Aku, adalah cowok yang selalu kau sebut sahabat. Namun, tidak untukku. Bagiku, ku menyebut dirimu “belahan jiwaku”. Cukup aneh bukan? Namun inilah kata hatiku. Aku mencintaimu. Namun, ku tak punya cukup nyali untuk mengungkapkannya. Please, terimalah cintaku, Maudy.. I Love You..”
Surat tertanggal 31/03/2017 tersebut, membuatku terdiam. Irfan mencintaiku? Apa yang harus kulakukan? Haruskah kubalas surat ini?. Ah tak perlu.. cowok pemilik baby face tersebut pasti sudah tau tentang hubunganku yang sekarang dengan Alva. Lagi pula, ini kan surat sebulan yang lalu, sebelum aku dan Alva jadian.
“Kamu kenapa?, kurang enak badan?”, tanyaku sedikt khawatir akan keadaan Si Alva yang hanya diam sedari tadi. Tanpa banyak memberi komentar ia hanya menggelengkan kepalanya. Tumben.. ada apa dengan Alva? “ya udah, udah sore nih.. aku balik dulu ya?”, katanya meminta izin padaku. Ku mendekati Alva seperti biasa ketika hendak pulang. Namun, entahlah dia melupakan kebiasaannya yang satu ini dan berlalu pulang begitu saja tanpa mencium keningku terlebih dahulu. Ya udah, gak apa apalah.. sekali saja kok.. mungkin Alva lupa..
Alva berubah derastis selama seminggu ini. Ia tak pernah lagi mengajakku jalan, mencium keningku, dan tak pernah menjemputku ketika hendak berangkat ke sekolah. Ku mencoba intropeksi diri. Adakah yang salah dari diriku, sehingga menyinggung perasaannya. Tapi menurutku tak ada sih. Tapi, mungkinkah karena surat dari Irfan waktu itu?
Ku berangkat sendiri dengan mengendarai mobil kesayangan milik mama menuju acara wisudaku. Seperti sudah yang kubilang tadi, Alva sudah berhenti menjadi sopir pribadiku. Aku tidak berangkat sendiri, mama dan papaku akan menyusul. Hanya saja ku ingin berangkat lebih awal untuk mempersiapkan diri agar suaraku lebih lancar menyanyikan lagu di akhir acara.
Masih dalam hitungan jari ku melangkah. Namun pemandangan tak menyenangkan membuat air mataku mengintip ingin keluar. Ku dekati cowok yang tengah bermesraan dengan cewek yang cukup cantik di bangku pojok. Yang tak lain adalah pacarku sendiri, Si Alva. Ku tampar sekeras kerasnya, karena buatku ini suatu pengkhianatan cinta. “siapa cewek ini Alva?!”, bentakku. “pacarlah.. siapa lagi?”, jawab Alva dengan santainya.
Seperti yang sudah kuduga, Alva mempermasalahkan surat yang ditemukannya di halaman sekolah hari itu. Ya, surat dari Irfan untukku. Air mataku kini sudah tak lagi mengintip, ia keluar dengan derasnya menghapus make up yang sudah terlukis cantik diwajahku. Kuputuskan untuk segera berlari ke tempat sepi, berharap akan mendapat sedikit ketenangan.
Ku terduduk di kursi taman sekolah. Ku berteriak sekeras mungkin, melampiaskaan segala kekecewaanku pada Alva. Tak kusangka seorang mendengar suaraku dan memberikan sapu tangannya untuk menghapus air mataku. Ku terima tanpa melihat siapa yang telah berbaik hati padaku tersebut. Dan segera kuhapus air mataku yang telah membuat makeupku tak lagi cantik. Ku berbalik dengan perlahan, menghadap si pemberi sapu tangan.
“Maudy?, kau kenapa?, lalu kemana si Alva?”, tanya Irfan yang menurutku itu adalah sebuah ejekan. “ini yang kau inginkan bukan?, hubunganku dengan Alva berakhir sudah, iya kan?, jawab fan, jawab!!!”, bentakku pada cowok berkulit sawo matang di hadapanku. Ku tak memberi Irfan celah untuk sekedar berkata iya. “mengapa kau sekeji itu fan, mengapa? Bukankah kau yang selalu mendorongku untuk segera punya pacar? Sakit fan, sakit.. dikhianati orang yang teramat dicintai..”, sambungku lalu beranjak pergi meninggalkan Irfan. “aku pun sakit Maudy, ketika harus dihadapkan dengan kenyataan.. karena aku, mencintaimu”. Tak kugubris kata kata yang keluar dari mulut Irfan. Dan tetap mencoba fokus untuk berjalan ke depan.
Waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Sudah saatnya ku naik ke panggung dan menyanyikan lagu penutup acara. Kuraih dengan segera sebuah microphone yang sudah tersedia di depanku. Ku tak ingin memperlambat waktu, karena ku tak kuat lagi berada disini. Ku ingin cepat pulang dan menyendiri di kamar sunyiku. Bersama Irfan, aku melantunkan lagu berjudul “Lebih baik” yang biasanya dibawakan oleh boyband CJR.
Seminggu sudah waktu berlalu. Kini, ku berubah menjadi sosok gadis yang pendiam. Karena jujur, aku belum bisa move on akan kepergian Alva dari hidupku. Dalam waktu seminggu ini pun, aku masih belum bisa menerima Irfan menjadi sahabatku. Karena dialah, pokok permasalahanku dengan Alva.
Mama selalu mengatakan jika semua ini tidak sepenuhnya salah Irfan. Manusia berhak menyampaikan cintanya pada yang ia cinta. Itulah pesan mama, yang secara tidak langsung menyuruhku untuk memaafkan dan menerima Irfan kembali sebagai sahabatku. Benar juga kata mama.. aku mana bisa mencegat cinta. cinta tidak harus dalam keadaan sadar. Ya, ku akan memaafkan kesalahan Irfan dan pergi kerumahnya hari ini juga. Itulah yang lebih baik..
Kutemui Irfan sore ini juga. Ku ketuk pintu rumah bercat coklat dengan segera. Ketukan sudah tak lagi terhitung. Namun tak ada balasan dari penghuni rumah. Kemana Irfan? Mungkinkah dia pindah rumah?. Ah, aku tak boleh negthink. Mungkin saja Irfan dan keluarganya tengah berlibur keluar kota. Kulangkahkan kakiku menuju mobil dan melaju pulang.
Sebulan sudah, ku bolak balik ke rumah Irfan untuk sekedar melihatnya sudah ada di rumah atau belum. Hasilnya selalu kosong. Ku juga menanyakan kesemua teman Irfan, tentang keberadaannya kini. Namun hasilnya nihil. Tak seorang pun tau dimana Irfan berada. Ku mencoba menelepon nomornya sekali lagi, berharap kali ini ada jawaban dari mulut Irfan. Sudah kuduga, nomernya tak akan pernah aktif. Where are you, Irfan?
Waktu sudah tak dapat lagi ditunda. Hari ini juga, ku harus berangkat sendiri ke negeri orang, Italia. Sekuat tenagaku, sekeras usahaku, Irfan tak akan pernah kembali. Impianku 10 tahun silam, hanyalah sebatas impian. Irfan sudah menghilang entah kemana. Sedangkan kuliahku, tak mungkin tuk menunggu Irfan yang entah kapan datangnya. Ternyata Irfan tak menepati janji saat kurang lebih setengah tahun yang lalu itu beralasan. Sekarang, ia meninggalkanku sendiri, dalam kerasnya hidup ini. Irfan, please, come back..
Kupandangi birunya langit dari balik tirai jendela pesawat yang aku tumpangi. Namun, selalu menghadirkan moment kebersamaanku bersama Irfan 10 tahun silam. Ku bahagia waktu itu bersama Irfan. Namun mengapa? Aku menghancurkan sendiri hubunganku dengan Irfan waktu itu hanya karena cinta yang palsu. Kini, ku baru tau rasanya, bagaimana kehilangan orang yang benar benar ku cinta. Aku menyesal telah meninggalkan Irfan waktu itu. Perasaannya pasti sangat sakit, sama seperti perasaan yang kualami saat ini. Forgive me..
