Alden menutup buku kecil itu. Ia kembali menatap hujan yang tak kunjung reda. Perlahan tatapannya menjadi sendu. “Aluna, lo baik-baik aja kan di dalam sana?” “Lo gak kedinginan kan? Kalau lo dingin, tanya gue. Biar gue kesana dan payungin lo. Maaf, gue gak bisa meluk lo seperti tempo hari lo hampir ditabrak mobil.” Alden terkekeh dengan rasa pahit yang selalu menjalar di sekujur tubuhnya, rasa sakit yang selalu mendatanginya saat mengingat gadis itu. “Gue tau sekarang lo lagi bahagia nikmatin hujan yang membasahi rumah terakhir lo,” Alden menghela nafas panjang. “Tapi, lo harus tau satu hal; Gue benci hujan yang lo sukai itu, Gue benci hujan yang membawa gadis yang gue suka pergi untuk selamanya. Gue benci semuanya Aluna,” “Karena saat ini gue rindu sama lo..” Alden menangkup wajahnya dibalik tumpuan tangan yang ia buat di atas meja. Ia menggosokkan hidungnya, ia memejamkan mata. Selanjutnya momen terakhir kembali terulang.
—
Aluna menarik tangan Alden kasar, dengan langkah cekatan ia membawa Alden menuju halaman depan rumahnya. Aluna menarik tangan Alden kasar, dengan langkah cekatan ia membawa Alden menuju halaman depan rumahnya. Ia meloncat bahagia, akhirnya hujan kembali datang setelah musim panas telah pamit.
Alden tak tahu harus mengekspresikan seperti apa, pasalnya Alden tak terlalu menyukai hujan. Dari kecil, Ibunya selalu melarangnya bermain hujan, katanya takut sakit. Tapi akhir-akhir ini setelah mengenal gadis bernama Aluna, ia jadi sering bermain hujan. Tapi, tak sakit pun. Mungkin dulu, Ibunya mengkelabui Alden, agar Alden kecil tak kebiasaan bermain hujan. Mungkin ia takut Alden terlalu menyukai hujan.
“Ayo dong, loncat kayak gini nih!” Aluna meloncat kegirangan, alisnya selalu ia angkat naik. Seolah memberi tanda bahwa lelaki itu harus melakukan hal yang sama. “Gini aja deh.” Alden meraih tangan milik gadis itu, menggenggamnya pelan. Ia bisa merasakan kalau tangan gadis itu benar-benar dingin. Kini giliran Alden yang tersenyum seringai, dalam hitungan ketiga keduanya tertawa bahagia. Dan saat itu pula, Alden tahu apa alasan gadis itu sangat menyukai hujan. The smell of earth after rain.
“Aluna! Jangan main hujan terus–nanti kamu sakit!” Keduanya menoleh ke sumber suara. Disana sudah ada Ibunya dengan wajah yang sangat cemas. “Iya, ma. Ini Aluna udah mau udahan.” Ibunya mengangguk setengah hati kemudian kembali memasuki rumah.
Aluna menghela nafas, air wajahnya langsung berubah menjadi kecewa. “Mama selalu gitu, larang aku main hujan. Mama gak pernah tau, kalau anaknya ini suka banget sama hujan. Hujan itu seperuh hidup aku.” Alden menggeleng lalu tersenyum. Ia mencubit pipi gadis itu lalu sedikit menekuk lututnya–berusaha mensejajarkan tinggi keduanya. “Mama kamu gitu karena sayang. Gue juga waktu kecil selalu di larang ama bunda–takut gue sakit katanya. Jadi, sekarang senyum oke?” Cukup lama gadis itu mengumpulkan aura negatif yang ada pada dirinya, dengan sekali helaan nafas ia tersenyum ke arah Alden. “Iya, ngerti. Makasih Al.” Alden mengangguk lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya, ia rasa gadis itu perlu kehangatan walau sesaat. Ada sekitar tiga menit Alden memeluk gadis itu, hingga ia tersadar akan sesuatu hal. Perlahan Alden merenggangkan pelukannya. Gadis itu menyerit heran. “Kenapa?” Alden tak menjawab, ia malah sibuk memeriksa saku celananya. Berusaha mencari sebuah kalung disana. “Gue punya ini buat lo.” Iqbaal menggenggam sebuah kalung liontin tepat di wajah gadis itu. Aluna, matanya berbinar. Dengan hati-hati, Alden mulai memasangkan kalung leontin ke leher gadis itu. Tak peduli bagaimana hujan yang ikut bertepuk bahagia dibalik rintiknya. “Suka?” Gadis itu menggauk antusias, “Suka banget!!” Alden tersenyum. Beberapa detik ia terdiam. Gadis yang tadinya tersenyum itu malah ikut terdiam juga. “Ada apa Al?” “Gue suka lo kayak lo suka banget sama hujan, gue sayang lo seperti rasa sayang lo sama hujan yang akan digantikan oleh musim panas,” Aluna terdiam, ia menanti apa sambungan kata Alden. “Jadi pacar gue, mau?”
