“Jadi, Surya tidak bisa bekerja karena proyek kuliah menumpuk?” Luna mengangguk mengiyakan. “Benar, Pak. Dia ‘kan sebentar lagi akan disidang.” Luna sedikit meringis melihat tatapan elang milik atasannya yang sangat mengintimidasi itu. “Baiklah, katakan pada Surya gajinya saya potong karena mengambil cuti lebih dari empat hari masa efektif,” sahut Pak Terra kejam. Terra memang sadis. Luna langsung melotot. Ia menggigit bibir bawahnya mencari cara. “Saya bisa kok gantiin tugas Surya, Pak,” kata Luna pada akhirnya, “saya bisa bawa dua nampan sekaligus, saya bisa bekerja dua kali lipat lebih keras untuk menggantikan Surya.” Pak Terra tampak menimbang-nimbang, sebelum akhirnya ia mengangguk. “Baiklah, tugas Surya hari ini kamu yang pegang, Luna. Tentunya, tugas kamu juga.” “Siap, Pak. Saya permisi.” Luna sedikit membungkuk undur diri. Namun, gerakkannya terhenti saat ia mendengar Pak Terra kembali memanggil. “Ada apa, Pak?” “Saya sudah mengatakan entah berapa kali sampai mulut saya berbusa. Jangan gunakan rok saat bekerja, Luna,” desis Pak Terra yang Luna balas dengan ringisan, “kamu ini bekerja sebagai pelayan di kafe, bukan pelayan di klub malam.” Kalau boleh, Luna ingin sekali merobek mulut atasannya ini. Kata-katasnya pedas! Sadis! Kejam! “Iya, Pak. Permisi.”
—
Arloji sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Luna merangkak naik, memasuki mobil Marco. Seketika penciumannya mengendus aroma maskulin menguar jelas di dalam mobil. Luna tersenyum, meminta maaf pada Marco karena dia membuat pria itu menunggu cukup lama. “Bukan masalah. Lagi pula, lo yang dibutuhkan di sini,” sahut Marco santai, “jadi, disuruh nunggu sampe pagi pun rela.” “Serius?” “Nggak lah, yang bener aja!” Marco tertawa. “Emang lo mau, nginep sampe pagi di sini? Kecuali lo adalah Surya, masih ada kemungkinan.” Luna tersenyum pahit. Marco masih ingat. “Jadi, lo butuh bantuan apa?” “Liat aja nanti.”
—
“Keputusan final, yang ini atau yang ini?” tanya Marco menunjuk dua cincin emas putih dengan model yang berbeda. Luna mendengus pelan, berharap Marco tidak menyadari suasana hatinya yang buruk saat ini. “Yang mau tunangan ‘kan lo, kenapa mesti gue yang nentuin, sih?” “Itu lah gunanya gue ajak lo ke sini. Vanessa lagi sibuk, jadi gue mempercayakan ini pada lo,” ujar Marco sambil tersenyum, “dua cincin ini udah jadi pilihan gue, jadi lo pilih yang mana pun nggak akan bikin gue kecewa.” Luna mulai memainkan ‘bagaimana jika’ dalam otaknya. Bagaimana jika ini akan menjadi pertunangan gue? Cincin mana yang akan gue pilih? Luna melihat kembali dua cincin tersebut lalu mengangguk mantap, tangannya menunjuk cincin emas yang berbentuk seperti sulur tanaman menjalar. Apa nasibnya masih kurang malang? Jantung Luna selalu berdetak untuk Marsnya, dan di sinilah dia, di toko perhiasan, membantu Mars memilihkan cincin pertunangannya dengan Venus. Mars dan Venus, salah satu hukum mutlak semesta.
“Makan dulu, yuk?” Luna yang sedang memerhatikan rembulan dari teras toko dikejutkan dengan tepukan di bahunya. “Eh?” “Kebiasaan,” tandas Marco, “suka banget sih, ngelamun nggak jelas. Mending kita makan, gimana?” “Boleh,” sahut Luna dengan mudahnya. Tak diduga, hal itu justru mengundang tawa Marco. “Kenapa?” “Enak ya, pergi sama lo. Kalau gue ajakin Vanessa, dia bakal ngomel-ngomel dan mulai ngomongin masalah diet, kesehatan, berat badan, dan lain sebagainya.” Marco melirik arloji yang menempel di tangannya. “Ini ‘kan udah hampir tengah malem.” Luna hanya terkekeh menanggapi. Venus lagi, Venus lagi.
