Entahlah ada aja idenya untuk ngerjain aku. Nggak disana, nggak disini, nggak birthday, sampai birthday, selalu dikerjain. Ya, sebel jelaslah… tapi seru juga sih, hehe.. siapa lagi? Kalau bukan si Irfan. Cowok ternyebelin sedunia..
Irfan Angga Yunanda namanya. Yang biasa kupanggil Irfan. Menurutku, dia cowok yang baik, perhatian, tapi terkadang sok cuek sih.. dia sahabatku sejak aku kecil. Setiap ada aku, pasti ada irfan. Teman pertama masuk sekolah, teman berpetualang, dan yang pasti Irfan adalah teman saat aku lagi duka. Senyebelin apa juga, si Irfan tetap temanku untuk segala hal.
Awalnya, si Irfan mengajakku ke toko bunga. Katanya sih untuk membelikan temannya yang lagi birthday, tapi bukan untuk aku. Ya udah deh, gak masalah. Lagi pula, birthday gak harus dapat hadiah kan?. Kubantu dia untuk memilihkan selera cewek. Setelah merasa ada yang cocok, segera Irfan membawaku ke toko boneka. Sama halnya di toko bunga, aku lagi yang pilihkan. Si Irfan mana tau selera cewek.
Dirasa cukup sudah, cowok berlesung pipi tersebut memboncengku menuju sebuah taman di tengah keramaian kota. “tunggu sebentar ya?”, kata Irfan sembari berjalan menjauhiku. Kutunggu si Irfan sambil duduk duduk di ayunan, melihat lalu lalang kendaraan di depanku.
Tak lama kemudian, seorang mendorong ayunan yang kududuki dengan sangat kencang. Responlah, aku jatuh tersungkur. Ku mencoba bangun perlahan, tapi.. sebuah telur menghantam wajahku, sehingga menjadikan penglihatanku kabur. Tak puas sampai disitu, sekantong tepung ditaburkan di atas kepalaku. Ku menangis, berharap dikasihani. Samar samar kudengar lagu “Happy Birthday” dengan suara yang tak lagi asing untukku. Ya, itu suara Irfan.
“Hai kok cengeng sih?, bangun ah..”, sapa Irfan membuyarkan tangisanku. Dengan segera, Irfan mengulurkan tangannya untukku. Kugosok gosok mataku yang perih karena tepung dan meraih uluran tangannya. “jadi kamu Fan?, jahat kamu ya?”, rengekku seperti anak berusia 3 tahun. Si Irfan justru tertawa lepas. Entahlah mengapa? Mungkin karena melihat wajahku yang aneh karena ulahnya. Ah bodo amat aku ngelayani cowok gila seperti Irfan, mending aku pulang. “eh tunggu..”, cegat Irfan sembari menarik tanganku dengan tiba tiba. Aku tetap enggan tuk menoleh. “engkaulah teman cewekku yang kumaksud, Maudyra Nadya Ayunda”. Perlahan kubalikkan badanku menghadap Irfan. Kupeluk dia, layaknya pelukan semasa SD dulu. “happy birthday sobat. bertambah umurnya, bertambah juga yang positif ya”. Kata katanya, membuat air mataku kembali menetes dengan derasnya. Ku hanya menganggukkan kepalaku pelan di pelukan dada bidangnya, tak pedulikan bajunya harus kotor karena dekilnya diriku.
Paginya, seperti biasa ku pergi sekolah dengan dibonceng Irfan. Kurang lebih sepuluh menit perjalanan, akhirnya sampai juga di sekolah tercinta. Haha.. terlalu lebay nyebutnya. Eh tunggu tunggu.. siapa itu?. Ku sengaja tidak membuntuti Irfan masuk ke kelas dan berhenti di depan gerbang sekolah, dengan maksud ingin melihat cowok berkulit putih itu dengan lebih dekat gitu.. nampaknya dia calon siswa disini. Lewat deh dia di depanku dengan membelakangi seseorang yang kelihatannya papa dan mamanya. Oh my god! tampan bener.
Setelah cukup puas melihat calon pacar. Eh, maksudnya calon kawan.. hehe.. kumasuki kelas 12 A. Ya, itu kelasku. Kuceritakan semua tentang cowok tampan yang barusan kutemui pada Irfan. Seperti biasa, Irfan “no comment”. Tapi kalau sudah cerita mulutku ini enggan untuk direm. Terus saja berkokok, seperti ayam gitu emang. Sampai sampai Irfan lebih mengeraskan lagu di earphonenya, mungkin karena pusing mendengar ocehanku.
