Tak lama, aku bangun dari bahu Irfan. Kupandangi wajah Irfan dengan penuh cinta. Dia memang begitu tampan. Tak hanya tampan, namun ia juga begitu baik. Aku sangat bodoh, mengapa aku dulu memilih pacaran sama si pengkhianat itu? Padahal ada Irfan yang senatiasa menjagaku dengan penuh cinta.
“Hey! Kok mandanginya gitu amat? Kenapa terpesona ya?”, canda Irfan membangunkanku dari lamunan siang bolong. Kedua pipiku merah seketika, “hiiii… ke-PD’an banget sih! Gitu aja tampan”, jawabku tersipu malu. “kalau gak tampan, mengapa mau dipacar’in?”, goda Irfan dengan mencubit pipiku. “sakit tau!”, jawabku sok marah dengan memegangi pipi yang baru saja dicubit. Tak kusangka, Irfan mencium pipiku. Hah, benarkah! Inilah first kiss dari Irfan setelah kita jadian. Irfan hanya tersenyum. Tak lupa ia tampakkan lesung pipinya. Aku pun tersenyum.
“Kebohongan nyata, Jika ku tak terpesona. Ia lelaki tersempurna, Yang pernah ku temui di dunia fana. Ketampanan nya, Menarik pandang setiap pasang mata. Kesopanan nya, Daya tarik setiap kaum hawa. Keimanan nya, Patut dijadikan pemimpin rumah tangga”
“Kok kamu mendadak putih sih? Emang, kamu sakit ya?”, tanyaku khawatir. “enggak kok”, jawab Irfan singkat dengan menghadap lurus ke depan. Aku teringat akan penyakit Irfan yang lalu. Penyakit yang menuntutnya bermalam di RS waktu itu. “penyakit kamu kambuh?”, tanyaku penuh selidik. “apaan sih, Dy! Aku emang punya riwayat sakit?”, jawab Irfan dengan rona menyembunyikan. “udahlah Fan, jangan bohong! Aku tau kok semuanya.. kamu sakit Leukimia kan?”, kataku dengan sedikit membentak. “siapa yang sakit…”, jawab Irfan terpotong. Tiba tiba darah keluar dari kedua lubang hidungnya. Irfan mencoba mentupi tapi tak bisa. Darah sudah keluar terlalu banyak. Irfan melemas dan jatuh di pangkuanku. “Irfan!!!”, teriakku kaget. Spontan sopir perahu menoleh padaku. Kuminta padanya untuk segera ke Rumah Sakit terdekat. Bersabarlah, Fan!
Air mata mengalir di pipiku. Tak kusangka, Irfan terbaring disana, padahal masih hitungan menit kami bercanda. Dokter pun keluar. Sudah kuduga, dokter mengatakan mengenai penyakit Irfan, penyakit Leukimia. Dokter belum selesai bicara, namun kutinggalkan dan berlari masuk ke ruangan tempat Irfan dirawat.
Inikah Irfan?, seorang yang baru beberapa menit yang lalu kuajak bercanda dengan santainya. Ku terduduk di sampingnya. Menangis.. apalagi? Jujur aku sebenarnya takut dengan selang oksigen pun juga selang infus. Rasa takut, seketika berubah menjadi rasa ingin memeluk. Bagaimana tidak? Irfan yang ada di depanku. Seorang yang teramat kucinta.
“Fan, kenapa sih kau sembunyikan semuanya?. Mengapa dari dulu kau tak pernah cerita?. Andai kau bilang dari awal, takkan terjadi ini Fan..”. Kugenggam tangannya seerat mungkin. Menciumi punggung telapak tangannya berulang kali. Gelang ini?. Raut muka kaget seketika kutampakkan. Ini.. Gelang tanda persahabatan antara aku dan dia 10 tahun silam. Buliran Kristal semakin menyembabkan mata ini. Ternyata Irfan masih memakainya. Tak sekalipun ia melepasnya. Karena gelang ini bersifat sekali pakai. Sekali dicopot, ya putus sudah ikatannya. Sedangkan milikku, sudah kubuang ke danau hanya karena masalah Alva, waktu itu. Berarti, Irfan tak pernah membenciku, meski aku telah mengecewakan hatinya beberapa kali. Lalu mengapa, Irfan meninggalkanku saat itu?.
Ku sengaja bermalam di Rumah Sakit hari ini, meski keluarga terdekat Irfan sudah bersedia menjaganya. Aku tetap ngotot disini. Tak peduli, kuliahku esok akan terkorban. Aku rela kok, tak pergi ke kampus untuk beberapa hari. Yang penting sekarang, kesembuhan Irfan. Aku hanya ingin, menjadi kekasih yang bertanggung jawab. Aku tak mau, disebut pengkhianat. Karena saat inilah, saat dimana Irfan begitu membutuhkan hadirku. Mungkin dengan hadirku, Irfan akan cepat sadar. Ya, walau ku tau.. ini hanya sebatas harapan.
