Kematian, sebuah kata yang tak sanggup untuk ditulis, dilafalkan, dan juga didengar. Kematian memanglah hal pasti, hal yang tidak bisa dihindari semua orang. Kematian, kata itu…
“Bell, mari kita pulang!” ajak gadis dengan syal yang melilit leher menepuk pundak gadis di sebelahnya. Waktunya pulang. “Bell, besok masih ada waktu untuk menjenguk Davin” gadis bersyal tersebut membujuk. “Beri aku waktu lima menit lagi, Jes” yang dibujuk meminta perpanjangan waktu, sedangkan yang dipanggil Jes melirik pergelangan tangannya, “Ini hampir malam, Bell. Aku janji akan menemanimu lagi besok” Jes mencengkram bahu Bella, memaksa pulang. Bella menyeka ujung matanya. Menurut.
Jes duduk dibalik kemudi, sedang Bella memilih duduk di dashboard belakang. Lelah. Ia menangis hampir tiga jam untuk hari ini. Tidak terasa mobil yang mereka tumpangi sampai di tempat parkir dorm mereka. Jes membangunkan Bella, gadis itu teramat lelah seminggu terakhir ini.
“Bell, kita sampai” Bella terbangun, mengucapkankan terimakasih kepada Jes. “Kau tidak naik?” tanya Bella setelah keluar dari mobil. Jes menggeleng –sebentar lagi.
Sepeninggal Bella, Jes mendongakkan kepala, berusaha agar airmata tidak jatuh. Jika Bella menangis karena kondisi Davin seperti itu, maka Jes menangis karena sampai saat ini tidak ada keajaiban atas takdir hidupnya.
Jes membuka tas yang dia taruh di dashboard sebelah tempat ia duduk, gadis itu mengambil buku bersampul sketsa wajah seorang laki-laki yang tampak dari sebelah. Kemudian membukanya.
Di halaman pertama buku itu terdapat tiga foto yang diletakkan sembarangan. Tiga foto itu menggambarkan dua tubuh kanak-kanak, satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka tertawa lepas, kanak-kanak itu adalah Davin kecil dan Jes kecil. Jes tersenyum, mengenang masa kecilnya yang tampak beban. Halaman berikutnya, ada tulisan tangan Davin di sana, “Aku menyayangimu, Jes”. Jes menyentuh kalimat tersebut, airmatanya menetes.
“Kenapa kau menulis itu, Dav?” tanya Jes. “Agar kau tahu, aku memang menyayangimu” “Hahahahaa… tanpa kau tulis, aku tahu kau tertarik padaku” Jes menyahut asal, Davin membelalakkan mata, sejurus kemudian ia menjitak pelan kepala Jes. “Aishh… sakit tahu” kini giliran Davin yang tertawa, Jes mendengus.
“Ayo, kita pulang. Entar mama curiga sama aku” ajak Davin. “Pulang sendiri saja. Aku masih ingin di sini” “Ayolah, Jes. Sebentar lagi petang atau kau ingin melihat aku merana karena hukuman mama?” “Davin, aku tahu jalan ke dormku”
Davin menghela nafas, “Sepuluh menit lagi” Jes tersenyum, inilah yang dia sukai dari Davin.
Jes menghela nafas panjang –aku mencintaimu, Dav. Jes membuka halaman selanjutnya. Di sana, tertempel foto Davin sedang memainkan gitar. Foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Jes memutar ingatannya pada kejadian itu.
“Aku akan bernyanyi dan bermain gitar secara bersamaan hanya kepadamu, Jes” “Benarkah hanya untukku?” Davin mengangguk mantap. Jes menyunggingkan senyum. “Dengarkan, yah!” Davin mulai memetik senar gitarnya.
“I promise everytime you call me, it don’t matter where i am, i always be there, like you be there. If you need me closer, i’ll a right over, i swear… i swear” Jes tersenyum, “Benarkah kau akan selalu di dekatku?” Jes memainkan alisnya. “Benar, Jes. Kau sahabat terbaikku” Davin meninju pelan lengan Jes, tanpa disadari lengkungan senyum Jes memudar.
