Yang aku tahu, malam ini seperti tak punya nafas. Tak ada angin yang meliukkan tubuhnya. Pohon-pohon diam. Tak terdengar desah dedauan. Gunung-gunung membisu. Demikian juga rerumputan yang ada di halaman rumahku. Diam. Malam begitu terbungkus kesunyian. Sehelai daun yang menua, melayang di udara. Jatuh. Terkulai di tanah basah. Kesunyian pun kian lengkap. Hari pun berjalan. Sang mentari terbit dengan membawa sinarnya. Ayam bernyanyi dengan riang, tapi tetap sunyi yang kurasakan.
Kuawali pagi dengan sarapan bubur yang disiapkan bibi, pembantu di rumahku. Ia sudah datang sejak jam 5 pagi. Kuberi ia kunci rumah agar ia tak mengganggu tidurku ketika ia mau masuk rumah. Aku hanya tinggal sendiri di rumah. Aku memutuskan untuk hidup madiri dan terpisah dari orangtua semenjak aku kuliah. Aku adalah anak orang terpandang. Ayah adalah pemilik perusahaan sawit dan Ibu adalah pemilik pabrik tekstil di kota. Yah, tinggal dengan orangtua sekaya itu mungkin terasa menyenangkan, tapi tidak bagiku. Hidupku sangat tidak menyenangkan. Tinggal di sebuah rumah yang besar, tapi cuma berisikan orang termasuk asisten rumah tangga. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Masa kecil yang suram, yang tidak dipenuhi memori yang indah, kenangan yang manis, dan pengalaman yang seru. Membosankan. Setelah lulus kuliah, aku bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang. Gajinya tidak besar, namun berkeliling mengantarkan barang dapat mengisi kekosongan di dalam hati.
Suatu hari aku ditugaskan mengantar barang ke sebuah taman kanak-kanak. Sesampainya disana kulihat anak-anak bermain dengan manjanya. Berlari kesana-kemari bagaikan tak punya beban. “Hm.. andaikan aku menjadi anak kecil lagi”, pikirku dalam hati. Namun, pikiran itu musnah dan terbuang saat kulihat seorang gadis dengan senyum yang menghangatkan kalbu. Menyejukkan jiwa. Mataku bagaikan tersihir. Terpaku melihat kemayunya saat berjalan. Surga dunia. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya kepadaku. Gugup. Lidah menempel di mulut. Aku tak berkutik. Bagaikan rusa yang disudutkan singa. Namun singa yang ini berbeda. Singa ini berwujud bidadari. Apakah ini Juliet, karena aku siap untuk jadi romeo. Apakah ini cinderella, karena aku siap untuk membawakannya sepatu kaca. Apakah ini cinta, karena aku siap memberi hatiku padanya. “Iii..ini.. Ada kiriman buat Mba Sri”, jawabku terbata-bata. “Heheh.. Gak usah panggil Mba, Sri aja, emangnya saya kelihatan tua ya?” jawabnya menambah gugupku. “Oo.. ok mba. Eh, Sri”, jawabku masih, terbata-bata.
“Masnya ganteng-ganteng kok jadi kurir?”, tanyanya. Ganteng. Apakah wajahku serupawan itu, atau dia hanya bercanda untuk menghilangkan kegugupanku. Aku pun diam tak menjawabnya. Setelah ia menandatangani dokumen pengirimannya, aku lekas pergi. Mempunyai pasangan hidup seperti ia mungkin adalah kenikmatan dalam hidup, tapi aku mungkin berpikir terlalu tinggi, mana mungkin ia mau dengan seorang kurir. Ya, kumusnahkan pikirian itu dan tak mau berangan-angan terlalu tinggi.
Namu takdir berkata lain. Aku kembali bertemu dengannya di sebuah taman. Dan dengan cepat ia langsung menghampiriku. “Eh ada cowok kurir, jalan bareng yuk, masih ingatkan ama aku, yang guru TK itu lho” katanya dengan lugas. “Ya ingat lah, gadis secantik kau mana mungkin mudah dilupakan”, kataku dalam hati. “Iya aku ingat kok, kalau cuman jalan bareng ayo lah”, jawabku atas pertanyaannya.
Kami berjalan di taman. Bercerita denga sidikit candaan. Aku masih menjaga diriku agar tak berharap terlalu banyak, namun ia seperti memberi peluang. Sudah hampir satu jam kami mengelilingi taman. Kami melihtat penjual es krim yang ada di sudut taman, dan kami pun berjalan kesana.
“Jalannya cepet di dong, aku mau beli esnya nih”, katanya. “Ok-ok”, jawabku. Ia pun ingin berlari, namun ia tersandung. Aku pun menangkapnya dengan kedua tanganku. Seperti adegan FTV di stasiun tv itu. Mata kami bertemu di satu titik, saling memandang, timbul benih-benih cinta, rasa kasih sayang, dan perasaan saling menjaga. Aneh rasanya hubungan dimulai dengan kejadian yang begitu singkat, tapi cukup untuk membuat dua hati saling mengikat.