“Mengapa benci seketika mencari? Apa yang kupikirkan ini? Apakah, Ini yang namanya cinta? Pada ia, yang pernah ku buat kecewa. Tuhan… Jika memang ini cinta, Ku mohon kuatkan raga. Agar tak pantang menyerah. Agar tak hanya berpasrah”
Ku langsung berangkat ke kampus begitu sehari ku menginjakkan kaki di negeri Italia ini. Ya, seperti kebanyakan orang di negeri ini ketika harus bepergian. Harus menempuh perjalanan menggunakan kendaraan khasnya, perahu dayung. Menikmati keindahan kota Venezia ini tak lengkap rasanya jika pergi sendiri. Semua keindahan hambar rasanya, tanpa Irfan. Ini impian aku dan Irfan, tak heran jika aku harus menitihkan air mata ketika melihat negeri nan elok ini.
Kubuka lembaran baru kembali. Ku kan berjalan sendiri, mencari kesuksesan dunia wal akhirah. Dalam naungan memori bersama Irfan, ku coba tetap bertahan. Menikmati setiap detik yang kan terlewati tanpa sosok supporter. Hmmm.. Tuhan, mungkinkah ini dosaku?
Cewek berambut panjang itu perlahan mendekatiku. Dengan wajah imutnya, ia tersenyum padaku. “hai,. Nice to meet you.. Indonesia?”. Cewek itu berkata padaku, ku harus menjawabnya. “eee.. nice to meet you too.. yes, I’m from Indonesia.. and you?”, jawabku dengan menyunggingkan senyuman terindah milikku. “owh.. aku juga Indonesia. Aku Naura”, ia mengulurkan tangannya dengan segera sebagai isyarat ingin berkenalan denganku. “Maudy..”, jawabku singkat dan menyambut uluran tangan halus Naura. Kurang lebih 10 menit kita ngobrol, sekedar berkenalan lahh..
“Oh ya Maudy, aku kesana dulu ya?. Cowokku udah nunggu tuh.. Kapan kapan aja ya kita ngobrol lagi.. nanti kukenalkan juga cowokku.”, kata Naura berpamitan padaku. “boleh aja..”. Ku lambaikan tanganku tanda mengucap selamat tinggal. Beruntungnya Naura, bisa berkuliah bareng kekasihnya. Sedangkan aku, sendiri.. Fan, aku merindukanmu.
“Iri kembali mematikan percaya. Memudarkan semburat tawa. Terlontar sekata kecewa. Dari hati yang semula ceria. Begitu bahagia mereka. Merasakan dunia laksana surga. Dingin menggigil tiada terasa. Terpayungi hangatnya bercengkrama, Ku kan coba kuatkan hati. Langkahkan kaki, Yang tlah diam sedari tadi. Yang tlah mematung tiada arti”
Ku berjalan sendiri dalam gelapnya koridor kampus. Segelap hatiku saat ini. Ah sudahlah, berhenti melamun. Tak mungkin, Irfan kembali menemui diriku. Kisahku, tak mungkin seindah kisah di negeri dongeng. Tak mungkin, tiba tiba Irfan nongol di hadapanku.
Hah, siapa itu?. Kenapa orang itu?. Apa untungnya coba tiduran di jalan?. Cari pacar gitu?. Haha, dasar gila.. kulangkahkan kakiku perlahan mendekati cowok berkemeja biru itu. “Hello?”, sapaku pelan. Ia tak merespon. Kuulangi kembali ucapanku dengan volume yang lebih keras. Ya, mungkin aja dia tadi tak mendengarnya. Tapi tetap saja ia tak menjawab. Mungkin ia tengah tak sadarkan diri. Akhirnya kuberanikan diriku membalikkan badan cowok yang sedang tengkurap itu.
Hah, Irfan?! Betapa kagetnya diriku. Setelah sekian lama ia menghilang, kini sosok yang kurindu ada di pangkuanku. “Fan, kamu kenapa? Buka matamu fan.. ini aku, Maudy”, kutepuk tepuk pipi Irfan berharap ia membuka matanya dengan segera. Buliran air mata tiba tiba membasahi pipi kanan dan kiriku. Ya tuhan, mengapa kau mempertemukan diriku saat Irfan tak menyadari kehadiranku?
Ku teriak dengan keras orang orang yang berlalu lalang di depanku. Meminta bantuan untuk segera membawa Irfan ke Rumah sakit. Kubuntuti orang orang yang membopong Irfan dengan derain air mata mengiringi. Aku tak mau, kehilangan Irfan lagi. Aku terlalu menyayanginya. Inilah kesempatan kedua bagiku. Mengulangi masa masa yang sempat terbuang karena kepergian Irfan dari pandangan mataku.
