Gadis berwajah oriental itu tersenyum padaku. Diangkatnya gelas yang ada di tangannya, seolah mengatakan ‘mari minum’ yang kubalas juga dengan mengangkat gelasku. Plak! Sebuah tamparan mendarat di kepalaku. “Kenapa kau tersenyum kepadanya?” “Apa, sih?” Aku bertanya bingung. “Kenapa kau tersenyum kepadanya?” Dia mengulangi pertanyaanya sambil menunjuk dengan bola matanya kepada gadis berwajah oriental. “Hey, dia tersenyum kepadaku, jadi kubalas.” “Tapi kenapa dia tersenyum kepadamu? Bukan kepadaku?” Tanyanya kesal. “Mana kutahu! Tanya saja kepadanya.” Aku mendengus sebal. Aku tahu David menyukai gadis berwajah oriental itu, tapi apakah harus seposesif itu?
“Aku sudah tahu namanya. Namanya Yuki. Asalnya dari Jepang.” “Apa?” Tanyaku kaget. “Namanya Yuki, dari Jepang. Apakah kau tidak mendengarkanku?” “Bukan itu maksudku. Jadi kau baru tahu namanya setelah sekian lama menyukainya?” “Yah, begitulah.” Seketika tawaku meledak membuat David kesal.
“Hey Andi! Jangan mentertawakanku seperti itu! Kau pikir mengetahui namanya itu mudah? Itu butuh usaha.” “Memangnya apa usahamu?” “Aku yakin kau tidak akan mau mendengarnya.” “Kau pasti melakukan hal bodoh! Kau tidak mau memberitahuku karena kau tidak ingin aku mentertawakanmu. Iya, kan?” “Ternyata kau pandai menebak pikiran!” Katanya tersenyum mengejek. Lalu dia beranjak pergi meninggalkanku yang masih menikmati minumanku.
“Kau mau ke mana?” “Kembali ke toko,” katanya sambil melirik tempat gadis itu. “Kau juga harus kembali. Kalau tidak, kau kupecat!” Setelah mengatakan itu, David langsung keluar begitu saja. “Siapa yang dipecat? Toko itu kan milik bersama.” Dengan cepat aku berdiri untuk keluar.
“Kau bekerja di mana?” Sebuah suara terdengar dari belakangku, suara wanita. “Toko bunga di ujung jalan sana,” jawabku sambil membalikan badan. Ternyata Yuki. “Toko bunga?” Tampak kedua matanya berbinar. “Jadi kau bekerja di sana? Tapi kenapa setiap kali aku mampir tidak pernah bertemu denganmu?” “Mungkin aku sedang tidak di toko.” “Setiap kali aku ke sana aku hanya menemui seseorang yang selalu menyambutku dengan ramah. Tadi sepertinya aku melihatnya di sini, beberapa kali juga kulihat dia di gedung apartemen. Tapi sekarang entah ke mana.” Yuki mengedarkan pandangnya keseluruh ruangan. Aku tersenyum geli mengingat sikap David tadi.
“Oh iya, aku Yuki. Sedari tadi aku memperhatikanmu karena aku merasa sering melihatmu, lagipula wajahmu seperti orang Asia. Apakah benar?” “Aku Andi, mungkin kau melihatku di aparteman. Aku dari Indonesia. Kau tahu?” Yuki melipat tangan kirinya dan jemari tangan kanannya mengetuk-ngetuk dagunya, berpikir. “Tidak.” Jawabnya pendek. “Oh, sayang sekali. Kalau kau pasti dari Jepang, ya? Dari namamu sudah jelas.” “Benar. Ternyata kau tahu!” Jelas saja, David yang memberitahuku. “Sudah, ya. Aku harus kembali ke toko. Sampai jumpa.” Yuki hanya menganggukan kepalanya lalu bergegas menuju dapur.
Sesampainya di toko, David sedang duduk termenung menatap ke arah jendela. Begitu aku membuka pintu, David hanya melihatku sekilas lalu kembali menatap jendela. “Kau marah kepadaku?” Tanyaku sambil duduk di hadapannya. “Tidak. Aku hanya sedang merenung. Bagaimana caranya supaya aku bisa mendekatinya.” “Bagaimana kalau nanti malam kau menunggu di dekat apartemennya?” Tiba-tiba saja terlintas ide itu di kepalaku. Dia menatapku. Berpikir. Lalu menghembuskan napas beratnya dan menjatuhkan kepalanya di atas meja.