Semenjak kejadian itu, kami sering bertemu, bertukar kisah, menuangkan isi hati dan keluh kesah di taman itu. Aku pun berniat untuk mennyatakan cintaku padanya dan ia menerimanya. Alangkah indah dunia. Nyanyian burung yang merdu. Riuh rumput pun mulai terdengar. Angin pun meliuk-liuk di menerpa rambutku, menerpa pohon hingga ia juga ikut bernyanyi. Hari-hariku pun berubah sejak saat itu. Hati yang dulu kosong kini mulai terisi kenangan indah, hari yang dulu suram kini mulai berwarna, diisi semua keindahan yang dipancarkan oleh dunia.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Hubungan kami terus berlanjut. Hingga suatu hari ia pergi pulang ke kampungnya untuk melihat ibunya yang sakit. Aku pun merelakannya karena tak bisa menghalangi anak yang akan bertemu orangtuanya. Sebelum ia pergi kami berjanji akan bertemu lagi dan akan menikah stelahnya. Janji yang akan kupegang teguh untuk bersamanya.
Setelah satu bulan kepergiannya, ia tak memberi kabar lagi. Hari-hariku pun mulai suram lagi. Karena tak tahan dengan kesendirian ini, akupun pergi menyusul ke kampung halamannya.Udara yang segar, sangat jauh bedanya dibanding dengan udara perkotaan. Kampung. Sebuah kata yang selalu digambarkan untuk kekolotan, namun dengan sudut pandang lain, kampung adalah tempat yang nyaman, tempat untuk hidup yang sangat diimpikan seseorang yang memiliki kehampaan pada dirinya. Sesampainya disana aku bertanya alamat rumahnya pada warga sekitar. “Pak numpang tanya, alamat ini kearah mana ya?”, tanyaku pada bapak yang kulihat sewaktu aku turun. “Oh, ini alamat yang mau pesta pernikahan di kampung ini mas”, jawab bapak itu. “Mas tinggal ikutin orang yang bawa barang itu deh, mereka mau kesana juga”, tambah si bapak. “Oh makasih ya pak”, jawab ku sambil tersenyum.
Pernikahan?, yang nikah siapa ya?, dia tidak pernah menceritakan ia mempunyai saudara, atau saudara sepupunya yah mungkin. Terus terngiang perkataan itu di benakku.
Kuikutilah orang yang berakaian rapi di kampung itu, dan memang aku sampai ke rumah itu. Aku pun melihatnya dan langsung menghampirinya. “Sri…”, teriakku dengan keras. Semua orang menatapku tapi aku tak menghiraukannya. “Hai. Lagi mau ada pesta ya, pesta siapa? Dan ibumu bagaimana?”, langsung kubertanya. “Kamu ngapain disini?” jawab Sri seperti terkejut melihatku. “Emangnya aku gak boleh bertemu dengan orang yang aku cinta?”, jawabku. “Waktunya lagi gak tepat”, jawabnya sambil berjalan menghindariku. Langsung kutangkap tangannya, meminta penjelasan tengtang apa yang menyebabkan ia tak memberiku kabar selama satu bulan.
Datanglah seorang pria dengan tubuh yang sangar. “Eh ada apa ini, kenapa kau pegang tangannya?”, tanyanya kepadaku. “Aku sedang memegang tangan pacarku, memangnya salah?”, jawabku agak heran. “Pacarmu??, dia adalah calon istriku, dan kami akan menikah besok, orangtuanya berhutang padaku, dan dengan menikahiku, utang-utang orangtuanya aka lunas”.
Istri?, menikah?. Pikiranku langsung buyar mendengar kata-kata itu, ternyata selama satu bulan tak ada kabar, ia telah dijodohkan dengan pria yang ia tidak cintai, menikah seperti Siti Nurbaya. Menyesal aku tak mengatakan aku anak siapa, menyesal aku tak membicarakan asal-usulku, dan menyesal aku mempercayakan cinta ini padanya. Pria itu langsung menarik Sri yang agak menangis. Tapi Sri meronta dan berlari ke arahku, dan sambil menangis ia meminta maaf. “Maafkan aku yang sudah tega melakukan ini. Maafkan aku yang tidak megabarimu. Maafkan aku yang sudah menyakitimu”, katanya padaku. “Maaf kau bilang, dan maaf yang cuman bisa kau ungkapkan. Kau tabung duri di dadaku dan membuat perasaanku teriris. Dengan perbuatanmu kau sesakkan napasku. Kau bunuh semua impianku, kau menyerang segala hal yang aku perjuangkan. Kau jatuhkan semua yang aku tinggikan, kau hancurkan segala harapan yang aku bangun.”, jawabku dengan amarah. Sambil menangis Sri berkata “Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku?, janganlah engaku bersikap kejam kepadaku”. “Menebus kesalahanmu, kesalahanmu ini tidaklah tertebus, dan ketahuilah, aku bukanlah yang menghancurkan hubungan ini, aku bukan orang yang tidak memberi kabar selama serbulan-bulan, dan aku bukanlah orang yang merahasiakan hal semacam ini dari pasangannya, jadi siapa yang kejam Sri, siapa?”, tambahku lagi.
Aku pun lekas pergi, meninggalkan kekejaman dunia yang pernah aku impikan, dunia yang sempat aku percayai, dunia yang hampir membuatku ceria. Namun, tuhan berkata sebaliknya. Masih kehampaan yang ada di hidupku. Masih keharuan yang mengisi ceritaku. Mungkin ini adalah jalan tuhan yang harus kulalui, jalan yang penuh perih dan sakit, jalan yang terjal dan melelahkan untuk dilalui. Tapi, semua yang buruk pastilah berlalu, jika kita masih percaya akan kebahagiaan itu, dan mungkin di jalan ini. Aku akan menemukan kebahagiaan pada AKHIRNYA.
Cerpen Karangan: Raja Barani Lubis Blog / Facebook: Raja Barani Lubis Murid kelas XI – IPA 1 di SMA N 7 Padangsidimpuan Utara