—
Alden menatap gundukan tanah itu dengan tatapan sendu, ia melangkah mendekat. Setelah hujan reda tadi–ia langsung mengunjungi rumah gadis yang disayanginya melebihi gadis itu menyukai hujan. Ia meletakkan sepuncuk bunga berwarna putih di atas sana, ia berharap wangi bunga itu ikut menjalar dan memberitahu kepada gadis yang ada di dalam sana–kalau Alden kembali berkunjung di rumahnya.
“Udah seneng sekarang didatangin hujan?” Alden tersenyum hambar. Ia tahu sebanyak apapun pertanyaannya tetap saja gadis itu tak akan menjawab pertanyaannya satu pun. “Sekarang udah tahun ke-empat aku benci hujan, dan penyebabnya adalah hujan. Hujan yang duluan rebut kamu dari aku. Bahkan belum cukup sehari kita jadian dia udah jadi pembatas di antara kita.” “Hujan jahat kan sama pacar kamu, ayo dong–marahin hujan. Marahin karena dia udah berani rebut kamu dari aku.” Alden terlihat seperti orang gila, beberapa kali ia mengelus batu nisan beratas namakan gadis hujannya. “Selain hujan jahat, hujan juga gak adil. Dia ternyata curang Aluna, dia rebut kamu dengan cara keroyokan sedangkan aku sendiri berusaha pertahanin kamu. Biar kamu tetap sama aku.”
—
Memori yang paling Alden benci kembali terputar. Bisakah bagian ini ia langkahi saja? Aluna mematung sejenak, perlahan matanya terlihat menatap Alden dengan tatapan nanar. Beberapa detik kemudian ia tersenyum tipis lalu mengangguk. Alden yang terlalu senang sekarang kini memeluk gadis itu pelan. Ia berulang kali mengucapkan kata terima kasih. Dan dibalas anggukan oleh gadis itu. “Al?” “Iya?” Gadis itu mendongak, ia melihat sluit wajah Alden. Memang benar, cowok yang sekarang menjadi pacarnya ini cukup tampan. Jika disandingkan dengan artis di film favoritnya Alden tak jatuh pamor. “Makasih udah mengisi hari-hari gue setahun belakangan, maaf sudah tuduh lo yang gak-gak pas awal kenal. Maaf, udah paksa lo buat jadi teman gue.” Alden mengangguk, ia terlalu terharu sekarang. Hujan mulai mereda. Gadis itu menghirup nafasnya panjang lalu tersenyum.
“Salamin ke mama ya. Bilang maaf kata Aluna. Maaf udah bikin mama khawatir. Maaf gak bisa bertahan untuk Mama.” Alden terdiam, senyumnya langsung luntur. Perasaan tak enak hati mulai menghantuinya–seperti sebuah rasa takut. “Maksud kamu apa?” Gadis itu menggeleng. “Gak, cuman minta tolong sampein itu ke Mama.” “Kenapa gak nyampein langsung aja?” “Takut Mama gak maafin.” Alden menghela nafas, ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah gadis itu. Lagi-lagi Alden terdiam saat menyadari, bahwa ada banyak sekali perbedaan dari sosok yang ada di depannya ini. Wajahnya terlihat lebih bersinar tetapi pucat. Bibirnya agak memutih. Alden yang semakin tak enak hati menggenggam tangan gadis itu.
