Awan mendung yang tebal menutupi cahaya matahari. Hembusan angin pun semakin lama terasa semakin kencang, pertanda akan turun hujan. Namun gadis berambut panjang itu masih asik berlarian di halaman rumah, tak peduli walau butir-butir air mulai berjatuhan dari langit dan membasahi tubuh mungilnya.
“Rena, masuk. Nanti kamu sakit,” gumam Rio yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan. Rena tak mendengar, dia tetap melangkahkan kakinya kesana-kemari mengikuti tempo rintikan air hujan.
Rio mencoba mendekati Rena, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Dia ingin kembali berbicara, tapi yang keluar dari mulutnya lagi-lagi hanya sebuah bisikan. “Rena…” Rena sekali lagi tidak mendengar suaranya, atau bahkan melihat keberadaannya. Rio hanya bisa terdiam, menatap Rena dan rumah di belakangnya dari jauh.
Kemudian, pintu rumah di belakang Rena pun terbuka. Dari dalam keluar seorang lelaki paruh baya. Lelaki tersebut mengulurkan tangannya pada Rena, dan Rena meraihnya sambil memberikan senyuman lebar. Lelaki itu membawa Rena pada seorang wanita yang berdiri di ambang pintu, yang tengah tersenyum pada Rio. Rena dan lelaki paruh baya itu lalu berbalik, dan ikut tersenyum. “Rio,” panggil lelaki paruh baya itu. Rio masih membeku di tempatnya. Mulutnya terkunci rapat, nafasnya terasa sesak. Matanya menatap nanar pada tiga orang di hadapannya. Itu adalah Rena, kekasihnya. Wanita itu, tak lain adalah Ibu Rena. Dan lelaki paruh baya yang bersama mereka, dia adalah…
“Rio.” Rio membuka matanya dengan paksa setelah merasakan sebuah tangan menepuk pipinya. “Rio. Hey, bangun.” Rio menghela nafas dan mencoba bangkit. “Emang kita ada jadwal kuliah, Van?” tanyanya. “Enggak, sih. Tapi inget, bro. Kita harus nyicil buat TA. Karya sama laporanmu belum selesai, kan?” Evan, yang merupakan sahabat Rio mencoba mengingatkannya. “Mau aku buatkan kopi dulu, gak? Biar kamu melek.” “Boleh, deh.” “Oke, sebentar.”
Rio menatap punggung Evan yang keluar dari kamarnya. Dia lalu menghela nafas. Ternyata yang dia lihat tadi hanya mimpi, dia tidak benar-benar melihat Rena bersama lelaki itu. Pantas saja Rena sama sekali tidak mendengarnya.
Evan datang membawa dua cangkir kopi dan menyimpannya di meja. “Thanks, Van,” ucap Rio. “No problem.” Evan duduk di sebelah Rio. “Kamu kenapa sih, Yo? Keliatannya murung gitu. Mikirin TA?” tanyanya. “Bukan, Van.” “Terus? Mikirin cewek, ya? Akhirnya Rio main cinta-cintaan lagi sekarang.” Rio menyunggingkan senyum saat menyeruput kopinya. “Evan… Evan…” gumamnya. “Aku hidup bukan untuk mencari cinta.” “Oh, ya?” Evan mengangkat kedua alisnya. “Lalu apa tujuan hidupmu?” “Aku hidup untuk Ibuku, hanya itu,” jawab Rio sambil kembali menyeruput kopinya. Evan tertawa, lalu mengambil bungkus rok*k dari atas meja. Dia mengeluarkan sebatang rok*k dan membakarnya dengan korek api. Setelah menghisap rok*k, Evan kembali berkata, “Kamu mengabdikan hidupmu untuk Ibumu. Semua itu kamu lakukan karena didasari oleh cinta, bukan?” “Yah… Benar juga, sih. Tapi jenis cintanya berbeda. Aku merasa gak pantas mendapat cinta, aku gak pantas bermain cinta.” “Kenapa begitu?” “Lihat saja keadaan keluargaku, yang tidak seindah dan semanis kebanyakan keluarga lain. Hubunganku dengan mereka tidak seharmonis yang orang pikir. Lalu lihat hidupku. Semuanya gelap, aku itu manusia gagal.” Evan menatap Rio tajam. Dia merupakan tipe orang yang benci mendengar keluhan, dia tidak suka jika sahabatnya memandang rendah dirinya sendiri. “Maka kamu harus merubah keadaan itu. Because you deserve better. Apa kamu merasa bangga menghabiskan hidupmu dengan menyandang gelar ‘manusia gagal’ itu?” tanyanya. “Lagipula kamu belum sepenuhnya gagal. Jalan hidupmu masih panjang.”
