Aku melangkahkan kakiku menyusuri lorong panjang rumah sakit ini, berat, berat sekali aku rasakan setiap aku mengangkat kakiku untuk melangkah. Aku juga bingung kenapa, selama 22 tahun aku hidup kedua kakiku selalu dapat menopang berat tubuhku dengan sempurna, tapi sekarang.
“Kamu dari mana aja?” tanya seorang gadis yang usianya 3 tahun dibawahku. Aku terdiam. “Kirana belum sadar sampe sekarang” ujar gadis itu lagi. Mendengar nama Kirana membuat hatiku begitu sakit dan perih, dadaku sesak seketika, dan aku tidak dapat bernapas. Jantungku serasa ditusuk-tusuk oleh benda tajam begitu mendengar nama kekasihku. “Apa yang terjadi?” tanyaku dengan suara parau, nyaris membuatnya mengira bahwa aku habis menangis. “Lebih baik kau masuk” gadis itu menjawab tanpa memperdulikan pertanyaanku. “Aku tunggu di luar” sambungnya.
Aku hanya diam dan menurut. Kulangkahkan kembali kedua kaki ini untuk masuk ke dalam ruangan putih yang penuh dengan berbagai macam alat yang entah apa namanya, namun aku tahu alat-alat itulah yang membantu Kirana tetap hidup.
Keadaanya begitu membuatku sedih. Kepalanya diperban, dengan satu mata yang ditutupi oleh kapas dan perban. Di bagian pipinya terdapat banyak luka goresan dan memar kebiruan, tanganya terkulai lemas di samping tubuhnya, dan kaki kananya yang diperban menggantung di sebuah kain khusus. Bau obat menyeruak seketika pintu terbuka.
Aku mendekati ranjang Kirana dan berhenti tepat di sampingnya, wajahnya terlihat begitu lesu dan matanya menutup sayu. Aku tidak kuat lagi menahanya, kakiku tidak dapat menopang tubuhku lagi dan aku jatuh seketika. Aku bersyukur ada sebuah kursi di belakangku, jadi aku tak perlu jatuh tersungkur ke lantai.
Aku menggenggam jari-jemarinya yang lembut itu dengan begitu pelan, takut jika sewaktu-waktu aku dapat menyakitinya hanya dengan menyentuhnya. Dia tetap diam dan tak menunjukan reaksi apapun, aku tertunduk lesu dan kembali menggenggam tanganya dengan lebih kuat, aku seolah tak mau kehilangan dirinya jadi aku akan tetap menggenggam tanganya tanpa mau melepaskanya.
Aku bahkan hampir lupa dengan kejadian 4 hari yang lalu, saat itu aku bertengkar dengan Kirana karena aku tidak dapat meluangkan waktuku untuknya, dan dia marah kepadaku. Aku menamparnya dengan keras begitu pertahanan diriku hancur, dan emosiku tak terkendali. Dia menangis dan berlari menjauhiku.
“Kenapa selama ini kamu lebih milih pekerjaan kamu ketimbang aku? Aku udah mau ngalah selama kita pacaran, tapi kamu kenapa gak pernah bisa hargain perasaan aku?” kira-kira itu yang dikatakanya padaku sebelum benar-benar pergi dariku. Aku sangat menyesali tindakanku waktu itu yang telah menyakitinya, bukan hanya fisiknya, namun juga hatinya. Aku tidak masalah jika dia harus membenciku karena aku kasar padanya dan tak pernah punya waktu untuknya. Aku memang pantas dibenci, seharusnya dia bisa mendapatkan pria yang lebih baik dariku, namun dia tetap tidak mau meninggalkanku karena katanya akulah yang terbaik. Kini seharusnya aku bersyukur karena telah memiliki gadis cantik yang pengertian seperti dia, tidak seperti mantan pacarku sebelumnya.
Tanganku menyentuh pelan kepalanya dan mulai mengusap rambutnya yang agak lengket, aku masih terus berharap dia akan membuka matanya dan melihat aku disini.
