Waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Terkadang, waktu itu tak bersahabat. Tak cukup sehari saja untuk menghapus air mata setelah kejadian kemarin. Aku, tak mungkin melupakan Irfan hanya dalam waktu 24 jam. Ya tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku begitu menyayangi Irfan, tak ingin rasanya untuk pergi jauh darinya. Namun, aku juga menginginkan Irfan bahagia bersama pujaan hatinya. Inikah ujian cinta untuk kami?. Tidak, kata itu salah. Ini hanya ujian cintaku sendiri. Mencoba tuk setia akan perasaan yang selama ini menggelayut dalam kalbuku.
Lamunan ini membuatku terhantuk dinding kampus. Sehingga aku jatuh terduduk. Ini lamunan nyata. Bukan sekedar canda. Kucoba tuk bangun. Menguatkan raga, pun juga hati. Hati yang sempat teriris. Sangat sakit.. hingga ku tak dapat berkata kata.
Cewek itu datang lagi. Menuntunku untuk berjalan ke kursi, tempat biasa para mahasiswa nongkrong. “Loe kenapa? Loe sakit? Gue anter pulang ya?”, tanya Naura beruntun. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Hanya hatiku yang mampu berkata. Itu semua karena loe, Ra.. kenapa, loe harus punya kekasih yang gue cinta? gue sayang loe, Ra.. tapi mengapa, lagi lagi tuhan membenturkan masalah agar gue berani membenci loe?. Tidak, aku tak perlu mengatakan alasan sebenarnya dibalik tirai air mataku. Aku menghapus air mataku sendiri dengan tangan kosong. Aku tak butuh sapu tangan Naura. Aku tak butuh rasa kasihan. Apalagi dari orang yang sekarang kubenci. Aku pun beranjak pergi tanpa pamitan, ataupun penjelasan. Gue benci loe, Naura!!
Mungkin, dengan ku tak lagi berkuliah disini, itu akan menjadi cara agar ku dapat menjauh dari pandangan, juga kehidupan Irfan. Ya, itulah caranya!. Aku akan pulang ke tanah kelahiranku sendiri, Indonesia. Aku akan mencari kampus disana. Meski impianku disini, tapi mulai hari ini, kuputuskan semua impian itu tlah menjadi debu. Debu yang merebahkan air mataku.
Semakin hari, semakin ku sakit hati. Ku tahan rindu yang menggebu ini. Ku tahan pula rasaku. Aku dan Irfan tak akan pernah menjalin romansa. Tuhan, haruskah kusebut ini duka? Atau inikah yang namanya perjuangan cinta?. Mencoba bertahan atas dasar harapan, tak peduli apa kata kenyataan.
Angin malam semakin menusuk hati yang tertusuk. Apa yang harus kuperbuat?. Haruskah ku ungkapkan rasaku? Atau biarlah termakan waktu?. Lukaku, tak akan dapat dilukiskan oleh kata. Hanya dalam buliran Kristal kecil yang kucoba hapus. Biarlah malam yang berlagu. Menyampaikan sayang pada seorang, yang kini masih kutunggu.
Aku akan ke Indonesia hari ini. Pulang ke tanah kelahiranku. Belum hitungan bulan memang. Tapi, inilah keputusanku. Aku tak akan mengundur undur lagi. Jauh beberapa hari sebelumnya, aku sudah menelepon orangtuaku jika aku ingin pulang. Aku ceritakan semua kejadian di Venezia ini, tak terkecuali Irfan yang kembali. Syukurlah mama mengerti.. karena memang, aku sudah cerita tentang rasaku sebelumnya.
Pesawat akan terbang beberapa menit lagi. Pengumuman keberangkatan pun sudah mulai terdengar. Aku memang datang tanpa diundang. Dan kini, tak salah, jika aku pulang tanpa ucapan selamat jalan. Air mataku jatuh tanpa permisi. Berat memang meniggalkan negeri ini.. negeri dimana semua impianku akan menjadi nyata. Tapi, ya sudahlah.. Good bye, Venezia!
Kulangkahkan kaki bertutup sepatu high heels ini dengan segera. Aku berlari. Ya berlari.. mungkin lari bagai dikejar setan. Bukan tak beralasan. Karena aku sudah tak kuat menahan kedukaanku. Dan bisa jadi, jika dibiarkan, aku bisa bisa pingsan di tempat.
