Suasana hari ini sangat sepi. Hanya suara gesekan dedaunan pada tanah yang menjadi melodi siang ini. Ya, siang yang panas ini. Tak ada awan, yang ada hanyalah sinar mentari yang terik. Tak ada pula tetesan hujan yang turut berduka. Berduka pada dia terduduk di bawah pohon.
Diantara ratusan jirat ini dia sendirian. Ini satu jam setelah orang-orang berlalu. Halim –sahabatnya, telah berulang kali membujuknya untuk pulang. Tapi ia tetap saja bergeming. Bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun sejak kedatangannya kesini. Yang Ia lakukan hanyalah diam, mematung. Tak setetes pun air keluar dari balik kelopak matanya itu. Padahal ia sangat terguncang. Ya, sangat terguncang.
Eisha Saskirana Wiranata binti Dion Wiranata
13-04-1995 12-06-2017
Tangannya tergerak untuk sekedar mengusap kayu yang berdiri tegak pada ujung gundukan tanah yang masih basah itu. Sungguh, ia tidak terima jika nama itu tertulis disana. Ia membencinya. Karena nama itu harus ada di tempatnya, terukir di hati Alkhananta. Bukan di kayu itu.
Ia menghirup udara sedalam-dalamnya. Harum. Kelopak-kelopak bunga yang menyelimuti cungkup Eisha memang harum. Seharum parfum yang biasa dipakai Eisha. Bukannya menjadi tenang, Ia malah merasakan pukulan keras di lubuk hatinya. Dentuman keras yang menyebabkan seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit.
1 jam 2 jam
Alkha masih disana. Kenapa? Karena ia menunggu keajaiban. Berkali-kali hatinya meminta Tuhan untuk mengembalikan Eisha. Berharap Eisha tiba-tiba berada di sebelahnya dan gundukan tanah sialan ini lenyap. Atau ini hanyalah sebuah bunga tidur dan berharap Tuhan segera membangunkannya dari mimpi terburuknya ini. Tapi itu konyol.
Matahari perlahan tergelincir. Sinarnya perlahan menjadi hangat. Cahayanya pun mengubah warna langit menjadi oranye. Tapi dingin, karena angin kini berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Ya, angin menerpa punggung rapuh Alkha. Mungkin berusaha menyapunya agar segera pergi dari tempat ini. Namun tubuhnya itu menolak. Ia masih ingin disini.
3 jam 4 jam 5 jam
Untuk pertama kalinya Alkha melepaskan pandangannya dari tempat peristirahatan Eisha yang terakhir. Ia menatap langit tanpa cahaya itu. Ah, sudah malam. Sepertinya ia mulai menyerah. Keajaiban tak kunjung datang, Tuhan tidak mengabulkan permohonannya. Bodoh.
Ia menggerakan lehernya yang terasa kebas. Dengan sisa kekuatannya, ia berusaha bangkit. Celana hitamnya penuh dengan tanah akibat terlalu lama bersimpuh. Kemejanya pun sama. Ah, kakinya berasa senyar. Alkha melangkah keluar dari pemakaman umum itu.
Langkahnya terseok. Sebab kaki tak dapat menumpu raga yang sedang terluka. Tubuhnya terasa lunglai. Dibandingkan tubuhnya itu, lebih sakit hatinya. Alkha tentu tak bisa menerima kenyataan bahwa Eisha tidak berada di sampingnya lagi. Eisha, perempuan yang telah bersamanya sejak 5 tahun terakhir. Perempuan yang selalu mengisi hari-harinya
‘Al, dimana? Aku laper banget.’ ‘Potong rambutnya ya? Udah panjang banget.’ ‘Belum mandi ya?’ ‘Alkha, aku udah sampe di rumah ya. Kamu hati-hati di jalan’ ‘Makan Al! Daritadi kamu belum makan, kalau maagnya kambuh siapa yang mau nolong?’
Ia berhenti ketika otaknya memutar suara-suara Eisha. Alkha dapat mendengarnya dengan jelas. Ia menghembuskan napas dengan kasar. Kedua tangannya terangkat untuk mengacak rambut hitamnya itu. Frustasi. Ya. Dan… menyesal.
‘Kamu marah ya sama aku? Tapi aku nggak tahu aku salah apa.’ ‘Alkha… Maafin aku.’ ‘Jadi, kamu ngerasa keganggu ya?’ ‘Yaudah kalau itu mau kamu.’ ‘aku sayang kamu.’
Alkha terjatuh pada trotoar itu. Pandangannya kini mengabur. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini berlomba keluar. Semakin lama semakin deras. Namun itu tak pernah membuat perasaannya membaik. Tidak pernah.
Ia mengerang dengan keras. Jiwanya tak mampu lagi menahan kekecewaannya. Ya, ia kecewa. Pada dirinya sendiri.
Sebulan yang lalu, Alkha menyakiti hati Eisha. Dibalik senyumnya, Alkha tahu bahwa Eisha terluka akibat perkataannya. Bosan. Ya, kebosanan menyelimuti hatinya. Suatu kebodohan ketika Alkha memintanya untuk pergi sejenak. Hanya sampai kebosanannya hilang, dan ia akan kembali pada Eisha. Egois.
Tapi Tuhan memberinya lebih dari itu.
Cerpen Karangan: Asri Nursativa