‘Kring’… Bel istirahat yang berbunyi dengan suara nyaring melengking. Seluruh siswa siswi Madrasah Aliyah berhamburan menuju kantin. Tak terkecuali Azkiya Assyifa, seorang murid baru disana. Ia tengah duduk menunggu sahabatnya Rahma, di tengah keramaian kantin yang tak terkendali. Maklumlah, hampir semua murid murid disana menghabiskan jam istirahatnya di kantin.
Dari kejauhan Kiya tak sengaja melihat dua orang pemuda yang sepertinya tengah memalaki orang orang disana. Tapi anehnya tak ada yang mampu melawan. Rupanya mereka itu adalah Ahmad dan Hasan, anak buah dari Syahril penguasa sekolah ini. Namun tak lama kemudian perhatiannya pun teralihkan kala Rahma datang membawa dua mangkuk bakso. “Hey Kiya!! Maaf yah nunggu lama”. Sapa Rahma sambil duduk di sebelah Kiya. “Eh, kamu. Gak papa kok”. Kiya yang tersenyum manis.
Tepat saat keduanya ingin menyantap bakso itu… tiba tiba… “Rahma mana upeti hari ini!!”. Pinta Ahmad dengan watados. “Nih!!”. Rahma yang kesal sambil memberikan uang lima ribu rupiah. Tapi anehnya dia juga tak bisa berbuat apa apa. “Kamu satunya lagi”. Tunjuk Hasan pada Kiya. “Aku?”. Tanya Kiya memastikan. “Iyah kamu”. Perjelas Ahmad. “Maaf, aku gak punya uang”. Kiya yang berbicara dengan begitu polosnya. “Hahahaa… San, belagu amat dia bilang gak punya uang. Belum tau kali yah siapa bos kita”. Celetuk Ahmad. “Udahlah, kita laporin aja sama si bos Mad”. Ancam Hasan.
‘Brak!!!…’ Rahma yang kesal malah menggebrak meja. “Heh!! Azkiya itu murid baru disini”. Kata Rahma kesal dengan berapi api. “Jadi dia gak tau apa apa soal upeti upetian. Lagian dia jujur kok bilang gak punya uang. Bakso ini aja aku yang teraktir. Lagipula tolong ngertiinlah, dia itu santri, jadi uangnya pas pasan. Minggu ini aja Kiya belum dapat kiriman dari orangtuanya. Iya kan Ya?”. Bela Rahma dengan menggebu gebu. Sementara Kiya hanya bisa mengangguk mengiyakan. “Mau santri kek, anak mentri kek. Tetep aja harus bayar”. Ahmad yang ngotot.
Tiba tiba saja, Adam datang melerai pertengkaran yang terjadi. “Udah udah biar aku yang bayar”. Katanya santai. “Kok jadi kamu sih Dam?”. Protes Hasan. “Gak papa, nih!!”. Adam yang memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah. “Makasih”. Kata Kiya diiringi senyuman manis. Adam balas tersenyum sambil menatap Kiya sekejap, lalu ia kembali mengarahkan perhatiannya pada Ahmad dan Hasan. “Selesaikan masalahnya? Jadi mending kita pergi aja”. Adam yang merangkul kedua sahabatnya untuk pergi menghampiri Syahril dan yang lainnya, yang duduk di pojok kantin.
“Nih Ril, uang upeti hari ini. Cuma sayang uang gocap yang itu punyanya Adam”. Hasan yang menyerahkan uang yang sedari tadi ia genggam. “Kok Adam ikut bayar sih?”. Tanya Bayu. “Biasa so so cari perhatian”. Celetuk Ahmad. “Cari cari perhatian?”. Tanya Dafa kebingungan. “Iya, jadi tadi tuh ada siswi yang gak mau bayar, terus tiba tiba Adam dateng sebagai pahlawan kesiangan”. Jawab Ahmad. “Siapa?”. Tanya Syahril sambil mengernyitkan keningnya. “Itu tuh.., yang lagi duduk sama si Rahma”. Tunjuk Ahmad.