Saking kencangnya aku berlari, hingga tak sengaja menabrak seorang berjaket. “ups, sorry?”, responku seketika. “never mind, I’m fine”. Aku kenal suara itu. Suara itu sudah tak asing lagi di gendang telingaku. Kukejar lelaki itu. Tak pedulikan aku akan tertinggal pesawat. Yang penting sekarang adalah siapa lelaki itu, hingga aku hafal suaranya. “Excuse me, may I know your name?”, tanyaku sedikit bergetar. Ia diam. Mungkin berfikir. Ya mungkin ia tak mau. “but if you do not want, no problem.. I will go”, sambungku. Aku pun beranjak pergi dari tempatku berdiri. Aku hanya berfikir mungkin itu hanya orang. Lagi pula mana mungkin ia menjawab orang tak dikenal. “my name is Irfan, Irfan Angga Yunanda”. Jawabnya seketika menghentikan langkahku. Benarkah? Kubalikkan badanku. “Irfan!”, teriakku. Respon, Irfan langsung menoleh ke arahku. Entahlah, setelah melihatku, tak ada raut bahagia. Irfan trus melanjutkan langkahnya. Namun, lebih mempercepat. Ku pun ikut lari membuntutinya.
“Do you hate me?”, teriakkku berulang kali. Irfan tak kunjung menjawab. “Do you hate me?”. Kuulang kembali kataku untuk yang ke sekian kali. Namun kali ini, aku menghentikan laju lariku. Irfan ikut terdiam. Ia perlahan mendekat. Menatapku penuh arti. Entah tatapan benci, ataukah cinta?. “jika menurutmu iya, maka itulah jawabannya”. Irfan menjauh dariku begitu saja. “tapi jika ku masih percaya kau menyayangiku, bagaimana?”, tanyaku penuh selidik. “itu terserah”. Begitu sinis.. secepat inikah kau berubah, Fan?. Dengan tenaga yang masih tersisa, ku yakin akan bisa mengejar Irfan. Aku menyayanginya, takkan kubiarkan cintaku pergi.
Akhirnya, ku dapat menggenggam pergelangan tangannya. Pergelangan tangan yang lama tak pernah kurasakan lembutnya. Tak kusangka, Irfan langsung melepaskan genggaman tanganku dengan kasar. “aku membencimu, Maudy! Untuk apa lagi kau mengejarku? jika aku tak pernah menganggapmu ada!”. “semua atas dasar cinta! Tak pedulikan kau anggap aku ada atau tidak. Inilah perjuangan cintaku..”. kuposisikan tubuhku menghadap Irfan. Ya, kali ini aku dan Irfan berhadapan. “aku mencintaimu Irfan! Aku mencintaimu!”. Air mataku tak lagi terbendung. Kutinju tinju dada Irfan dengan lemahnya, sebagai luapan emosiku.
Irfan menegakkan tubuhku yang tadinya menunuduk penuh kekecewaan. Jari berbentuk setengah hati tiba tiba ada di depan mataku yang masih kututup dengan air mata. Ternyata itu Irfan. “aku juga mencintaimu”. Kubentuk pula jariku membentuk setengah hati dan menyatukannya dengan dengan jari Irfan. Dan terbentuklah satu hati yang utuh. Kupandang wajah Irfan dengan haru. Irfan hanya tersenyum. Thank you, God..
“Hey? Senyum dong!”, sapa Irfan. Inilah Irfan yang ku kenal. Irfan yang humoris, yang tak sedingin es. Kupeluk tubuh Irfan dengan begitu eratnya. Jujur, inilah yang kurindukan. “aku merindukanmu Irfan.. mengapa kau menghilang dariku?”, tanyaku di pelukan dada bidangnya. “sudahlah.. yang penting, sekarang aku sudah ada disini untukmu”, jawabnya dengan membalas pelukanku. Begitu hangat.. This is what I miss most about you, Irfan..
Sudah kuduga, Irfan akan menanyakan perihal koper ini. Aku menceritakan semuanya dengan jujur. Tak ada sekisah pun yang kukhayal. “tapi, aku tak akan pindah! Aku akan menemanimu disini. Sesuai impian kita”, sambungku. Irfan tersenyum, dan mencubit pipi chubbyku. Ya mungkin itulah, ungkapan rindunya.