“Lo sendiri, gimana sama Surya?” “Maksudnya?” Kening Luna berkerut. Memangnya, ada apa antara dia dan Surya? “Kalian tinggal berdua, ‘kan?” Marco bertanya meyakinkan, “sejak kapan?” Luna memandangi langit, menerawang masa-masa itu. “Setelah lulus, Surya memutuskan keluar dari panti untuk melanjutkan hidupnya sendiri. Terus, Bunda nyuruh gue buat ikut tinggal bersama dia, biar ada yang mengawasi. Saat itu Surya protes, katanya ‘yang ada malah Surya yang jagain anak manja satu ini, Bun’. Akhirnya, setelah gue ngambek berhari hari, Surya bersedia ngajak gue buat tinggal bareng dia.” “Bunda.” Marco menghela napas. “Gue amat menyesal karena nggak bisa menghadiri pemakaman Bunda saat itu.” Luna hanya diam. Matanya masih memandangi langit tak berbintang, sama seperti langit pada malam itu, saat dirinya dan Surya berbaring di pangkuan Bunda, mengomentari nasib rembulan yang kesepian.
—
Setelah mengucapkan terima kasih, Luna melompat turun dari mobil dan berjalan memasuki rumah ketika mobil milik Marco sudah menghilang dari pandangan. Sejenak keningnya berkerut mendapati motor asing terparkir di halaman rumahnya dan Surya. Pasti temennya Curut. Ngapain sih, ngajak temen ke rumah malem-malem gini, gerutu Luna dalam hati. “Surya?” panggilnya ketika sudah berada di dalam rumah. “Woi, Curut!” Nihil, tak ada sahutan. Semakin ke dalam, akhirnya telinga Luna mendengar sayup-sayup suara tawa, tapi jelas itu bukan Surya karena yang didengarnya adalah gelak tawa perempuan. Menyadari itu, mata Luna langsung melotot, tangannya terkepal geram. Berani-beraninya pria itu membawa perempuan ke rumah mereka. Semakin dekat, suara yang semula samar terdengar semakin jelas, datangnya tentu dari arah kamar Surya. Luna pun mendorong kenop pintu dengan begitu keras, membuat pintu itu terbuka, memperlihatkan Surya yang berbaring ditutupi selimut setengah badan dengan seorang perempuan menemani di sisi ranjangnya. Tawa yang sebelumnya memenuhi ruangan berganti menjadi keheningan yang menggerogoti sang waktu.
“Temen lo udah pulang. Gue balik, Sur.” Perempuan itu berdiri dan mengusap punggung tangan Surya pelan sebelum beranjak pergi meninggalkan laki-laki itu, juga Luna yang masih mematung di ambang pintu. “Lo kenapa? Sakit?” tanya Luna membuyarkan keheningan. Ia lalu mendekat, menempati sisi ranjang yang masih terasa hangat bekas diduduki oleh gadis tadi. “Udah makan? Minum obat? Gimana perasaan lo sekarang, masih sakit?” Bukannya menjawab, Surya justru membuang muka. “Kenapa nggak sekalian pulang pagi?” Luna hanya mendengus menaggapi perlakuan sinis dari sahabatnya itu. Ia mengangkat kedua kakinya untuk bersila, membuat Surya lagi-lagi membuang muka mendapati rok merah muda Luna tersingkap. Surya jadi merasa serba salah; dilihat dosa, nggak lihat sayang.
“Bunda kayaknya salah ngasih lo nama, deh.” Surya menggelengkan kepalanya heran. “Feminin sih, iya, tapi gue bingung kenapa bisa feminin dan nggak ada anggun-anggunnya sama sekali disandingkan dalam satu orang yang sama.” “Bisa-bisain aja, contohnya gue nyata!” Luna mencebik. “Eh, gue mau cerita, deh.” “Ya udah, cerita aja. Tumben minta izin dulu,” jawab Surya tak acuh. Jujur saja, beberapa detik lalu ia baru akan memberitahu Luna untuk pergi tidur karena kepalanya begitu pening, tapi tentu dirinya tidak cukup tega melihat wajah memelas Luna yang kini bercampur peluh itu. “Gara-gara lo…” Luna menunjukkan mata elangnya pada Surya, “hari ini gue mesti bawa dua nampan sekaligus, tau! Mana tadi banyak gelas sama piring pecah, huh!” Surya melotot. Ia lalu bersedekap. “Kok nyalahin gue? Gue nggak ada ya, nyuruh lo untuk bawa nampan double gitu.” Luna yang semakin geram mencubit pinggang laki-laki di depannya dengan sadis, sampai-sampai jeritan Surya menggema di dalam ruangan. “Kalo gue nggak ngelakuin itu, gaji lo dipotong, bego! Nggak tau terima kasih!” Setelah itu, Luna langsung berjalan ke kamarnya dan mengunci diri.
Anak Manja: Jangan ganggu gue! Jangan gedor-gedor pintu gue! Jangan bangunin gue besok pagi! Bikin sarapan sendiri! Siapin perlengkapan kuliah sendiri! Bodo amat, lu lagi sakit juga, nggak peduli! Surya tersenyum geli sebelum mengetik balasan pesan untuk teman sebelah kamarnya itu. Surya: Bulan perhatian banget sih sama Matahari