Alden menyeruput cappucino-nya, hari ini benar-benar dingin. Cuaca di luar sana memang tak bersahabat–hujan. Alden menaruh kembali cangkir minumannya. Matanya sibuk menatap jendela kamarnya yang sekarang perlahan mulai buram akibat air hujan.
Hujan. Satu kata yang membuatnya menyukai serta membenci siklus bumi itu. Hujan yang membuatnya bertemu dengan gadis itu dan hujan pula yang memisahkan mereka.
Gadis itu menyukai hujan. Alden membenci hujan. Semuanya beda. Saat hujan belum mengambil kebahagiaannya–Alden masih menyukai butir-butir air dari langit itu. Tetapi, disaat Alden tahu kalau hujan yang membawa pergi gadisnya maka saat itu pula ia resmi membenci hujan. Memang benar kata orang, hujan selalu membawa kita menyelusuri masa lalu, mengingatkan kita tentang kenangan. Baik itu tentang seseorang maupun sesuatu hal. Alden merasakan itu sekarang. Kenangan perlahan muncul di pikirannya seiring suara rintik hujan semakin jelas di telinganya. Ia sangat ingat betul bagaimana hujan itu mempertemukannya dengan seorang gadis.
—
Alden memegang kamera barunya, kamera yang ia dapatkan sebagai hadiah ulang tahun dari kakaknya. Tangan kanannya sibuk mengatur lensa–mencari pencahayaan serta objek yang tepat untuk foto yang akan ia abadikan kali ini.
Cekrek Ia tersenyum, melihat hasil jempretannya. Bagus. Alden mempunyai dua kesukaan dalam hidupnya. Yang pertama yaitu kue masakan ibunya dan memotret hal-hal yang menurutnya menarik. Termasuk hari ini, ia memotret rintik hujan. Dibalik lensa, butiran itu benar-benar terlihat nyata turun di permukaan tanah.
Saat ingin mengambil gambar selanjutnya, mata Alden melebar sempurna. Ia langsung menaruh kameranya di atas meja kafe. Tanpa perintah dari siapa pun, Alden langsung menorobos hujan. Ia tak mempedulikan bagaimana omelan ibunya nanti kalau ia tahu kalau anak bungsunya ini sedang bermain hujan. Bukan bermain hujan sebenarnya, tetapi terpaksa bermain hujan. Alden punya alasan sendiri mengapa ia melanggar larangan Ibunya yang sebenarnya sudah menjadi larangan besar untuknya sejak kecil.
Alden langsung mencekal tangan gadis itu, lalu menariknya ke pinggir jalan. Posisi mereka sangat dekat, hanya berjarak beberapa centi dari wajah masing-masing.
“Lo mau cari mati atau emang suka cari sensasi sih?!” Gadis itu tidak sama sekali menampakkan wajah takutnya, ia terlihat biasa saja. Padahal bila dipikir, wajah Alden yang dingin kali dapat membuat seseorang meremang di tempat. Gadis itu tak peduli, dengan keberanian yang sangat lebih ia malah menjinjit–berusaha mensejajarkan wajahnya dengan lelaki berwajah dingin ini. “Gue suka hujan. Bukan sensasi. Dan, lo-” Tangannya menggantung di udara, seolah menunjuk ke arah Alden. “Gak usah tarik gue atau apapun yang mengganggu kesenangan gue.” Sambungnya. Alden kembali mengeratkan cekalan tangannya. Gadis itu tersentak. “Asal lo tau! Gue bukannya mau sok mengganggu kesenangan cewek PLUVIOPHILE kayak lo atau apapun itu. Tapi–” Mata biru pekat Alden menatap mata gadis itu sangat dalam dan intens. “Kalau gue gak tarik lo kali ini, mungkin lo udah mati dibawa sama hal yang paling lo sukai bernama hujan itu.” Alden kemudian melepaskan cekalan tangannya. Tanpa kata pamit atau apapun, ia langsung meninggalkan gadis itu. Rupanya, gadis bermata coklat itu tengah terdiam dan mematung di tempat. Tepat di langkah Alden yang ketiga, suara gadis itu langsung merambah dibalik riuh-nya rintik hujan. “Maksud lo apa?” Alden terhenti lalu berbalik. Ia kembali menghampiri gadis itu lalu menatapnya dengan tatapan yang sama seperti tadi. “Gue udah duga, kesenangan lo untuk memuja hujan lebih besar sampai-sampai lo gak melihat di sekeliling lo.” Gadis itu masih terdiam, ia masih belum mengerti kemana arah ucapan lelaki cepak ini. “Lo hampir mati di tabrak mobil. Lo itu childish. Lo itu terlalu menuruti kebahagiaan lo–sampai-sampai lo ceroboh sama keselamatan lo sendiri.” Alden menekan seluruh kata-katanya, membut gadis itu menatapnya dengan sendu. Air wajah Alden tiba-tiba berubah saat melihat mata gadis itu yang kini tengah berkaca-kata. Alden tahu, sebentar lagi gadis itu akan menangis. “Iya gue emang childish! Gue emang ceroboh! Gue emang gak mentingin keselamatan gue! Iya semuanya salah gue!” Sesuai prediksinya, gadis itu benar-benar menangis pecah–bahkan Alden tak dapat membedakan yang mana air mata yang mana air hujan.
