yang memilih tidak memilih diantara mereka.
—
Ane memainkan jarinya sambil menatapku. “Dan.. aku menemukanmu karena Rayhan. Dia mengatakan segalanya, tentang upayamu menemukanku.” Aku tersenyum. “Dia cukup membantuku menemukanmu, mengawasimu untukku.” “Dan.. Jika kita menikah, apa kau akan percaya pernikahan itu sendiri?” Ane menatapku lebih lekat, lagi kedua matanya meneliti. Aku benar-benar tidak bisa mengelak tatapannya. Aku terdiam. Aku benar-benar tidak sanggup menjawab apapun. Sejujurnya aku benar-benar tidak bisa percaya apa itu pernikahan, aku masih trauma dengan perpisahan kedua orangtuaku.
“Aku tau orangtuamu berpisah setelah pindah,” Ane mengelus perutnya. Matanya menatap lurus ke depan, menatap ke arah anak-anak yang sedang bermain di taman itu. “Jika itu kau, aku mungkin akan percaya,” jawabku tanpa sadar. Mulutku bergerak tanpa aku minta, mungkin inilah jawaban tulus dari hatiku untuknya.
Ane menyibak rambutnya yang tertiup angin. Helai demi helai yang menjuntai menutupi wajahnya diselipkannya di atas telinga. Jemarinya dengan terlatih melakukan itu setiap mahkotanya itu kembali menutupi wajahnya. Dia sedang meneliti tentangku. Aku bisa merasakan bagaimana dia berhati-hati dan memusatkan rasa percayanya padaku. Lalu tiba-tiba mulut mungilnya tersenyum. “Kau benar-benar akan menjadi ayah yang baik untuknya,” Ane menunjuk perutnya. “Dia senang sekali, kaki kecilnya menendangku.” Aku membulatkan mataku cemas. “benarkah? Apa sakit?” tanyaku. Aku melihatnya bergeleng. “Ayolah, Dan, itu normal untuknya. Jangan terlalu cemas.” Aku menatap Ane. “Kita akan menikah setelah dia lahir, aku akan menjaga kalian.” Mulut mungil Ane kembali tersenyum. Kedua tangannya makin intens mengelus perutnya yang semakin membesar. Melihatnya bahagia seperti itu, aku seperti kembali menemukan Ane kecil temanku. Aku menemukannya, dan kali ini seorang Danial jatuh cinta padanya sebagai orang dewasa. “Ane.. aku mencintaimu. Terima kasih sudah datang kembali dalam kehidupanku.”
—
“Dan..kau harus menemuinya, untuk yang terakhir kalinya.” Rasanya dadaku akan meledak mendengar kata ‘terakhir kalinya’. Aku tidak bisa menerimanya begitu saja. semua ini seolah-olah mimpi yang menamparku. Kenyataan ini seperti mimpi buruk yang sangat aku benci. “Aku tau, tapi dia masih terlalu lemah untuk sendirian,” sosok di dekapanku menggeliat, matanya belum sepenuhnya terbuka, namun jari-jari mungilnya menggenggam jari telunjukku erat. “Aku belum siap, Oma.” Perempuan tua itu menatapku, “Jika harus menunggu sampai kau dan dia siap, apa kalian tidak akan menyesalinya? Setidaknya biarkan Rain bertemu ibunya untuk pertama dan terakhir kalinya.” Aku menghela napasku. Oma benar, jika aku egois dengan diriku sendiri, aku akan menyesalinya. Rain kecil kami akan menyesal karena tidak pernah bertemu dengan ibunya. Orang yang melahirkannya untuk pertama dan terakhir kalinya.
“Oma.. apakah aku bisa?” Oma menatapku. Matanya berkerut. “ya, kau bisa. Kau bisa membesarkanya dengan kasih sayangmu. Sama seperti saat kau menyayangi ibunya. Mencintai dia seperti kau mencintai Ane.”
Rain.. saat ini kau tidak sendirian, aku akan berada di sampingmu. Rain.. meskipun dia pergi meninggalkanmu, bukan berarti dia tidak mencintaimu. Dia selalu mencintaimu, Rain. She’s loved you so much.
Di ujung musim kemarau, aku kehilangan dia. Dia meninggalkanku, meninggalkan Rain. Dia meninggalkan kami dan tidur dengan damai. Ini semua masih seperti mimpi buruk di siang menyengat yang tidak bisa dipercaya. Meski sebulan berlalu. Dia meninggalkan kenangan yang masih bisa terasa, meskipun ritik hujan sudah mulai menyapa. Kenangan bersamanya masih ada.
“Rain.. sambutlah musim hujan pertamamu, tapi lupakan kenangan menyedihkannya. Kita mulai kisah baru yang membahagiakan seperti yang ibumu harapkan…” Rain kecil menggeliat di dekapanku. Matanya berkedip-kedip. Mulut mungilnya seakan tersenyum mengiyakan.
“Rain.. Terima kasih sudah hadir di dalam hidupku. Dan menjadi hujanku.”
Cerpen Karangan: Nurillaiyah Blog: xiodeo.blogspot.com