“Aku tidak yakin itu akan berhasil.” “Kurasa dia menyukai bunga. Mengapa kau tidak memberinya bunga?” “Dari mana kau tahu?” Tanyanya melirikku curiga. “Apakah kau tidak mendengar? KURASA! Sebenarnya tadi setelah kau pergi, Yuki menghampiriku. Dia menanyakan di mana aku bekerja. Saat aku mengatakan aku bekerja di toko bunga, matanya langsung berbinar!” Ups! Sepertinya aku menceritakan hal yang salah. Mata David langsung melotot kepadaku. “Jadi… Kau berbincang-bincang dengannya?” “Tidak. Dia hanya menanyakan itu. Karena setelah itu aku langsung pergi.” “Baguslah. Jangan sampai kalian bercerita banyak hal. Tapi aku tidak setuju dengan analisamu. Bukankah hampir semua wanita menyukai bunga?” “Tapi dia berbeda. Aku yakin wanita lain menyukai bunga yang diberikan oleh kekasihnya. Jadi mereka menyukai ‘pemberianya’ bukan ‘bendanya’. Tapi, aku melihat matanya berbinar-binar. Dia kan juga sering ke sini. Itu bisa jadi bukti!”
“Tapi kira-kira bunga apa yang cocok?” “Memangnya biasanya dia membeli bunga apa?” Tampak sejenak dia berpikir. “Banyak, dia selalu membeli bunga yang berbeda setiap harinya. Tapi bunga apa cocok? Mawar?” “Jika menurutmu itu bagus dan memiliki makna yang… Emm… Kau pasti tahu maksudku.” Aku tak bisa menyebunyikan tawa geliku.
“Tapi mawar itu terlalu biasa.” Tampak dahinya berkerut. Lalu dia berseru, “aku tahu! Andi, kau mau membantuku kan?” “Memangnya membantu apa?” “Tolong tanyakan kepadanya apa bunga yang paling disukainya.” “Tapi, bagaimana?” “Setahuku dia sering ke taman. Nanti sore, pergilah kesana!” “Taman di dekat apartemen itu?” “Iya. Bantu aku ya!” Terpaksa kuturuti keinginanya. Meski dalam hati aku enggan mengikuti permainan yang menurutku seperti anak kecil ini.
Di sinilah aku sekarang. Melangkah ragu menuju taman yang tidak terlalu jauh dengan gedung apartemen. Sekarang matahari sudah hampir tenggelam, aku tidak yakin jika Yuki masih ada di sana. Dan suasana di taman memang sudah sepi, hanya tampak beberapa petugas kebersihan dan seorang gadis di ayunan, tunggu! Itu bukannya Yuki?
“Yuki?” Gadis itu menoleh, dan memang itu Yuki. “Hey, Andi. Wah kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?” “Kenapa kau ada di taman di sore hari? Ini musim gugur lho, udaranya dingin.” “Aku tidak ada waktu di siang hari, Andi. Lagipula aku suka dingin,” “Oh, ya? Memangnya di siang hari waktumu untuk apa?” “Aku kuliah di pagi hari, lalu siangnya aku kerja paruh waktu di kedai yang kau datangi tadi.” “Kau kuliah?” “Ya, semester akhir.” “Wah, kau hebat, ya. Bisa membagi waktu seperti itu. Jika aku pasti tidak bisa.” “Lalu, kenapa kau berada di sini jika hanya untuk bekerja di toko bunga?” “Aku dulu juga kuliah. Tapi aku ingin jika pulang nanti aku harus bisa membawa ‘sesuatu’ yang bisa membuat keluargaku bangga. Aku tidak ingin dicap sebagai anak yang hanya bisa menghabiskan uang orangtua. Jadi aku memutuskan untuk mencari uang dulu sebelum pulang.” “Senangnya menjadi dirimu.” Tampak wajahnya berubah murung. Apakah aku salah mengucapkan kata?
“Kau kenapa? Kenapa terlihat sedih?” “Tidak apa-apa…” Meski dia mengatakan itu, aku yakin suasana hatinya sedang sedih. Tatapannya lurus mengarah pada bunga mawar yang ada di pangkuannya. “Kau suka mawar?” “Sebenarnya aku suka semua bunga. Tapi bunga yang benar-benar bisa membuatku tenang hanyalah bunga sakura. Sayang, aku tidak bisa menemukannya di sini.” “Sakura?” “Ya. Sakura adalah bunga yang istimewa. Sakura bisa membuat ribuan perasaan tumbuh di hati manusia. Rasa senang, bahagia, rindu, bahkan juga sedih.” “Kenapa bisa mendatangkan sedih jika mendatangkan bahagia?” “Mekarnya sakura selalu dinanti. Begitu musim semi datang, maka sakura akan menghiasi seluruh kota. Seluruh warga berbondong-bondong menuju taman untuk melakukan hanami, yaitu makan-makan di bawah pohon sakura. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Karena mekarnya sakura hanya seminggu lamanya. Maka setelah itu sakura berguguran dan menimbulkan kesedihan.”