Alden menggaruk tengkuknya bingung. Jujur, ia paling tak tega melihat seseorang menangis. “Enghh.., sumpah gue gak bermaksud nyakitin hati lo. Tapi gue–gue cuman,” Gadis itu tambah terisak, hidungnya terlihat merah saat terkena cahaya lampu jalan. Alden semakin bingung di kala orang-orang menatapnya dengan tatapan intens. Seolah gadis ini menangis gara-gara salahnya. Walaupun sebenarnya ini salahnya sih tapi tidak total cuman beberapa.
“Plis, lo berhenti nangis ya? Orang-orang pada liatin kita–ehm maksud gue lo.” Dengan setengah hati Alden membawa gadis itu dalam dekapan dadanya. Membenamkan wajah gadis itu dibalik dada bidangnya. Perlahan gadis itu berhenti terisak, lalu merenggangkan pelukannya. Ia menatap Alden dengan mata yang berbinar. Alden yang melihatnya kembali merasa pusing. “Mau apalagi? Nangis? Ayolah, lo tau kan sekarang gue berada diantara situasi antara pelaku dan korban.” Jeda beberapa detik, Gadis itu masih terdiam. Ia mengamati sluit wajah Alden, membuat lelaki itu menjadi sedikit grogi. Lalu, gadis itu tertawa. “Lucu.” Alden terkekeh kikuk, tak tahu harus berbuat apa. Gadis itu mulai tersenyum lalu menatap Alden dengan sorot mata yang berbeda dari yang tadi. “Lo jadi teman gue ya? Temen yang selalu ngejagain gue dari rasa over gue terhadap hujan.” Alden terdiam, ia tak tahu harus membalas bagaimana. Kalau ia menolak, ia takut gadis itu kembali menangis. Namun, kalau ia menerima–Alden tak yakin. “Ayo dong, mau ya?” Gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali. Alden mengusap wajahnya yang penuh dengan air hujan. Dengan berat hati ia tak dapat menolak. Ia mengangguk. “Iya, tapi sekarang kita berteduh dulu, ya?” Dengan senyum mengembang, gadis itu menuruti keinginan Alden.
—
Alden terkesiap dalam rol kenangan masa lalu yang tiba-tiba mendatanginya. Ia menghela nafas panjang, terdengar begitu berat. Dengan pelan ia membuka laci kecilnya berusaha mencari sebuah buku, buku bersampul hitam yang penuh dengan kenangannya tentang gadis itu. Dan lagi-lagi kenangan itu muncul, saat Alden melihat sebuah foto dirinya dan gadis itu.
—
Hari itu sudah ditetapkan gadis bermata coklat bahwa tanggal ini merupakan hari bertemannya dengan Alden. Dan sekarang sudah memasuki usia ke lima bulan ia berteman baik dengan Alden. Sejauh ini, Alden tak terlalu mendapati tingkah ceroboh gadis itu seperti tempo hari. Malah, Alden menemukan sisi lain gadis itu. Selain suka dengan hujan, gadis itu juga suka memasak. Dan juri yang selalu diandalkannya yaitu Alden.
“Ewnak, guwe syuwka.” Alden tersenyum sambil terus mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Katanya terdengar kacau, tak beraturan. Tetapi gadis itu tahu artinya. “Em, Al?” Alden menggantungkan sendok di udara. Awalnya ia niat untuk kembali menyantap nasi goreng buatan gadis itu. Tetapi saat mendengar gadis itu bersuara, ia langsung membatalkan niatnya. “Sorry, lo lanjut makan aja.” Gadis itu tersenyum tipis. Alden menggeleng, ia menaruh kembali sendoknya dalam wadah berwarna biru itu. Ia langsung menatap gadis itu dengan sorot mata yang terus bertanya. “Mau bilang apa? Ngomong aja. Gue siap denger kok.” Gadis itu melirik Alden, dengan ragu ia menggigit bibirnya. Ia yakin, Alden pasti tidak akan menyetujui ajakannya. “Gue..” “Iya, lo kenapa?” “Gue mau ke karnaval bareng lo, boleh gak?” Alden terdiam sejenak, lalu tertawa renyah. Alden pikir gadis itu akan mengatakan sesuatu hal yang aneh tapi nyatanya? hanya ini, toh. “Lo ada-ada aja deh, gue kira lo mau bilang lo suka gue gitu? Padahal, lo minta ditemanin ke karnaval. Hahaha” Gadis itu memicingkan matanya tak terima. Tanpa aba-aba sebuah cubitan ringan mendarat di pinggang Alden. “Kalau ngomong tuh disaring, masa iya sih gue ngomong gitu–malu kali.” Alden semakin tertawa. Dengan senyuman jahil, ia kembali melayangkan sebuah tatapan menggoda ke arah gadis itu. “Malu? Berarti iya dong. Hahaha.” Dan lagi-lagi cubitan menimpa Alden. Pipi gadis itu benar-benar memanas.