Rio kini ikut menghisap rok*k. Dia tidak merespon perkataan Evan sama sekali. Sejauh ini belum ada satupun orang yang mampu mengubah cara pandangnya. “Wake up, Yo. Jalani hidup dengan semangat, juga bahagia.” “Jangan bicara tentang bahagia padaku. Karena aku pun selalu bertanya pada diriku sendiri… Apa aku pantas bahagia?” Evan menyeruput kopinya yang sudah dingin. “Semua orang pantas bahagia, begitu juga dengan kamu. Jangan terpaku pada dia yang sudah tidak bisa kamu kembalikan lagi keberadaannya di dunia ini.” Ucapan Evan sedikit membuat Rio tersentak. Ternyata Evan menyadari hal yang sedang menggangu pikirannya. “Coba kamu lihat ke belakang. Mungkin ada orang yang pernah memberikan kebahagiaan padamu, mengorbankan banyak hal untukmu, lalu kamu tinggalkan dan kamu sia-siakan begitu saja. Kalau tidak, silahkan tatap ke depan. Diantara sekian banyak orang yang akan kamu temui, pasti ada satu orang yang rela menawarkan kebahagiaan untukmu.” “Dengar.” Evan masih melanjutkan perkataannya. “Kamu akan selalu merindukannya, karena dia adalah bagian dari dirimu. Tapi jangan menutup diri, jangan jadi manusia berhati dingin setelah kematiannya. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan baru dari orang lain, dan orang itu berhak mendapatkan balasan darimu.”
Rio membuang puntung rok*knya ke dalam asbak, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kasur. Matanya terpejam. Bayangan tentang Rena kembali muncul dalam pikirannya. Tubuh mungil itu, rambut panjang itu, wajah yang tidak akan pernah Rio lupakan. Jika Tuhan mengizinkan, ingin rasanya Rio meraih tangan Rena saat ini juga. Atau bahkan menarik Rena ke dalam pelukannya, dan tidak pernah melepaskannya lagi. Lalu Rio akan berbisik pada Rena, dia berjanji untuk tidak mengabaikannya, meninggalkannya, apalagi membiarkan Rena pulang sendirian di tengah malam dan diguyur hujan deras. Maka si pengemudi motor yang mabuk itu tidak akan menabrak dan menghempaskan tubuh mungil Rena. Rena tidak akan pergi untuk selamanya.
Rio menghembuskan nafas, mencoba mengatasi rasa sakit yang menusuk jantungnya. Matanya masih terpejam. Dan kini yang muncul dalam pikirannya adalah lelaki paruh baya itu. Lagi-lagi dia menghampiri Rena, dia membuat Rena tertawa. Tapi dari kejauhan, Rio dapat melihat Ibunya menangis.
“Rio, are you okay?” Suara Evan berhasil menyadarkan Rio kembali. Keduanya saling bertukar pandangan. “Ada banyak hal yang buat aku berubah. Bukan hanya kematian Rena,” gumam Rio. “Aku berubah karena satu hal yang sangat aku benci. Kamu tahu hal apa yang sangat aku benci?” “Apa itu?” tanya Evan. “Membagi Ayahku dengan orang lain.”
Evan dibuat bingung oleh jawaban dari Rio. Dia tidak begitu yakin apa maksud Rio. Tapi sebelum dirinya sempat bertanya, Rio sudah kembali berbicara. “Let me tell you a story,” ucap Rio. “Ada satu orang yang menjadi penyebab kerusakan hubunganku dengan Rena, yang akhirnya mengantarkan Rena pada kematiannya. Dia juga yang menyebabkan keluargaku tidak harmonis lagi. Dia adalah lelaki yang membuatku bahagia, sekaligus membuat Rena dan Ibunya bahagia. Dia adalah mimpi burukku.” “Dia mimpi burukmu? Lelaki itu?” Evan semakin dibuat kebingungan oleh ucapan Rio. “Iya. Dia. Dia adalah lelaki yang sangat aku hormati, dia telah menjadi orang hebat dan sumber kebahagiaan keluargaku selama bertahun-tahun. Dan dia juga yang secara sadar, tiba-tiba menjadi bagian dari keluarga lain. Dia telah membahagiakan wanita lain dan putrinya. Dia, Ayahku.” Evan cukup terkejut mendengar pernyataan Rio. “Jadi, Rena itu… dia…” “Hm. Wanita lain itu adalah Ibu Rena. Dan Ayah tiri Rena, adalah Ayahku.”
Cerpen Karangan: Risa Idzni Majid Blog / Facebook: Risa Idzni Majid