Cinta pertama. Setiap orang pasti memiliki cerita tersendiri mengenai cinta pertamanya. Ada yang berakhir indah namun ada pula yang berakhir menyedihkan. Begitu pula dengan aku, aku mempunyai cerita tentang cinta pertama yang tidak akan pernah aku lupa sepanjang hidupku. Dan akan aku kenang sebagai pelajaran. Bahwa cinta tak selamanya akan berakhir sesuai dengan harapan apa yang kita pinta.
Hari ini hari pertamaku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Dengan rok abu-abu atasan putih membuatku semakin bangga bahwa aku sudah sedikit menjadi dewasa. Namaku Michelen. Atau biasa dipanggil dengan Elen. Aku gadis yang sangat kurus, berkacamata, rambut sebahu, tidak begitu cantik, namun ibu bilang bahwa aku adalah anak tercantik di dunia. Benar saja ibu mengatakan seperti itu karena kenyataannya aku adalah anak satu-satunya, iya aku adalah anak tunggal yang terlahir dari keluarga yang sederhana.
“ibu, hari ini aku berangkat sekolah ya. Doain aku lancar ya bu.” Aku menarik tasku dan segera bergegas naik motor untuk di antar ayah ke sekolah. Ya Allah, lancarkanlah hari ini. Aku sudah resmi memakai seragam abu-abu, semoga aku diberikan kelancaran dalam segala pelajaran hingga aku dapat menyelesaikan pendidikan SMA ku dengan baik, dan semoga aku dipertemukan oleh teman yang baik dan bisa bersahabat denganku sampai lulus nanti.
Hari ini begitu cerah, aku mengikuti upacara bendera. Kepala sekolah berpidato panjang lebar dan mengucapkan selamat datang kepada kami. Lalu tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki berada di atas tandu PMR dan dibawa menuju ke UKS. “Ternyata seorang laki-laki bisa pingsan juga ya” kataku dalam hati.
Tak terasa 45 menit sudah berlalu, upacara telah selesai dan kita diperbolehkan untuk kembali ke kelas masing-masing. Lega sekali rasanya setelah upacara selesai. “hai, perkenalkan, aku Anita, panggil saja Nita. Kebetulan aku menaruh tas di sebelahmu, dan kita ada di satu meja. Itu artinya kita akan menjadi teman sebangku. Nama kamu siapa?” waah cantik sekali, hidung mancung, rambutnya tebal panjang dan lurus, bibirnya merah merona, pipinya cekung, badannya proposional, tidak seperti aku yang kurus, Oh sungguh sempurna ciptaan Allah yang satu ini. “Oh iya, aku Michelen, panggil saja aku Elen. Senang berkenalan dengan kamu. Semoga kita menjadi teman yang baik ya.” Kubuka tasku dan mengeluarkan beberapa buku tulis kosong untuk menutupi salah tingkahku. Yes, akhirnya aku punya teman juga. Ya Allah semoga pertemanan kami menjadi semakin akrab dari hari ke hari. Aamiin.
Sudah sebulan aku akrab bermain dengan Anita, dia gadis yang sangat menyenangkan. Dan kita mulai merasa klik satu sama lain. saling bertukar cerita dan banyak kesamaan yang kita punya, mulai dari makanan favorite, es pisang hijau depan sekolah yang menjadi minuman wajib setelah pulang sekolah, novel kesukaan, dan warna kesukaan yaitu Ungu. Ada beberapa peralatan sekolah yang kita miliki pun sama, mulai dari penggaris warna ungu, pena warna ungu, penghapus warna ungu, dan tempat pensil warna ungu. Bahkan di kelas kamipun dipanggil dengan sebutan si kembar ungu.
Pada akhirnya ada dihari dimana kita diwajibkan untuk memilih ekstrakulikuler yang sesuai dengan minat dan bakat yang kita miliki. Aku merasa tidak memiliki bakat apapun, berhubung cita-citaku ingin menjadi seorang dokter. Aku memutuskan untuk memilih ekstrakulikuler Palang Merah Remaja. Aku berharap dengan menjadi dokter kecil di sekolah, dapat mengantarkan aku ke gerbang dokter yang sebenarnya. Anita memilih untuk mengikuti ekstrakulikuler Pecinta Alam. Pada kenyataannya, ada hal yang sedikit membedakan dari kami, yaitu Anita suka dengan sesuatu yang berbau adrenalin, aku malah cenderung takut dengan hal itu.