“kayaknya aku mulai suka dia deh..”, kataku membuat si irfan langsung mematikan lagu di earphonenya. “hah?, serius kamu?, dasar gila, baru ketemu aja udah suka”, kata Irfan tersentak kaget. “ya cinta pandangan pertama mungkin..”, jawabku sedikit gugup. Irfan hanya tertawa kecil mendengar jawabanku. Yang kupikir memang sedikit gila sih..
Tak lama kemudian, bel pun berbunyi. Lho kok kawan kawan pada masuk lagi ya?. Ah bodoh amat.. mungkin guru guru sedang sibuk dengan persiapan akreditasi sepekan yang akan datang. Dengan gontainya, kulangkahkan kembali kakiku ke bangku yang biasa kududuki.
1 menit kemudian, Pak Nadzar, tepatnya wali kelasku, datang ke kelas dengan dibuntuti cowok tampan yang barusan kutemui. “Selamat pagi semua.. hari ini saya selaku wali kelas, mengenalkan kawan baru kalian yang akan duduk di kelas ini”, jelas P.Nadzar. “Morning all.. kenalkan namaku Alva Dwi Andhika, bisa kalian panggil aku Alva. Aku pindahan dari kota Medan. Dan disini, aku mengikuti orangtuaku yang kebetulan ditugaskan di kota kalian yang indah ini. Kuharap, kawan kawan bisa menerima kehadiranku di kelas ini ya..”, jelasnya panjang lebar di ikuti dengan menyunggingkan seutas senyum. Sungguh manis.. pantas aja cewek cewek pada heboh bertanya. Dari yang, “masih jomblo?”, sampai yang, ”punya IG nggak?”
Jam dengan cepatnya berputar menuju jarum yang menunjukkan pukul 10.30. entahlah, hari ini aku malas keluar untuk sekedar membeli snack. Gak ada seorang pun cowok yang pernah mentraktir aku untuk beli apa saja di kantin. Jangankan begitu, yang pernah ngajak keluar bareng aja nggak ada. Palingan juga si Irfan. Hmmm.. jadi diriku itu menderita, gak pernah ada yang ngajak jalan bareng, pacar pun gak punya.
“Hy, keluar bareng yuk?”, sapa Alva membangunkanku dari lamunan konyolku. “eh ada kamu va.. iya boleh aja”, jawabku sedikt gelagapan. Dengan tiba tiba Alva menggandeng tanganku. Hah, serius Alva gandeng aku?. Pake ngajak keluar bareng lagi. Ah, pasti ini mimpi. Ayo bangun, Maudy..
Ternyata ini tidaklah mimpi. Ini beneran.. aku lagi keluar bareng Alva. Si Alva masih sibuk dengan tukang pramusaji. Ya, dia lagi memesan makanan untuk kita. kutarik kursi perlahan dan duduk tepat di depan bangku yang akan ditempati Alva. Alva pun datang membawa 2 mangkok bakso. “ayo silahkan dimakan baksonya. Ngomong ngomong aku belum tau namamu. Siapa namamu?”, katanya dengan menarik kursi bermaksud hendak diduduki. “iya, thanks.. aku namanya Maudy”, jawabku singkat. Dan bla, bla, bla…
Kuceritakan semua tentang pertemuan singkatku dengan Alva. Pada siapa lagi, pendengar setiaku, Irfan. Seperti biasa, Irfan enggan berkomentar. Ia hanya mengiyakan. Walaupun begitu, aku terus saja berkokok. Sampai pada akhirnya, Irfan memanggil namaku. Aku menjawab dengan penuh semangat. Kupikir, Irfan hendak menanyakan soal Alva, tapi ternyata tidak. Ia hanya mengajakku pergi k edanau nanti sore. Ya sudahlah..
Sesuai perjanjian, ku pergi ke danau sore ini. Kutanyakan mengapa ia mengajakku kesini. Katanya seperti biasa, hendak naik perahu dayung. “ayolah, kalau tidak mau, aku keliling sendiri aja”. Wah naik perahu dayung, aku nggak boleh nolak nih. “ya udah aku ikut deh..”, kataku dengan semangat. ku segera menaiki perahu dayung yang sudah disewa Irfan. Sia sia kan udah nyewa kalau nggak jadi ditumpangi.