Ku terbangun tengah malam. Bukan terbangun, namun ku memang tak bisa memejamkan mataku malam ini. Ku berjalan menuju ruangan dimana Irfan tertidur pulas. Untuk sekedar memastikan, bahwa ia baik baik saja.
Nampaknya, Irfan masih betah saja tidur, padahal sudah berjam jam. Hmm.. itu dugaan yang gila. Mana ada, betah tidur?. Semalas malasnya orang, gak mungkin tidur hingga seperti Irfan saat ini. Mungkin, Irfan sebenarnya juga ingin bangun. Namun, penyakitnya menuntutnya untuk tetap terbaring menutup mata.
“Jangan seperti ini dong! Please, bangunlah.. kamu gak mau lihat aku sedih kan? Makanya bangun!”, pintaku tak masuk akal. Ku terus memandang Irfan. Entahlah, aku tak bosan bosan. Padahal sudah sedari tadi aku memandangnya. Wajah Irfan tak mungkin berubah juga kan?.
Ya tuhan.. mengapa kau tak izinkanku menjalin romansa?. Apakah aku tak pantas bersama Irfan?. Tapi jika memang tak pantas, mengapa engkau pertemukanku dengannya?. Lalu, jika pantas, mengapa kau tak biarkan aku bahagia bersamanya?. Apakah ini kegagalan untuk yang kedua kalinya, setelah kegagalan bersama Alva?. Tolong jawab! Apa alasan semua ini?
Irfan tiba tiba menyemburkan darah dari mulutnya. Darah yang tidak dibilang sedikit. “kau kenapa, Fan?”, tanyaku panik. Sesegera mungkin, kupencet tombol yang berfungsi memanggil para dokter. Aku tak sempat memanggil keluarga Irfan. Entahlah mengapa, mulutku tak bisa digerakkan bagai terkena lem. Dokter segera melakukan penanganan terhadap Irfan. Namun sayang, aku dipaksa keluar. Padahal aku sangat ingin mensupportnya.
“Irfan kenapa? Apa yang terjadi dengannya?”, tanya ibu Irfan tak beraturan dengan menggoyangkan tubuhku. Aku tak menjawab. Aku diam seribu bahasa. Hanya air mata, yang melukiskan kesedihanku. Tante apa tidak mengerti perasaanku sekarang?. Aku juga terpukul. Ku tau dia ibunya, tapi bukan hanya dia yang sayang Irfan. Aku juga menyayangi anak semata wayangnya. Karena kini, aku dan Irfan bukan sekedar sahabat. He my boyfriend!
Dokter keluar dengan raut muka yang bisa kutebak. Keluarga histeris seketika. Tante berteriak di pelukan suaminya. Mita, sepupu Irfan pingsan di tempat. Sedangkan aku hanya mematung. Perkataannya, bagai petir yang telah menyambar hatiku. Aku tak bisa teriak, ataupun pingsan, hanya buliran air mata yang menggambarkan dukaku. Dengan sisa tenaga yang masih ada, ku berlari sekencangnya menuju ruangan Irfan.
Kucoba kuatkan hatiku. Menguatkan pula air mataku. Kini, ku telah berdiri tepat di samping raga Irfan yang mulai mendingin. Ku yakinkan tanganku, agar kuat membuka selimut putih yang menutup paras tampannya. Tangisku pecah. Ku tak percaya, Irfan tlah meninggalkanku. Kupeluk badannya yang pucat. Kini, pelukannya tak lagi hangat. Tak sehangat pelukan yang biasa kudapatkan. Pelukan yang biasa kusebut ‘pelukan teddy bear’.
Kulepaskan peluknya. Entahlah, akankah cinta ini berubah jadi benci? Ahh, tak boleh.. tak akan kubiarkan benci ini semakin mencaci. Irfan dapat setia saat kukhianati. Apakah aku tak bisa setia, saat Irfan ingkar janji?. Kubentuk jarinya yang mulai kaku menjadi setengah hati. Dan menyatukannya dengan jariku yang terlebih dulu membentuk setengah hati. Ku akan bacakan puisi. Meski ku tau, Irfan tak akan kembali.
“Hey, pangeranku yang tertidur! Mengapa kau buat air mata ini tak lagi terukur? Diri ini kau tinggalkan, Tanpa sebait pun pesan. Haruskah ku berontak? Atau tepatnya, menolak? Maafkan, Diriku tak pernah buatmu terkesan. Namun, ku akan tetap sebut ini kenangan, Kenangan, yang tak akan mungkin terlupakan. Terima kasih, Ku berhasil bahagia, bersamamu kekasih”
Tinggal menunggu jam saja, Irfan akan diberangkatkan. Irfan akan dikebumikan di kampung halamannya, Indonesia. Irfan akan dibawa dengan helikopter pribadi yang sudah dipesan. Jangan heran. Keluarga Irfan, memang termasuk keluarga yang cukup kaya. Walau begitu, Irfan tak pernah menyombongkan harta bendanya, bukan?