Palang Merah Remaja, atau PMR. Eksul yang menyenangkan, aku bisa banyak belajar mengenai ilmu medis, bagaimana memberikan pertolongan pertama, menangani kecelakaan ringan sampai kecelakaan yang berat. Aku banyak menambah teman, mulai dari kakak kelas hingga sesama kelas X.
Besok senin aku mulai berjaga di ruang UKS, untuk pertama kalinya aku berjaga saat upacara. “kak ade, sudah datang, ambilkan air es. cepat Elen!” kak Sinta langsung memberikan kursi untuk kakak kelasku yang bernama kak Ade. Aku mengambilkannya dan memberikan kepada kak Sinta, dan aku sedikit panik, untuk pertama kalinya aku melihat darah sebanyak itu keluar dari hidung seseorang. “Rileks kak, jangan panik, kak Ade sekarang sudah di UKS, jadi tenang ya kak.” Kak sinta memperlihatkan rasa empatinya. Aku hanya terdiam tak banyak berkata-kata, kebetulan hari ini jadwalku menjadi asisten dari kak Sinta. Namanya kak Ade, aku lihat di name plate nya Ade Surya. Tubuhnya kurus kecil, warna kulitnya sawo matang, raut mukanya manis, dan bibirnya pucat pasi.
“kak, ini minum air putihnya dulu kak.” Aku memberikan gelas berisikan air putih kepada kak Ade. “terimakasih Michelen”. Dia membaca namaku. “Panggil saja aku Elen kak. Semoga cepat baikan ya kak. Supaya bisa ikut pelajaran nanti.” Aku pergi meninggalkan kak Ade, dan kembali membantu kak Sinta untuk menolong pasien UKS lainnya.
“Dia namanya kak Ade, dia sering masuk ke UKS. Bisa dibilang dia adalah salah satu siswa langganan yang masuk ke UKS pada saat upacara. Dia kelas XII IPS, termasuk kelompok anak yang bandel di sekolah, tapi kalau terkena panas atau kecapean sedikit pasti kalo tidak mimisan atau pingsan. Anaknya baik, walaupun dia bandel, tapi dia tidak pernah masuk dalam daftar siswa yang terkena kasus. Aku suka iba melihatnya ketika dia mimisan atau pingsan, seringkali aku yang menanganinya. Kak Ade… ah sudahlah, aku tidak tega untuk menceritakannya lagi” Aku lihat di cerita itu sepertinya kak Sinta sudah cukup akrab dengan kak Ade. Mungkin karena waktu yang sering mempertemukan mereka. Tapi, apapun itu, aku tidak terlalu menghiraukannya, biarlah kak Ade menjadi bagian dari cerita kak Sinta.
Hari berlalu begitu cepat. Besok sudah waktunya aku kembali untuk sekolah dan bertemu dengan jadwal upacara yang membosankan. Kebetulan besok aku tidak bertugas di UKS, jadi mau tidak mau aku harus mengikuti upacara di lapangan. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ternyata ada telepon dari Anita, “Elen, besok jangan lupa bawa topi ya, sama ada ulangan Matematika, jangan lupa belajar ya”. “oh oke, makasih Anita sudah diingatkan”. Anita memang sahabat yang terbaik sepanjang sejarah aku hidup. Dulu waktu SMP aku memang punya sahabat, tapi tak seperhatian ini.
Keesokan harinya aku sudah berada di lapangan, dengan khidmat kuikuti upacara ini. Ada laki-laki berjalan di barisanku menuju ke UKS, nampaknya laki-laki ini tidak asing. Lalu tiba-tiba Brug…! “Ada yang pingsan, Elen, kau anggota PMR kan, ayo bantu bawa kakak ini ke UKS” sahut ketua kelasku. Aku dan beberapa siswa kelas langsung membawa kakak itu ke UKS.
