Matahari kini kembali ke peradabannya. Cahaya jingga langit sore memberi kesan romansa, petang ini. Aku berdiri menatap langit yang merona sore ini. Kakiku basah setelah dijilat ombak laut. Aku berdiri menunggu si perahu kaca datang.
Aku membungkuk mengambil botol kaca yang menghampiriku. Yang berisi gulung kertas yang kusebut “Perahu Kaca”. Kubuka tutup kayu pada botol itu dan mengambil gulungan kertas yang sudah berwarna putih usang itu.
“Hai Engkau si penemu Perahu Kacaku Dengarlah kegundaan hatiku Aku berdiri di ujung pulau terringgi Menghitung tiap tetes ombak yang menjilat kakiku
Wahai Engkau si penemu Perahu Kacaku Katakalah pada sang surya Bahwa aku merindukanmu Merindukan genggaman tangan lembutmu
Tapi kutahu ini adalah perahu kaca terakhirku Ku harus datang menyadarkanmu Bahwa ku telah tiada”
Aku menatap sendu kertas usang ini. Kertas yang seolah sengaja dilemparkan ke laut untuk kubaca. Dimanakah dia berada? Si empunya perahu kaca yang selalu mendatangiku. Dia selalu tahu kemana arahnya akan berlayar. Mencariku di tepi pantai ini setiap petang menjelang.
Tapi aku yakin dia berada di pulau yang indah jauh dari tempatku berada, wanita cantikku yang amat aku cintai. Aku yakin dia juga sangatlah mencintaiku. Perahu kacanya seolah membuatku juga ingin masuk dalam lingkup kerinduannya yang membara.
Aku bebalik, ingin kembali ke rumah kayu nan asri buatanku dan wanita cantikku. Tapi, tak sempat kakiku melangkah, aku dikagetkan oleh seorang wanita cantik berambut panjang dengan gaun putih selutut berlengan panjang. Wanita cantik yang kucintai ini, wajahnya putih pucat dan berekspresi sendu penuh kerinduan. “Lupakan aku!” ucapnya lirih. Aku hanya menatap matanya rindu dan bahagia. “Perahu kacamu sudah mati. Yang kau lihat ini adalah perahu kaca terakhir dalam delusimu. Selamat tinggal!” lirihnya lagi lalu menghilang dibawa angin laut petang ini.
Kini kusadar dia hanya delusi. Kerinduanku yang teramat dalam hanya membawaku ke dalam delusi akut yang menggerogoti pikiranku. Penglihatanku seolah buram akan kisah nyata yang pahit ini. Kini kusadar Perahu Kacaku hanyalah delusi. Aku dan si wanita cantikku sudah beda dunia. Perahu Kacaku hanya delusi yang dibawa angin senja bersama gulungan ombak penghias pantai ini.
“Jika untuk menyentuhmu aku tidak bisa, barkanlah aku hanya memeluk bayangan dirimu saat jejak langkahmu semakin jauh meninggalkanku.”
JITA
Cerpen Karangan: Jita Hutasoit Facebook: facebook.com/JitaHutasoit Saya biasa di panggi Jita Saya sangat suka menulis, terutama cerita bernuansa romansa