Ku terus tangisi Irfan. Mencoba menguatkan tapi tak bisa. Kalian tau, aku begitu menyayanginya. Begitu mencintainya. Tak salah bukan buliran air mata trus mengalir?. Aku seorang cewek, Lemah.. aku tak setegar cowok.. meski rumusnya begitu, taklah seorang pun ada, dapat menahan tangis saat orang yang begitu dicintai pergi.
Seperti halnya di Rumaj Sakit saat Irfan dirawat, kali ini pula aku ngotot meminta untuk diizinkan menemani Irfan. Ini bukan sekedar menemani, namun menemani di helikopter menuju Indonesia. Ya ku tau, meski resikonya harus bolos kuliah untuk beberapa hari yang akan datang. Tapi syukurlah, orangtua Irfan mengizinkan. Mama pun sudah kutelepon, jika aku akan ke Indonesia untuk mengantar Irfan.
Kupijakkan kaki ini diatas lantai helicopter. Ku terdiam sejenak. Memikirkan, benarkah yang di dalam peti itu Irfan?. Ya, ku masih tak percaya. Kupikir, Irfan akan menjadi sahabat tersetia. Tapi nyatanya tidak.. semua lelaki sama. Semua lelaki tega meniggalkanku. Sebenarnya, apa kurangnya aku?. Tak pantaskah cewek sepertiku merasakan cinta?
“Bukan rasa, Jika tak merasa. Bukan cinta, Jika tak mencinta. Bukan rasa, Jika tak di iringi do’a. Bukan cinta, Jika rindu tak meraja.”
Bola mataku memerah. Kantung mataku menghitam. Pemandangan Italia begitu mempesona. Tapi dipikiran, hanya ada ilalang yang menutup segala keindahan. Wedding dream di atas helikopter. Diatas ketinggian 30.000 ft. Kini hanya menjadi saksi bisu kepiluanku. Kata orang, bermimpilah setinggi mungkin. Tapi mengapa kini, mimpi justru buatku tak yakin? Andai tak ada larangan. Ku akan terjun dari ketinggian. Agar dapat kujemput sang pangeran. Kutemui sang pujaan. Menjalin cinta abadi di jannah-NYA. Tapi iman dan taqwa telah membentengiku. Tak mungkin kukhianati janjiku. Hal bodoh lagi tercela, jika aku akhiri nyawa.
Sudah cukup kuratapi takdir. Tak akan mungkin ini berakhir. Sederas air mataku, skenario Tuhan tak akan menunggu. Kehidupan akan terus berjalan, meski diriku meronta kasihan. Ku yakin, ini akan menjadi skenario terindah, dalam segala alur yang telah dibuat pada pentas drama setiap hamba-NYA.
Gundukan tanah merah, yang masih basah. Batu nisan, yang bertuliskan nama indah sang pangeran. Bunga bunga dengan bau khasnya, yang semakin menusuk relung jiwa. Dengan berbalut duka, kutadahkan tangan menghadap sang maha kuasa. Dengan berpayung air mata, kupanjatkan do’a, agar ia tenang di sana.
Sepucuk surat masih kugenggam. Membubuhkan air mata, yang tak lagi terhitung jemari tangan. Ku akhirnya berhenti mengira. Kini semua telah jelas kebenarannya. Ia sosok yang paling tangguh, diantara ribuan orang orang tangguh. Terima kasih Irfan! Kini ku tau segala alasan, mengapa engkau tak pernah mempublikasikan.
Kucium batu nisan yang masih dibasahi embun pagi. Mungkin, ini akan menjadi saksi bisu perpisahan esok hari. Ku akan kembali ke Italia. Menuntut ilmu setinggi tingginya. Setidaknya, aku dapat membuat Irfan bangga, Jika wanita tak selamanya lemah.
Sudahlah… sudah saatnya kuhapus air mata ini. Ku tak ingin Irfan disana bersusah hati. Ku akan ingat selalu apa yang ia ingini. Ku tak mau, pengkhianatan mengakhiri. Kusunggingkan senyum. Senyuman yang kubuat dengan membuang jauh segala resah, berharap semua akan berakhir indah. Selamat jalan, Irfan Angga Yunanda!
Mungkin, bagi kalian ini sad ending. Tapi bagiku, ini lebih indah dari sebuah melodi. Ini lebih indah dari sebuah puisi sang penyair. Bukankah ini awal untuk merindukan?. Menjalin kisah yang lebih mengesankan. Dan menjalin asmara, yang lebih menakjubkan.
“Mentari mulai tertutup awan. Hilang sudah sinarnya yang begitu menawan. Ku rasa, tadi masih menghangatkan. Tapi begitu cepat ia pulang ke persinggahan. Moment yang tak penah terlupakan, Saat ia berikan kecupan. Selamat jalan, sang pujaan! Kita kan bertemu di kemudian”
Tulangan, 04 Oktober 2017
Cerpen Karangan: Ninis Khiyarotun Nisa’ Blog / Facebook: Ninis Hai guys! Ini Cerpen pertamaku. happy reading!