“Kamu gak apa-apa, kan?” Gadis itu menggeleng. Ia tersenyum. “Boleh peluk kamu lagi gak? Aku dingin.” Alden menganggauk lalu segera memeluk gadis itu, ia beberapa kali meniup ujung rambut gadis itu. Berusaha memberikan kehangatan. “Kita masuk aja ya? Nanti kamu sakit.” Gadis itu menggeleng, ia semakin mengeratkan pelukannya. “Aku takut.” “Takut kenapa?” Gadis itu terdiam, ia terdengar menangis kecil di balik baju Alden yang basah. “Kamu kenapa? Cerita sama aku. Tolong jangan buat aku khawatir.” Gadis itu sedikit merenggangkan pelukannya. Ia tersenyum tipis. “Kalau aku pergi kamu gak apa-apa kan?” Dan Alden bisa merasakan ada berapa banyak beban yang menimpanya kali ini. “Maksud kamu?” “Duduk.” Intruksi gadis itu. Alden dengan berat hati menurut. Tangannya tak hentinya meremas jari-jari mungil milik gadis itu. Terasa sangat dingin dan kaku.
“Bantu aku ya?” Alden semakin tak tenang. Ia memegang tangan gadis itu dengan kedua tangannya. Ia berusaha menggesekkan kedua tangannya–mungkin cuman ini caranya agar gadis itu tetap merasa hangat. “Bantu apa? Hangatin tangan kamu?” Gadis itu menggeleng. “Terus?” Ia tersenyum tipis. “Bantu aku menghadap ke pencipta dengan sempurna, Al.” Gesekan tangan Alden tiba-tiba terhenti. “Aku yakin kamu tahu gimana caranya, kamu kan imam yang baik buat aku.” Alden meneguk ludahnya dengan susah payah, ia berusaha membasahi tenggorokannya yang mulai mengering. Alden sudah paham sekarang, apa yang dimaksud gadis ini.
“Mulai Al.” Gadis itu meremas tangan Alden. Lelaki itu bisa merasakan kalau tangan gadis itu menjadi sangat dingin. Alden menghela nafas panjang. Ia berusaha mengikhlaskan semua yang ia miliki di dunia ini. Termasuk ia harus mengikhlaskan kalau gadis yang resmi menjadi belahan jiwanya hari ini harus pergi, menghadap sang pencipta. “Ayo, Asyhadu alla ilaaha illallah” Intruksi Alden dengan suara bergetar. Gadis itu tersenyum hangat. “Asyhadu alla ilaaha illallah…” “Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…” “Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah..”
Kata terakhir itu benar-benar membawa Aluna pergi. Gadis itu langsung limbun di pangkuan Alden. Lelaki memandang nanar belahan jiwanya. Tanpa menunggu lama, ia terisak. Seorang lelaki bernama Alden terisak sambil terus memeluk kekasihnya. Ia berulang kali melayangkan kecupan perpisahan pada gadis itu. Dari arah belakang, Alden mendengar suara tangis pecah datang dari Ibu gadis itu. Ia langsung menghampiri anaknya dan menangis sejadi-jadinya.
Alden. Lelaki itu terdiam tanpa kata. Namun ketahuilah air mata selalu jatuh dari pelupuk matanya. Dan hujan itu benar-benar berhenti disaat gadis itu telah pergi untuk selamanya.
—
“Kalau ada hujan, aku selalu kepikiran kamu. Kamu emang jago buat kangen ya?” Alden merasakan matanya mulai memanas. Kenangan itu telah berakhir, kenangan dimana ia pernah menjadi sosok yang penting untuk gadis penyukai hujan seperti Aluna.
“Kamu tau? Aku selalu bawa loh foto-foto candid kamu kemana-mana. Di dalam saku, aku selalu bawa kamu kemana pun aku pergi. Kamu gak tahu kan? Kalau selama ini aku jadi tukang paparazi.” “Itu karena kamu cantik, jadi kalau aku kangen di rumah pasti liatin foto kamu.” Alden menepis kasar air matanya.
“Yaudah aku pamit ya, kamu hati-hati disana. Jangan sampai kamu kecantol sama malaikat baik. Ingat, masih ada aku. Tunggu aku nyusul ya,” Alden mengusap pelan batu nisan itu. “Ingat, kamu harus jemput aku ya pake senyum terindah kamu kalau liat hujan.” Alden menghela nafas. Sudah saatnya ia harus pergi dari tempat ini. Tempat kunjungan favoritnya selama beberapa tahun belakangan.
Ia menunduk, mengucapakan beberapa kalimat doa disana. Setelah usai ia tersenyum tipis lalu mengecup batu nisan kekasihnya. Dengan langkah pelan, ia meninggalkan pemakaman itu. Tempat dimana kekasihnya mendapat kenangan dan keluarga baru. Dan sepertinya Alden harus tetap tegar dan bersabar menunggu saat dimana ia bisa menyusul kekasihnya, Aluna.
Cerpen Karangan: Iga Selvani Blog: Igaselvani.blogspot.com