Syahril pun langsung melirik Azkiya. Dipandangnya lekat lekat seorang gadis manis berkerudung putih. Wajahnya cantik, putih bersih kemerahan, dan ia juga punya iris mata bening yang begitu jeli. Merasa dirinya diperhatikan, Azkiya pun melirik kearah Syahril yang tengah menatapnya dari kejauhan. Kedua iris mata mereka bertemu. Jujur Kiya akui jika Syahril memang laki laki yang mempesona. Matanya teduh, raut wajahnya kalem dan senyumannya memukau hati. “Cantik”. Gumam Syahril pelan secara tidak sadar.
“Kamu bisa gak bantuin aku pintain nomor HP-nya”. Adam yang tiba tiba bersuara dan membuyarkan lamunan Syahril. “Maksudnya?”. Tanyanya terheran. “Cewek yang kamu liat tadi adalah cewek yang aku suka”. Jawab Adam. “Jadi gimana, bisa gak?”. Tanya Adam sekali lagi. “OK”. Syahril yang menyanggupi.
Melihat sahabatnya tengah memandangi sesuatu membuat Rahma penasaran dan bertanya. “Kamu ngeliatin apa Ya?”. Tanya Rahma. “Dia sipa Ma?”. Kiya balik bertanya sambil mengarahkan telunjuknya pada Syahril. “Oh.. Dia itu Muhammad Syahril Hussen kelas duabelas IPS satu. Dia itu nih yah salah satu Bad Boy nya sekolahan. Kamu tau kasus tawuran minggu kemarin? Nah dia itu salah satu orang yang terlibat ditawuran itu”. Jelas Rahma. “Masa?”. Tanya Kiya tak percaya. “Iyah aku serius”. Seketika itu pesona Syahril lagsung pudar di mata Kiya. Baginya buat apa tampan tapi nakal? Buat apa tampan tapi gak bisa ngaji? Gak ada gunanya.
Bel pulang telah berbunyi. Saatnya bagi Kiya untuk pulang ke pesantren. Petala langit berhiaskan awan kelabu, menutupi cakrawala yang tadinya biru. Derap langkah Kiya membaur bersama suara riuh rendah orang orang yang ada di pasar. Disaat ia berjalan menuju pesantren yang terletak tak jauh dari sekolahnya. Tiba tiba Syahril datang dan ikut berjalan di samping Kiya. “Pulang sendiri?”. Tanya Syahril. Namun Kiya diam. “Aku temenin yah”. Kiya tetap diam. “Punya nomor HP gak?”. Syahril yang terus berusaha. Tapi Kiya masih saja diam. Sebetulnya diamnya Kiya karena merasa risih berada didekat Syahril. Ia tak nyaman.
Hening menghiasi perjalanan mereka. Keduanya sama sama membisu. Karena cuaca mendung tak banyak kendaraan yang berlalu lalang, sehingga jalanan tampak lengang. Namun, derap langkah Kiya harus terhenti di sebuah toko kitab. Ya, ada beberapa kitab yang harus dibeli Kiya. Tepat saat ia ingin membayar… “Gak usah biar aku aja yang bayar”. Kata Syahril. “Biar aku aja”. Tolak Kiya secara halus. “Gak papa kok, aku aja”. Paksa Syahril secara halus pula. “Tapi…”. Kiya yang terlihat ragu. “Kamu tenang aja, uangnya halal kok. Uang malak tadi aku kasih sama temanku”. Syahril yang meyakinkan. “Kalo gitu, untuk yang ini, biar aku yang bayar”. Kiya yang mengambil satu buah peci yang terpajang di toko itu.