Suasana inilah yang selalu kunantikan. Berdua, tanpa seorang pun pengganggu. Kusandarkan kepalaku pada bahu Irfan. Irfan hanya mengelus pelan kepalaku. “kamu harus berjanji, jangan pernah sekalipun hilang dari hidupku. Ya, walau itu sedetik saja.. aku gak bisa melawan ombak dunia tanpa kamu..”, kataku dengan menunjukkan jari kelingking sebagai isyarat berjanji. Entahlah mengapa, Irfan enggan menjawab. Ia hanya diam menatapi birunya langit. Ya mungkin, Irfan tak mendengar.
“Kapan kita menghabiskan waktu seperti ini di Venezia sana?”, tanyaku dengan tiba tiba. “lewat jalan pendidikan lah”, jawab Irfan dengan bijaksananya. “kita berdua harus kesana, dan semoga tuhan mengizinkan kita menjadi mahasiswa terbaik disana”, sebuah support kulayangkan pada Irfan, pun juga diriku. “hah?, kita?, bukannya kamu aja yang terlalu antusias untuk kesana?”. “kamu gimana sih Fan?, bukankah ini impian kita berdua?”, jawabku sedikit kesal. Tiba tiba ku berada dalam dekapan dada bidangnya. Ada apa dengan si Irfan? “I love you, Maudy.. aku akan selalu menyayangimu, dalam lara, tangis, pun juga benci”. Kuanggukkan kepalaku berarti ku telah mengiyakan.
Paginya, seperti biasa, ku berangkat sekolah. Kutunggu Irfan, si sopir pribadiku. Tak biasanya ia telat seperti ini. Tumben, selalunya ia yang memburuku untuk segera berangkat, padahal hari masih pagi. Ini udah jam berapa? Sekolah akan dimulai 15 menit lagi. Sedangkan jika naik sepeda kayuh perjalanannya menguras waktu 15 menit. Kemana kamu, Fan?
Ya, sepeda motor!!! dengan naik sepeda motor, perjalanan ke sekolah akan dipersingkat 10 menit dari biasanya ku naik sepeda kayuh bersama Irfan. Belum sempat kupanggil, eh si Alva udah mendekat. “barengan yuk?”, tanya Alva singkat, namun ku mengerti. Tapi bagaimana ya? Ah bodoh amat.. si Irfan pasti mengerti posisiku sekarang. Jika ia kecewa, aku nggak peduli. Lagian siapa suruh ia telat?. Itung itung, ini PDKT, hehe.. “baiklah”, kataku disusul menaikkan badanku yang sedikit gemol ini di sepeda ninja milik Alva.
Hari selasa gini, biasanya nulis soal buuuaaaanyak dari Bu Yohana, guru IPA-fisika. Bosan sih bosan, tapi gimana lagi?. Kalau nolak, nanti malah kena omel. Ya sudahlah.. segera kugoreskan tinta penaku pada kertas putih yang sudah ada di hadapanku. Sesekali ku melirik kebelakang. Melirik siapa lagi kalau bukan si Alva?. Hehe.. maklumlah pujaan hati. Nampaknya si Alva belum menulis sesoal pun. Entahlah ada apa?. Oh ya, biasanya kan si Alva pakai kacamata, lha kali ini tidak, palingan kacamatanya tertinggal. Duh.. jadi gak tega lihatnya.
“Fan, sementara ini kau pindah ke bangku Alva ya? Lalu si Alva yang pindah ke bangkumu. Tukar tempat gitu loh maksudnya. Lihat tuh, kasihan Alva belum nulis sesoal pun. Boleh ya?. Please..”, pintaku pada Irfan yang sedang asyik menulis soal. Irfan mencoba melirik ke belakang untuk memastikan omonganku itu benar. Dasar, kurang percaya amat sih, padahal sama sahabat sendiri juga.. “gak lihat kacamata segede ini, hah? Emang si Alva doang yang matanya minus? Emang kamu gak kasihan apa, jika aku harus duduk di belakang? Nantinya justru aku yang nggak bisa ngerjakan”, Tanya Irfan tak beraturan karena diburu emosi. ”enggak”, jawabku santai. “jadi gitu sekarang, sahabat dinomor duakan?. Emang ya, orang kalau kena cinta, yang gak bisa semua jadi bisa. Tega kamu Maudy.. aku kecewa sama kamu..”, katanya sedikit kesal dan berlalu menjauhiku. Segera kutarik tangan seorang yang kusayang. Alva, bukan Irfan, untuk duduk di sampingku. Biarlah si Irfan yang kecewa kek, apa kek. Bodoh amat.. aku nggak peduli.. Irfan hanya sebatas teman bukan?, sedangkan Alva, lebih dari sebuah teman.