Ya, aku mengurungkan niatku unutk pulang ke Indonesia. Aku akan tetap berkuliah disini. Aku akan menemani Irfan disini, Sesuai janji kita. Aku akan menemani hingga senja menyapaku nanti. Irfan akan menjadi sahabat untuk segala hal, tak terkecuali sahabat dalam bermain romansa. Semoga Tuhan merestuinya..
Sore ini, Irfan mengajakku berperahu dayung. Tentunya, mengelilingi kota Venezia yang elok ini. Ku tersenyum tanda bahagia. Menitihkan air matatak lupa. Bagaimana tidak? Inilah yang amat kurindukan pun juga kuimpikan. Berdua tanpa seorang pun pengganggu. Dan disebut impian, karena kita berperahu di kota Venezia.
Lagu “Arbani Yasiz – be my love” semakin menambah kesan romance di perjalanan kali ini. Yang lebih specialnya lagi, Irfan menyanyikan dengan suara emasnya. Membuatku makin terhanyut dalam lautan asmara. “ku akan pastikan, diriku, ada disetiap detikmu.. bidadariku..”, tutup Irfan dengan mengusap kepalaku. Aku semakin menguatkan genggaman tanganku pada tangan Irfan. Aku tak mau pisah lagi. Meski hanya sedetik saja.
Huh, begitu cepatnya mentari pulang ke persinggahan. Padahal aku masih ingin bersamanya. Tapi ya sudahlah, Irfan juga harus istirahat, begitu pun aku. Besok kan sudah harus kuliah. Irfan mengantarku hingga ke apartement tempat aku biasa habiskan hariku. Kulambaikan tanganku sebagai ucapan selamat jalan. Hmm, begitu berkesannya hari ini. Semoga tuhan tetap menjaga kemesraan ini, hingga nanti.
Masalah melanda esok harinya. Masalah yang harus diselesaikan antara aku, Irfan dan Naura. Naura masih berstatus pacar Irfan, mengapa dengan bodohnya aku mengungkapkan rasaku?. Aku paham betul, bagaimana hati Naura saat ini. Hancur.. cewek mana yang tidak patah hati, melihat pasangannya bersama cewek lain yang diketahui itu pacar barunya?. Aku pernah merasakan saat itu. Saat yang paling aku benci hingga kini. Alva pergi meninggalkanku bermanja dengan cewek, padahal aku begitu mencintainya.
“Ra, forgive me! Ini tentang rasa. Aku mencintai Irfan, dan tak mungkin aku memendam rasa itu..”, kataku spontan dengan air mata. “aku juga menyayangi Irfan. Bahkan mencintainya!”, bentak Naura. Irfan mungkin tak tahan mendengar bentakan itu, sehingga membuatnya menampar dengan keras pipi kanan Naura. “jangan sesekali berkata itu Naura!. Karena apa? Karena aku tak pernah mencintaimu. Selama ini aku memang diam. Tapi bukan berarti aku bisa dijadikan mainan. Kau yang memaksaku untuk bermain cinta, padahal aku tak pernah mengiyakan. Sudah kubilang dari awal, aku masih menunggu seseorang!. Dan seseorang itu adalah cewek didepanmu ini”, jelas Irfan panjang lebar. Naura hanya menangis seperti cewek pada umumnya. “oke! Secara tidak langsung inilah penolakanmu Irfan. Aku menerimanya! Akan kupastikan, mulai hari ini, aku akan menghilang dari pandanganmu. Thank you Irfan!”, kata Naura sinis dan berlalu pergi. Irfan memelukku yang sedari tadi hanya menjadi penonton. Syukurlah, hubunganku dengan Irfan tak terjadi apa apa.
“Morning!”. Siapa ya? Sepagi ini datang. Tak tau sopan santun apa?. Mungkin penting kali. Ku berlari menuju pintu depan. Ya, membukakan lah.. owh ternyata cowok lesung pipi itu. Irfan lah, siapa lagi?. “ada apa, sepagi ini?”, tanyaku. “jemput kuliah lah! Dasar blo’on, jam segini masih acak acakan”, jawab Irfan dengan terbahak. “ini masih pagi kali! Udah pulang sana!”, kataku kesal dengan menutup pintu. “oke, aku akan nostalgia sendiri!”, jawab Irfan dari luar. Benar juga! Bernostalgia putih abu abu. Aku kembali keluar dengan semangat. “iya, iya!”, jawabku spontan dengan mencegat Irfan yang kan beranjak pergi. “ya udah, mandi dulu sana! Bau kali!”, suruh Irfan dengan mentup hidungnya seolah bau badanku tercium. Padahal menurutku gak bau ah.. Dasar dari dulu gak pernah berubah!