Saat hendak melanjutkan perjalanan Kiya dan Syahril dihadang oleh hujan deras, yang memaksa mereka untuk berteduh di toko kitab tersebut sambil duduk di sebuah bangku panjang disana. “Kalo boleh aku tau, buat apa kamu beli peci itu?”. Tanya Syahril yang sedari tadi bertanya tanya. “Buat kamu”. Jawab Kiya lalu berdiri dan memakaikan peci itu tepat di kepala Syahril. “Aku pengen kamu selalu inget sama shalat, karena umur itu rahasia sang pencipta, Allah Azza Wajalla. Saat kita terlahir ke dunia ini, kita langsung disambut oleh suara kumandang adzan, Begitu pula saat kita meninggal, kita dishalatkan. Begitulah kehidupan, bagaikan jarak antara adzan dan shalat yang hanya diselingi iqamat. Waktu iqamat itulah waktu kita hidup di dunia ini. Begitu sebentar, hanya sekejap mata”. Nasehat Kiya. Tatapannya lurus ke arah gemericik hujan.
Kata kata Kiya tadi mampu menyentuh relung hati Syahril, memecah ego yang melekat di dalamnya. Nasehat yang indah, tertanam dalam sanubarinya yang kelabu. Nuraninya berkata; inilah wanita yang tepat untuk hidupnya.
Perlahan hujan mereda, membuat mereka harus melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan. Syahril mengantar hanya sampai ke dekat gerbang pesantren. Kala Kiya melangkah masuk… “Kiya makasih yah pecinya, aku suka!!”. Teriak Syahril. “KAMU!!”. Tambahnya sesaat kemudian. Kiya hanya tersenyum dan menghilang dibalik gerbang.
Perkenalan yang begitu singkat membawa mereka menjadi lebih dekat. Setiap jam istirahat Syahril selalu sengaja menghampiri Kiya di meja kantin. Dan sesekali mengajaknya bercanda. “Kiya..”. Panggil Syahril pada Kiya yang sedang khidmat memakan baksonya. “Apa? Kamu mau minta bantuin ngerjain PR Qurdis (Qur’an dan hadits) atau ngerangkum catetan fiqih?”. Tanya Kiya seolah sudah hafal maunya Syahril. “Bukan”. Jawab Syahril sambil menatap Kiya. “Terus..?”. Kiya yang penasaran sambil mentautkan kedua alisnya. Tumbenan. “Jadian Yuk!!”. Ajak Syahril dengan wajah santai tanpa dosa. “Jadian? Pacaran maksudnya?”. Kiya yang sedikit terhenyak kaget. Syahril mengangguk. “Enggak ah, pacaran itu kan dilarang dalam islam. Di (QS. Al-isra[17];32) Allah berfirman; wala takrobuzzina innahu kanafahisyatann wasa asabilan. Artinya; Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. Kiya yang berusaha menasehati. “Pacaran itu kan mendekati pada zina”. Tambahnya sambil melahap ptongan bakso yang telah ia potong kecil kecil. “Kalo gitu kita nikah aja yuk!!”. Ajak Syahril lebih parah. “Uhuk uhuk”. Kiya yang langsung tersedak. Potongan bakso itu menyangkut di kerongkongannya. “Kamu tuh ngajakin nikah kayak ngajakin makan bakso yah”. Gerutu Kiya. “Nikah itu bukan perkara gampang. Lagian kalo nikahnya sama cowok bandel kayak kamu mah ogah”. Tolak Kiya secara terang terangan. “Kok ogah sih?”. Sayhril tampak tak terima. “Iyalah ogah, kamu kan bandel. Udah gede masih suka berantem”. “Berantem buat cowok itu wajar”. Elak Syharil. “Tapi buat orang dewasa itu kekanak kanakan. Dan salah satu syarat nikah itu kalo udah dewasa”. Kata Kiya. “Iya deh, janji aku gak bakalan berantem lagi”. Syahril yang mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf V. “Janji yah”. “Iyah. Kalo gitu, nikahnya dipending dulu aja sampe kamu lulus aliyah”. Bisik Syahril watados lalu melenggang pergi. Sementara Kiya hanya menggeleng gelengkan kepalanya.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kian lama Kiya dan Syahril semakin dekat saja. Tak dapat Kiya pungkiri bahwa ia menaruh hati pada Syahril. Namun ia lebih memilih memendam persaannya itu. Ia tak ingin melukai persaan Adam yang kala itu juga menyukainya. Ia tak ingin merusak persahabatan Syahril dan Adam jika dia mengungkapkan persaannya. Namun, tetap saja kedekatan Kiya dan Syahril membuat Adam cemburu, dan tersulut emosi. Sehingga terang terangan ia mengajak Syahril untuk berkelahi di lapangan sore nanti. Sementara Kiya sama sekali tak tau menau akan hal itu.