Apa?. Benarkah semua ini?. Tidak, ini hanya mimpi. Mimpi terburukku. Irfan baik baik saja. Aku sahabatnya. Aku yang selalu ada di sampingnya. Aku tau segalanya tentang Iran. Jika, kebiasaan terburuk yang Irfan miliki aku tau, pasti aku juga tau tentang penyakit yang ia derita. Ini hanya kesalahan medis. Irfan tak mengalami apa yang dibilang dokter tadi.
Kata kata dokter tadi, memenuhi isi kepalaku. Membuatku semakin erat menggenggam tangan dingin Irfan. “Fan, please.. sadarlah!!”. hanya kata itu yang trus kuucapkan pelan ditelinga Irfan. Ya ku tau, ia tak mungkin mendengarnya. Tapi ku yakin, Irfan dapat merasakannya. Karena ku tau, Irfan juga menyayangiku.
Ingin rasanya trus menemani Irfan disini. Tapi waktu tak dapat diajak berkompromi. Hari sudah semakin larut. Dan aku harus pulang. Tapi, jangan khawatir, aku akan kembali esok hari. Pagi pagi sekali aku akan kesini. Aku janji!! kulingkarkan kelingkingku pada kelingking Irfan yang terpasang peralatan medis. Kupeluk terlebih dahulu tubuh Irfan sebelum ku pulang. Tak lupa kukecup pula keningnya. Get will soon!!
Esok harinya sesuai janjiku, ku pergi pagi pagi sekali ke Rumah Sakit. Teruntuk menemui Irfan. Segera kulambaikan taganku untuk mencegat taxi. Ya mau apa lagi, untuk mengantarku ke Rumah Sakit sebrang sana, tempat Irfan dirawat. Aku berharap Irfan membuka matanya hari ini, setelah masa kritisnya kemarin.
Tak perlu waktu lama untuk menuju ruangan Irfan. Cukup berjalan lurus ke depan, sampai deh.. mudah bukan?. Loh itu Naura bukan? Ada apa dia kesini? Di depan ruangan Irfan lagi. Ah, dari pada ku bertanya sendiri di hati, langsung aja kutanyakan pada Naura.
Dengan rasa penasaranku, kulangkahkan kaki mendekati Naura. Aku memang tipe cewek yang gak suka basa basi, jadi langsung aja tanya. “eh ada loe, Dy..”, sapa Naura mendahuliku yang hendak bertanya. “iya.. oh ya, BTW, loe sedang apa disini?”, tanyaku. “oh gue.. gue lagi nunggu pacar nih yang sedang sakit. Lah loe sendiri mau kemana?”, jelas Naura. “cowok yang disana itu?”, tanyaku balik dengan menunjuk ruangan yang hendak kutuju, ruangan tempat Irfan terbaring. “Iya, dia pacar gue.. namanya Irfan. Alhamdulillah hari ini ia sudah sadar setelah kemarin ia melewati masa kritis.. gue seneng banget hari ini, Dy.. loe mau gak gue kenalin ke dia?”. Jadi?. “enggak deh, Ra.. gue buru buru.. sorry”. Ku berlari secepat mungkin menjauhi Naura dan ruangan Irfan. Aku kecewa..
Memang, kisahku tak seindah kisah dalam dongeng. Kupikir, setelah bertemu dengan Irfan kemarin, kita langsung memperbaiki hubungan. Tapi kini? Aku sudah terlanjur kecewa.. ternyata Irfan sudah tidak mengingatku lagi. Dengan waktu sesingkat ini, ia dapat menerima cewek lain di hatinya. Irfan sudah melupakanku, jadi aku tak perlu lagi datang dalam kehidupannya. Ia sudah bahagia bercinta bersama Naura, pujaan hatinya. Aku hanya akan menjadi parasite dalam kehidupannya. Aku akan pergi.. menjauh dari kehidupan Irfan.. pergi sejauh mungkin. Hingga Irfan tak akan bisa menemuiku lagi.
Cerpen Karangan: Ninis Khiyarotun Nisa’ Blog / Facebook: Ninis Hai guys! Ini Cerpen pertamaku. happy reading!