Irfan memboncengku dengan sepeda kayuh. Entah itu punya siapa, aku tak tau. Yang penting aku bisa bernostalgia putih abu abu. Saking riangnya, aku bernyanyi nyanyi. Tak pedulikan orang memandangku aneh. “genggam tanganku, bernyanyi bersama, karena kamu.. kekasih terhebat!”, inilah laguku. Lagu ala ala Maudy. Padahal lagu ini, lagu yang biasa dibawakan Anji. Haha!. “aku juga punya puisi untukmu, Dy”. “oh ya?, aku mau dengar dong”.
“Tak ku sangka, Rasa ini terbongkar jua. Penuh perjuangan dan air mata. Yang mungkin buat kita sedikit nelangsa. Rasa yang menyatukan kita, Dalam permainan cinta. Rasa yang buatku melulu bahagia, Hingga sedikit gila. Dan semoga, Tuhan restui kita, Dalam bahtera rumah tangga, Pun nanti sampai pada surganya.”
“Thank you!”, kataku dengan pipi sedikit merah. Bagaimana tidak? Romantic benget kan?. “you’re welcome”. Aku memeluk punggung Irfan dengan kuat. Aku menyayanginya. Tak kusangka karena ulahku membuat sepeda sedikit oleng. “hey jangan gitu dong! Terlalu kenceng tau pegangannya. Pasti baper ya, dengan puisiku tadi?”, goda Irfan. “apaan sih! Ke-PD’an tau nggak! Aku juga bisa kali”, jawabku kesal dengan menepuk punggung Irfan. Kubalas godaan Irfan, dengan mememeluk punggungnya semakin erat, tak pedulikan sepeda harus jatuh. “jangan gitu!”. “biarin!”. Bercanda, berpuisi, menyanyi dan tertawa.. benar benar bernostalgia!
Pagi berlalu dengan begitu cepatnya. Entahlah, mengapa waktu tak berhenti untuk sekedar menghela nafas?. Semakin hari, semakin ku mendekat pada yang namanya ajal. Uh, kok jadi bahas kematian sih. Enggak, enggak.. Tapi mengapa perasaanku kali ini tidak seperti biasanya?. Seperti ada yang mengganjal gitu. Ah sudahlah gak perlu dibahas. Hari ini kan aku sudah berjanji pada Irfan untuk nge-Date bareng naik perahu dayung. Aku gak boleh telat nih..
Aku pergi dengan pakaian simple, tapi elegant. Owh, ternyata Irfan sudah menunggu di seberang sana. Tampaknya dia udah lama. Kurapikan rambutku yang tergerai, untuk sekedar memperbaiki penampilan. Maklumlah cewek.. sebagai kekasih yang baik, aku gak mau terlihat kurang cantik di mata Irfan.
“Hai, udah lama ya?”, sapaku. “kebiasaan!”, jawab Irfan. Irfan melihatku dari atas hingga bawah. Ada apa sih, kok segitunya?. “kenapa Fan?, aku jelek ya?”, tanyaku penasaran. Irfan menggeleng berarti tidak. Oh syukurlah, aku terlihat cantik di matanya. Aku segera menaikkan badanku di perahu dayung yang sudah dipesan Irfan untuk kita jalan jalan. Aku duduk di pinggir Irfan dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Langsung deh si sopir mendayung perahunya.
“Maudy, aku ingin ini menjadi kenangan terindah yang tak akan pernah terlupakan di hidup kita”, kata Irfan dengan nada romatis. “oke”, jawabku singkat. Ya iyalah kenang terindah, kan ini pertama kalinya kita nge-Date. Emang Si Irfan itu, bisa aja bercanda. Dasar gila! Tapi seru juga sih bisa nge-Date bareng dia. Hehehe
Cerpen Karangan: Ninis Khiyarotun Nisa’ Blog / Facebook: Ninis Hai guys! Ini Cerpen pertamaku. happy reading!