Semenjak hari itu, hubunganku dengan Irfan seakan berakhir. Tak sekalipun Irfan menemuiku, sekedar sms pun tak pernah. Aku pun tak peduli dengan sikap cowok berkacamata itu, yang menurutku belakangan ini menjadi sedikit gila. Entahlah ada apa dengannya? Begitu hancurkah perasaannya saat kutinggal? Sudah seperti gilanya saat putus cinta. Ataukah, dalam diamnya ia menyimpan rasa cinta untukku? Ah sudahlah.. WE BESTFRIEND!!!
Alva mengajakku bicara dengan serius dikantin sekolah. Aduh, ada apa ya?. Apakah aku pernah berbuat salah padanya? Apakah aku harus menolak ajakannya ini?. Tapi semua teman, menyorakiku. Katanya mungkin Alva akan menembakku hari ini. Ya sudahlah.. akan kutemui Alva saat jam istirahat.
Suara petikan gitar, disusul lagu “Virgoun – surat cinta untuk Starla” menenangkan hati pun juga ragaku yang tadinya bergetar. Suara Alva bukan?. Kulangkahkan kakiku perlahan menuju asal suara merdu tersebut. Alva? Kulihat cowok bertubuh atletis berjalan perlahan mendekatiku dengan membawa seikat bunga. Ku terdiam di tempat. Sedangkan Alva menatap mataku dalam dalam.
“kau tau? Sebuah hubungan akan kokoh jika berfondasi atas nama cinta. Meski 4 musim sekaligus, semua akan tertakluk. Maudy.. ku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan segenap rasa pun juga asa. Maukah kau terima cintaku?”, gombal Alva membuatku sedikit gugup. Ditambah suara sorakan dari semua siswa disini, memaksaku untuk mengiyakan. Inilah pertanyaan yang kau nanti nantikan, Maudy.. Kuanggukkan kepalaku dengan segenap rasa cinta. Alva meraih tanganku tiba tiba dan mengecup punggung telapak tanganku. Thank you, my God..
Mulai hari itu Alvalah yang menggantikan posisi Irfan. Kami selalu menghabiskan waktu bersama seperti yang selalu kujalani bersama Irfan. Dia juga yang menjadi sopir pribadiku kini. Hubunganku tenang tenang saja, sampai bulan pertama masalah mulai melanda.
Alva menyerahkan sebuah surat usang. Sepenting inikah surat ini sehingga membuatnya memberikan malam malam. Padahal, besok kita juga bertemu di sekolah bukan?. Belum sempat kutanya surat apa ini, namun Alva sudah berlalu pergi. Ia hanya berkata jika dia menemukan surat ini di halaman sekolah dan setelah ia membuka ternyata ini untukku. Ya sudahlah.. Kututup pintu dan berjalan menuju kamar pribadiku. Ada apa dengan surat ini?, Apa isinya coba?, dan Dari siapa surat beramplop biru ini?. Dengan rasa penasaran, kubuka surat yang ada di genggamanku sekarang juga.
“From : Irfan Angga Yunanda 31/03/2017
Dier Maudyra Nadya Ayunda..
Aku sendiri, Meratapi kerasnya hidup ini. Aku bersama, Menikmati indahnya dunia. Tetaplah tersenyum bahagia. Air mata, jangan sesekali menyapa. Hadirlah dalam setiap nafas, Menghidupkan raga yang mulai tak pantas. Hanya satu inginku, Hapuslah kesendirianku. Karena dengan hadirmu, Kalbuku berbunga selalu.
Cerpen Karangan: Ninis Khiyarotun Nisa’ Blog / Facebook: Ninis Hai guys! Ini Cerpen pertamaku. happy reading!