“Jadi bisa dibilang sakura itu rapuh?” “Ya, tapi menurutku tidak ada bunga yang setegar sakura. Kau pasti bingung kenapa aku mengatakan bunga sakura itu tegar. Seperti yang tadi kukatakan. Sakura hanya mekar selama seminggu. Tapi dia tetap bersemangat untuk menunggu hingga tahun depan demi membuat bahagia orang-orang yang menantinya. Ini mengajarkan kita, bunga sakura yang masa hidupnya hanya seminggu saja mampu membuat orang lain bahagia. Bunga sakura selalu dinanti kehadirannya, dan begitu mekar, dia tidak mengecewakan. Lalu kita sebagai manusia yang hidup bertahun-tahun sudah melakukan apa? Sudahkah kita membahagiakan orang-orang di sekitar kita? Dulu saat kita terlahir di dunia, banyak orang yang bahagia. Tapi pasti kita pernah mengecewakan mereka. Kuharap kau tahu maksudku.” Kalimat-kalimat yang diucapkannya mengalir deras bagai hujan yang turun dari langit. Aku merasa seperti anak kecil yang sedang diberi nasihat oleh ibunya. Kurasa dia lebih dewasa dibanding diriku. Kami hanya terdiam sambil memandangi gedung-gedung di kota New York ini.
“Ayo kita pulang,” ajakku, yang langsung diikutinya.
Dalam perjalanan pulang kami juga hanya terdiam. Begitu sampai di depan apartemennya, barulah ada suara yang keluar dari mulutnya. “Titip salam untuk temanmu, ya.” “Ya, akan kusampaikan.”
—
“Jadi dia suka bunga sakura?” Tanya David yang berdiri bersandar pada jendela sambil memandangi lalu lintas di bawah sana. “Ya.” “Besok kita cari bunga itu!” Serunya bersemangat. “Tapi itu tidak mungkin.” “Kenapa tidak? Aku sudah mengumpulkan bunga yang ‘katanya’ susah di dapatkan. Tak masalah bagiku untuk mencarinya demi dia.” “Bunga itu mekar di musim semi dan hanya mekar selama seminggu. Lalu gugur…” Aku membuka kepalan tanganku yang berisi sobekan kertas. Alhasil sobekan itu berterbangan. Menyisakan ilusi jika itu adalah sakura. “Jangan membuat sampah!” Katanya seraya memelototkan matanya, lalu kembali menatap keluar. “Menurutmu aku harus bagaimana?” “Menurutku kau tidak harus memberinya bunga sakura. Kau cukup memberinya bunga lain. Selain mawar tentunya. Bagaimana kalau gardenia? Gardenia memiliki makna kecantikan, kemurinan, dan cinta. Warnanya yang putih juga tidak terlalu mencolok.” “Terimakasih, Andi. Sekarang aku harus ke apartemennya. Maksudku kita!” Kita? Apa maksudnya? Sebelum aku bertanya, David sudah menarikku dan menyambar setangkai gardenia yang ternyata sudah rapi dan tergeletak di meja. Kapan dia menyiapkankanya?
“Apa yang terjadi, Yuki? Kenapa kau menangis?” Aku dan David panik begitu melihat perubahan Yuki yang sangat drastis. Tadi dia menyambut kami dengan ceria, namun saat David memberikan bunga itu kepada Yuki, dia langung menangis. “Apakah kau mencintaiku, David?” Tanya Yuki membuat David terkejut. “Em… I, iya, Yuki.” David menunduk seperti anak kecil yang telah melakukan kesalahan. “Gomen, David. Gomen,” kata Yuki dengan tertunduk. “Gomen?” Tanya David bingung. “Gomen, maaf.” “Oh, maaf. Tapi untuk apa? Apakah kau belum bisa menerimaku? Tidak apa. Untuk saat ini, kau pikirkanlah dulu. Mungkin suatu saat nanti aku bisa…” “Tidak, David. Aku sudah memutuskan untuk tidak mencintai dan dicintai oleh siapapun di dunia ini. Aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi.”
Barulah aku tahu, jika Yuki dulu mempunyai kekasih yang katanya mirip denganku. Kewarganegaraanya pun sama denganku, orang Indonesia. Yang tidak sama adalah dia sudah meninggal dan aku masih hidup. Dia tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Dan juga keluarganya meninggal dalam insiden kebakaran. Sekarang dia hanya bersama bibinya -pemilik kedai itu- yang dengan tulus menjaganya. Sebuah kisah pilu di balik senyuman manisnya. Yuki, si sakura terakhir yang tinggal menunggu hembusan angin untuk melepaskannya dari ranting dan membawanya kepada orang-orang yang dicintainya.
Cerpen Karangan: Eka Lestari Facebook: Eka Lestari Eka Lestari, penulis yang masih pemula dan pastinya banyak kekurangan. Kritik dan saran ditunggu ^_^ bisa dihubungi di FB Ekles Lestari / Eka Lestari