Karena tak ada yang mampu mencegah. Rahma sebagai sahabat nekat menemui Kiya di pesantren. Hanya Kiya satu satunya orang yang mampu melerai perang sodara antara Syahril dan Adam. Mengetahui kabar itu, dengan segera Kiya pergi menuju lapangan yang terletak tak jauh dari sekolahnya. Hatinya begitu cemas, Kiya tak tau kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Semoga Kiya belum terlambat ya Allah.
“Dam, maaf kalo kedekatanku dengan Kiya buat kamu gak suka. Dan maaf juga karna aku juga suka sama Kiya”. Kata Syahril dengan langkah terseok seok sambil memegangi perutnya yang kesakitan. Syahril sudah berjanji pada Kiya, kalau ia tak akan berkelahi lagi. Dan ia tak ingin mengingkarinya. “Sahabat macam apa yang nikung temennya?! Kamu tau Ril? Kamu tuh lebih buruk daripada sampah”. Teriak Adam berapi api. “Dam, aku gak nikung kamu. Kita bersaing secara sehat. Ayolah!! Masa cuma karna gara gara cewek, kamu rela persahabatan kita hancur gitu aja. Dam, kalo kamu memang gak suka ngeliat aku deket sama Kiya, aku bisa kok jauhin dia”. Syahril yang masih berusaha. “Omong kosong”. Adam yang kembali mendaratkan pukulannya di wajah Syahril. ‘Bugh…’ Syahril langsung tersungkur ke tanah. Sudut bibirnya tampak terluka. Ujung matanya tak sengaja menagkap kehadiran seseorang. Ya, Kiya berdiri dipinggir lapangan. Wajahnya memerah menahan tangis. Kiya tak mampu melakukan sesuatu, melerai pun akan percuma bukan. Mereka berdua masih bersitatap, Syahril memandang lekat iris mata Kiya yang tampak berair, dan mungkin juga ini adalah kali terakhir Syahril menatap Kiya… karena setelah itu…
“Kiya!!”. Syahril yang tampak terkejut ketika melihat Kiya yang datang melindunginya. Kiya datang untuk melindungi Syahril dari sebilah pisau yang akan Adam tusukan padanya. “Lailahaillah”. Kata Kiya lirih sambil menghembuskan nafas terakhirnya. Seketika itu hati Syahril langsung berguncang hebat. Didekapnya jasad Kiya yang meregang nyawa tepat ketika senja terbenam. Kiya telah pergi mengikuti mentari yang juga menghilang ditelan malam. Hanya saja, mentari akan kembali terbit kala fajar menyapa. Tetapi Kiya? Dia pergi untuk selamanya.
Kiya benar, kehidupan di dunia ini hanya sekejap mata. Syahril pun tersadar dan mulai menata hidupnya. Menjadi lebih baik. Kini ia menjadi pemuda alim nan shaleh serta berbudi pekerti luhur. Karena Syahril tau, ada seseorang yang tengah menunggunya di surga sana. Kalau ia tak berubah, ia tak akan bisa menemui orang itu kembali.
“Yaalloh, dunia ini tak lagi menyenangkan. Kapan Kau ajak aku pulang? Bertemu Azkiya Assyifa, ciptaan-Mu yang kusayang”. Itulah sepenggal doa yang diucapkan Syahril diakhir shalatnya. Sungguh ia benar benar merindukanmu Kiya. Peci pemberianmu adalah barang wajib ketika Syahril akan shalat.
TAMAT
Cerpen Karangan: Mela Safitri Blog / Facebook: Mela Azkiya Hussain selamat membaca. mohon maaf jika ada kesalahan…