—
Alden sudah berada di depan karnaval tahunan bersama seorang gadis–gadis penyuka hujan. Alden menghela nafas saat melihat gadis itu sedang membinarkan matanya. Ia seolah takjub melihat keramaian saat ini. “Gak usah kayak gitu mukanya, kesannya norak.” Gadis itu mendengus kesal lalu memeletkan lidah. “Biarin.” Ia kemudian melangkah mendahului Alden. Alden yang berada di belakangnya hanya tertawa ringan. Lalu mengekor di belakang gadis itu. Bukannya apa ia takut kalau gadis itu hilang di tempat yang seramai ini, apalagi Ibu gadis itu telah mempercayainya untuk membawa anak gadisnya jalan-jalan. Dan itu adalah amanat yang harus Alden jaga erat. “Iya-iya, antri tiket dulu Aluna.” Alden berusaha menahan tangan gadis itu yang terus-terusan menarik bajunya ke belakang. Ini yang ia tak suka, sifat childish. Aluna sudah beberapa kali merengek, dan meminta cepat memasuki arena. Membuat Alden tersenyum kikuk saat melihat tatapan oarang yang juga ikut mengantri.
“Nah, sekarang boleh masuk. Nih, buat kamu satu–aku satu.” Gadis itu langsung berhenti lalu mengembangkan senyumnya. Dengan semangat ia mengambil sebuah tiket di tangan Alden. Dan lagi-lagi gadis itu menorobos masuk, meninggalkan Alden yang selalu tertinggal di belakang.
Setelah puas menaiki salah satu wahana favorit dari karnaval ini, Alden langsung mengajak Aluna menuju salah satu toko kecil yang berada di dekat wahana yang ia naiki tadi. Alden berjongkok dan mulai mencari kembang api yang pas untuk ia mainkan dengan gadis penyuka hujan itu. Aluna menatap Alden dengan tatapan bingung. “Lo ngapain, Al?” Setelah membayar kembang api pilihannya, ia kemudian berdiri. Lalu menarik gadis itu untuk segera meninggalkan tempat ini.
“Kita mau kemana?” Tanya gadis itu. “Ke tempat yang membuat kamu tahu, hal apa yang lebih indah dari pada hujan.” “Emang ada?” Alden mengangguk yakin. “Ada.” Gadis itu tetap patuh mengikuti langkah Alden, walaupun sampai saat ini ia belum bisa membaca hal apa yang ingin Alden tunjukan padanya.
Gadis itu tetap patuh mengikuti langkah Alden, walaupun sampai saat ini ia belum bisa membaca hal apa yang ingin Alden tunjukan padanya. “Jadi sekarang lo yakin kan kalau ada hal lain yang lebih indah daripada hujan?” Alden menoleh ke arah gadis itu. Aluna tak banyak bicara dari tadi, ia malah asyik mengamati kembang api yang selalu mengeluarkan gemercik api sambil terus tersenyum. Saat mendengarkan pertanyaan Alden, ia langsung menoleh. “Iya, ini indah dengan versi yang berbeda. Hujan dengan keindahan rintik dan pelanginya sedangkan Kembang api, Indah dengan gemercik apinya–lucu. Gue suka.” Alden tersenyum bahagia, ia mengangkat tangannya di udara. Seolah kembang api yang ia pegang tadi menari di atas langit. “Tau gak? ada hal yang lebih indah dari kembang api dan hujan?” Gadis itu menyerit sambil terus menatap kembang api di tangan Alden. Lagian kembang api-nya sudah habis sekarang–menyisakan abu padat yang melengket disela-sela batang kawat kembang api. “Apaan?” “Liat lo senyum. Senyum lo jauh lebih indah dari dua hal yang lo sukai itu.” Gadis mendadak lupa cara bernafas sekarang. Degup jantungnya serasa tak terkontrol. Untuk mencari aman, ia berbalik ke arah yang berbeda–tanpa menatap wajah Alden. Dan rasa panas di pipinya kembali ia rasakan.
“Lo kenapa? Takut gelap ya?” Tanya Alden, ia terlihat kelimpungan. Dengan cepat ia bangkit lalu menarik pelan tangan gadis itu. Dengan senyum yang sengaja ia tahan dibalik bibir gadis itu menggeleng. “Terus?” “Gue mau pulang Al, tiba-tiba gue demam terus akhir-akhir ini.” Alden terkejut, dengan refleks ia memegang wajah gadis itu dengan kedua telapak tangannya. Gadis itu membulatkan matanya, akhir-akhir ini perasaannya suka aneh. “Lo demam?” Aluna menggigit bawah bibirnya, ia benar-benar tak tahan. Wajah Alden benar-benar terlihat bersinar walau di tempat yang remang seperti ini. “Yaudah, kita pulang.” Gadis itu menghela nafas lega setelah Alden menurunkan tangan yang menakup wajahnya tadi. Perlahan ia merasakan tangannya digenggam oleh seseorang. Dan gadis itu tahu, siapa seseorang yang menggenggam tangannya kali ini. Orang itu masih sama–Alden.
Cerpen Karangan: Iga Selvani Blog: Igaselvani.blogspot.com