Satu tetes airmata lagi jatuh dari kelopak mata Jes. Gadis itu merapatkan syalnya, kemudian membuka halaman selanjutnya. Ada sepotong sobekan kecil, dulu Davin sengaja melempar sobekan kecil itu saat Jes dirundung galau, “Mana senyummu, Jes? Aku rindu”. “Cielah, tumben diem? Biasanya udah resek” Davin mengacak rambut Jes. Jes diam memandang kedepan. “Ada apa sih? Lagi dikejar rentenir?” Davin memecahkan keheningan yang Jes ciptakan. “Ada apa sih?” Davin mulai lelah, “Sudahlah, aku ke lapangan dulu. Nanti kalo mood-mu udah baik, liat aku latihan yah. Jam satu” tanpa menunggu jawaban dari Jes, Davin pergi. Sepeninggal Davin, Jes tetap tidak bergeming. Semalam, papa menyuruh Jes untuk tidak melanjutkan studynya di kota ini. Papa bilang ada banyak tugas yang bisa Jes kerjakan di rumah.
“Jes, kita tidak berdua kali ini” ungkap Davin. “Sama siapa?” “Seseorang. Dia satu kampus sama kita, tapi beda fakultas” Jes mengangguk.
Tidak lama kemudian seorang gadis datang menghampiri.
“Bella” “Jes” ucap mereka bebarengan. Davin terkejut. “Kalian saling kenal?” Tanya Davin. Bella mengangguk, Jes menimpali “Dia satu dorm sama aku, flat kita bersisihan”
“Kalo kalian saling kenal. Kenapa kau tak pernah mengenalkan Bella padaku?” kata Davin. “Aku tak ingin Bella kenapa-napa” jawab Jes singkat.
Sejak pertemuan antara mereka bertiga di pusat perbelanjaan kota, Jes mencoba menghindari kontak dengan Davin. Mereka juga jarang terlihat bersama. Davin lebih sering berangkat kuliah dengan Bella, walau sebenarnya Bella dan Davin selalu mengajak Jes berangkat bersama. Ia menolak, Jes tidak tahan melihat keduanya.
“Kau ke mana?” Tanya Davin. “Aku baru saja disuruh Bu Della memberikan makanan ke dewan guru” “Kau tak melihat aku tampil?” Jes menggeleng. “Kata Bella seandainya aku memainkan gitar sambil bernyanyi pasti lebih keren”
“Kau hanya bermain gitar saja?” Tanya Jes. Davin mengangguk, “Aku pernah janji ke kamu, kan?”
Pintu mobil Jes diketuk seseorang. Bella. Jes membuka kaca mobil hitamnya. “Kau tidak masuk flat?” Tanya Bella. “Tidak, papa meneleponku. Ia menyuruhku pulang” Jes berbohong. “Tak bisakah kau di sini hingga Davin sadar? Sampai semua pulih?”
“Papa membutuhkan aku, Bell” “Davin juga membutuhkanmu” “Davin lebih membutuhkan kau, Bell. Namamu selalu dia sebut” Jes tersenyum, senyum yang sulit diartikan.
“Nanti kalau Davin sadar, hubungi aku” Bella mengangguk. Jes menutup kembali kaca mobilnya. Menyalakan mesin. Ia harus pulang.
“Ayo pulang! Hari semakin petang” “Sebentar lagi” “Dia sudah tenang, Dav” ucap Bella.
Kematian. Mendapat kabar Davin sadar. Jes segera memutar balik mobilnya, padahal ia baru saja sampai di pelataran rumah. Senang dan terburu-buru membuat Jes melajukan kendaraannya diatas rata-rata. Di perempatan jalan truk dengan kecepatan tinggi dating dari arah berlawanan. Kecelakaan tidak dapat dihindari. Mobil Jes terbakar. Membakar sebagian tubuh Jes, buku, dan perasaan Jes.
Cerpen Karangan: Nana Su’ud Facebook: insyafiana30[-at-]gmail.com Nama saya Nana Su’ud, bisa dihubungi melalui insyafiana30[-at-]gmail.com