“Kirana, kamu kan pernah bilang kalo kamu pengen liat aku ada di samping kamu, dan sekarang aku udah ada di samping kamu. Jadi, aku mohon buka mata kamu, aku janji akan luangin waktu aku buat kamu” ujarku lirih, dia masih tak bereaksi dan aku pun menciun tangan pucat itu.
Aku ingat semalam aku mendapatkan 32 panggilan tak terjawab dari Luna, gadis yang tadi berada di koridor rumah sakit, Luna adalah sahabat Kirana sejak SMP. Luna memberitahuku tentang kecelakaan Kirana. Aku baru sadar Kirana mengalami kecelakaan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya aku mengira kalau Kirana sedang marah padaku sampai-sampai dia tidak mau mengangkat teleponku, namun dugaanku salah. Kirana mengalami kecelakaan parah, dan malam sebelum Kirana kecelakaan dia sempat mengirimiku pesan singkat.
‘Aku rindu kamu, tolong maafin aku atas kejadian kemarin. Maaf aku terlalu egois’
Aku begitu sesak saat mengingatnya kembali. Setiap kami bertengkar dia selalu mengalah dan meminta maaf duluan kepadaku, dia tak pernah melarangku untuk dekat dengan wanita manapun, dia juga tidak pernah mengeluhkan hobiku, dia selalu menerima aku apa adanya. Namun tidak denganku. Aku selalu memarahinya atas sesuatu yang bahkan bukan kesalahanya, aku selalu mengabaikan setiap permintaanya dan selalu mengingkari janji yang aku buat, aku juga sering berbohong padanya dan lupa memberi waktu untuknya. Aku benar-benar buruk dalam mencintainya, dan aku hanya mementingkan egoku.
“Kirana aku mau kamu bangun, aku pengen liat kamu kayak biasa lagi, aku mohon” pintaku dengan suara yang masih terdengar lirih.
Yang kuingin saat ini hanyalah menggenggam tanganya, menatapnya, dan memeluknya dengan lembut. Dan aku tak akan mau melepaskanya. Ditengah tangisanku aku merasakan tanganya bergerak-gerak, aku segera memperhatikanya dengan lebih jauh lagi dan benar saja tak lama kemudian dia membuka matanya yang tidak tertutupi perban itu. Dia masih membukan dan menutupkan matanya sebelum benar-benar menatapku dengan sedih.
“Sakit” lirihnya, aku yang mendengarnya tak kuasa lagi untuk menahan tangisku dan segera memanggil dokter.
Luna menolak masuk begitu dokter kembali ke ruangannya, dia mengatakan akan menemui ayahnya di kantornya dan mempercayai aku untuk menjaga Kirana. Aku hanya mengangguk dan berpesan untuk hati-hati, kemudian aku kembali ke dalam.
Aku kembali menggenggam tanganya, kali ini dapat aku rasakan dia balik menggenggam tanganku walau dengan begitu pelan. Aku tersenyum.
“Kau sudah baikan hmm?” tanyaku sambil mengusap pipinya. “Sejak kapan kamu disini?” tanyanya dengan begitu lirih. “Entahlah, mungkin tadi pagi” jawabku, kali ini kedua tanganku menggenggam tanganya dan menempelkanya ke pipiku, dengan pelan aku merasa dia tengah mengusap pipiku. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku dengan sedikit gugup. “Aku sangat merindukanmu” jawabnya. Aku mengangguk. “Maaf, aku akan tetap di sini sampai nanti” hanya itu yang dapat aku katakan.
Dia terdiam cukup lama sampai aku akhirnya menyadari bahwa kirana tertidur. Aku bangkit berdiri dan mendekatinya, tepat di samping telinganya kubisikan suatu kalimat sebelum aku mengecup dahinya.
“Aku mencintaimu, tolong jangan pergi. Semuanya akan baik-baik saja saat kau di sampingku”
Cerpen Karangan: Aya K. Blog / Facebook: Megumi Kato