“Ia laki-laki aneh, pernah suatu ketika aku menemukannya di tempat biasa —di bawah pohon itu, di taman yang sepi. Kau tau apa yang ia lakukan?” “Apa?” tanyaku sembari menghela napas pelan. Aku lupa ini kali keberapa ia menceritakan lelakinya. Aku bosan. Tapi tetap dengan setia mendengarkan. “Ia menghitung daun-daun yang berjatuhan. Lalu pernah pula ia melamun dan mengucapkan satu hal berulang-ulang. Ah, yang paling aneh adalah ketika ia tiba-tiba menangis, lalu sekian detik kemudian tertawa. Kukira awalnya ia gila,” ia mengarahkan pandangannya ke langit. Sedang aku masih asik menatapnya dalam-dalam. “Aku sering memperhatikannya, lalu entah sejak kapan, aku mulai jatuh cinta.” “Ya, kau sangat mencintainya.”
“Ah, kau harus tahu betapa ia laki-laki yang tampan, walau kadang menjengkelkan karena sikapnya yang sedingin es,” ucapnya penuh semangat. Dan aku, lagi-lagi hanya menghela napas. Kali ini lebih berat. “Ia selalu bersikap sok, banyak yang beranggapan negatif tentangnya, tapi aku tidak. Sungguh aku melihat banyak sisi positif darinya yang tidak ia tunjukkan pada semua orang. Hanya aku yang tahu, karena aku yang selalu mengamatinya diam-diam.”
“Tapi kenyataannya, semua sudah berubah, kan?” “Tidak. Tidak ada yang berubah. Aku masih merasakan kehadirannya, pun cintaku yang masih menggebu-gebu selalu.”
“Tiara…” “Kenapa? Aku jadi curiga kau punya perasaan padanya. Setiap kali aku bercerita tentang ia, responmu tak pernah baik. Kau cemburu?!” bibirnya monyong. Jujur, aku menyayangi manusia di hadapanku. Ia terlampau baik untuk ditinggalkan oleh laki-laki yang selalu menjadi topik pembicaraan kami hampir setiap hari. Bayangkan, hampir setiap hari!
“Aku tidak mungkin mencintai laki-laki yang dicintai oleh sahabatku, Tiara. Aku hanya iba melihatmu seperti ini.” “Tapi aku merindukannya.” Kusaksikan lagi air mata mengucur deras dari kedua matanya yang sayu. Setelah hening beberapa menit, ia tersenyum sekilas lalu beranjak. “Sudah?” Ia mengangguk. Kusentuh pundaknya yang sedang menanggung beban berat, walau tidak terlihat. “Aku sangat merindukannya,” ulangnya. Kuanggukkan kepalaku tanda mengerti. Ia menoleh lagi, “Lihatlah, ia ada di atas batu nisan itu. Sedang menatap ke arah kita. Ia pasti dengar bahwa aku merindukannya, kan?”
—
Lelaki itu meninggalkan Tiara —sahabatku— belum lama ini, Putra namanya. Cinta pertama Tiara. Ia mengalami depresi karena kedua orangtuanya terlibat pencurian uang dan tertembak mati oleh polisi karena melawan. Adiknya lebih dulu gantung diri, dan kini giliran Putra bertemu keluarganya di alam baka dengan meminum racun tikus. Tapi Tiara tidak berhenti mencintai laki-laki itu.
—ndog Aku harus menjaga Tiara agar ia tidak depresi dan menyusul laki-lakinya.
Cerpen Karangan: Anadya Alyasavitri Blog: www.anadyaal.blogspot.com saya sedang menempuh S1 di jurusan Sastra Indonesia.