“Kak Ade, tenang kak, kakak sudah di UKS. Ini air putihnya di minum dulu, aku bawakan obat kak Ade, tadi aku mengambilnya di dalam kantung baju kak Ade.” Kak Sinta memberikan obat itu kepada kak Ade, dan sangat terlihat ketulusan kak Anita untuk merawat kak Ade. Aku hanya diam terpaku melihat kak Ade dan kak Sinta. “Elen, jaga kak Ade dulu ya. Saya mau bantu Kak Roni dulu”. “baik kak”. Kak sinta langsung meninggalkan aku dan Kak Ade di ruangan UKS.
“hey kamu, Elen. Makasih ya, sudah meolongku tadi. Kamu kelas berapa?” kak Ade menarik selimutnya hingga menutupi sampai ke dada. “Sama-sama kak, Saya kelas 10C”. “nomor absenmu berapa? Pasti depan-depan ya. Eh tengah-tengah ya, karena kan nama kamu huruf depannya M”. Kak Ade berusaha mencairkan suasana, dalam hatiku berkata, bisa-bisanya dia mengajakku berbincang setelah mengalami pingsan. Apa sudah biasa mengalami hal itu sampai-sampai seolah-olah kejadian barusan seperti tidak ada apa-apa. “no absen saya 21 kak. Kak Ade, saya tinggal dulu ya, kalau butuh bantuan saya, kakak bisa langsung panggil saya saja. Saya di ruangan depan”. “Oke, nanti saya panggil kamu kalau saya butuh bantuan.” Aku pergi meninggalkan kak Ade. Seperti ada sesuatu yang janggal, sakit apa sebenarnya yang diderita kak Ade.
Tiga bulan sudah aku tidak pernah melihat kak Ade, sudah 12 kali aku melewatkan upacara tanpa ada kak Ade baik di UKS bahkan lingkungan sekolah. Biasanya dia adalah maskot pasien UKS. Kali ini posisi itu tidak ada lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati, ingin menanyakan kepada kak Sinta namun aku takut dikira menyukainya. Hingga pada suatu saat aku membuka loker setelah pelajaran olahraga selesai. Ada sepucuk surat tergeletak di lokerku. Kubuka perlahan surat itu, dan aku baca dengan seksama.
Dear Michelen, Apa kabar kamu disana? Tak banyak yang ingin aku ungkapkan kepadamu, aku hanya ingin berterimakasih karena sudah 2 kali menolongku. Mungkin ini aneh, namun ini benar adanya. Perasaan suka kepada kamu adalah kenyataan yang tidak dapat aku pungkiri. Aku menyukaimu dari awal aku melihatmu. Walaupun kita hanya 2 kali berbincang namun bagiku itu sudah lebih dari cukup dari yang aku harapkan. Michelen, aku pernah membaca suatu puisi WS Rendra sebelum kepergiannya meninggalkan dunia, dan ada beberapa baik puisi yang aku sukai yaitu pada bagian “Ya Allah, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.. Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.” Selamat tinggal Elen, semoga kita dipertemukan kembali olehNya dilain waktu. Salam, Ade Surya.
Aku gemetar membacanya, seolah-olah dunia ini runtuh seketika. Tak terasa aku menitikan air mata yang tak bisa kutahan lagis. Mengapa aku menangis, padahal sebenarnya aku tidak memiliki perasaan apapun. Apakah ini yang namanya cinta? Aku memikirkannya dan ketika kehilangannya rasanya sakit sekali seperti dunia ini guncang rasanya.
Aku langsung pergi berlari menuju kelas kak Sinta. Tanpa berkata apapun kak Sinta langsung datang dengan membawa surat dengan amplop yang sama dan berkata padaku, “Kak Ade mengidap penyakit kanker hati, dan sudah dipanggil kembali oleh Allah. Kak Ade, berpesan kepadaku untuk menjagamu. Elen, kak Ade suka sama kamu dari awal dia melihatmu. Maaf aku tidak pernah memberitahu kamu sebelumnya”. Aku tak bisa berkata apapun kecuali menangis dan hanya dapat mengenang percakapan singkat dengan kak Ade. Cinta Pertamaku.
Cerpen Karangan: Maya Atma Dewanti Blog: mayadankhlaif.blogspot.co.id