Kuperhatikan satu per satu orang yang berlalu lalang di hadapanku. Beragam ekspresi terpancar di wajah mereka. Ada ekspresi sedih, senang dan juga rindu -seperti yang aku alami sekarang-.
“Ra, ayo pulang.” Suara Luna mengejutkanku. “Aku tidak ingin pulang. Aku akan menunggu sampai dia datang.” Aku bersikeras tetap duduk di sini. Di Bandara Soekarno-Hatta, untuk menunggu Danu pulang, yang pergi sejak dua bulan yang lalu, padahal dia mengatakan pergi hanya satu setengah bulan.
“Tapi… untuk apa, Ra? Danu tidak akan kembali.” “Dengar, Luna! Meskipun dia sudah pergi tapi dia masih tetap milikku! Jangan pernah katakan itu lagi!” Aku pergi meninggalkannya dan mencari tempat yang sepi tanpa ada yang mengganggu. Aku yakin Danu akan datang kembali dengan pesawat yang dia tumpangi saat pergi.
“Danu, kamu harus kembali! Harus, kamu jangan terbuai oleh bidadari di sana. Ingat janjimu, kamu akan tetap menjadi milikku kan? Kamu harus setia, aku juga akan selalu setia di sini. Apakah kamu tega meninggalkanku di sini? Jika kamu tidak kembali, maka biarlah aku yang menyusulmu ke sana,” aku berkata seperti orang gila, menatap foto Danu yang kini ada di tangannku dengan air mata yang mengalir.
Kulihat pesawat yang lepas landas dan mengudara, anganku seperti terbang bersamanya. Wahai pesawat, sampaikanlah salam rinduku kepadanya, bisikanlah pada Danu jika aku merindukannya!
Flasback “Seperti hati manusia ya?” Tanya Danu sambil menatap lurus ke langit. Kuikuti arah pandangannya, apanya yang seperti hati manusia? Yang terlihat hanyalah langit yang biru dengan garis putih jejak pesawat. “Langit itu seperti hati kita, Ra. Awalnya biru bersih, tak ada awan sedikitpun, dan di sana ada cahaya yang terang. Lalu pesawat itu menggoreskan sebuah garis putih. Atau mungkin akan ada awan yang menutupi cahaya itu sehingga datanglah kegelapan.” Aku tertawa mendengar kata-katanya, imajinasinya memang tinggi.
“Kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?” “Tidak. Hanya saja aku berpikir, jika pesawat itu menggoreskan rasa cinta, maka cinta itu akan panjaaaaang sekali. Lama-lama perasaan itu akan meluas lalu hilang secara perlahan.”
“Tapi cintaku ke kamu tidak akan menghilang kok, Ra,” sambungnya membuatku hampir tersedak, Danu memang pandai merayu. “Haha… Lucu sekali…” Aku memukul pelan lengannya. “Huh dasar kamu, Ra! Tapi ingat kata-kataku, aku tidak akan pergi meninggalkanmu. Aku tidak akan membiarkanmu kesepian. Aku tidak ingin seperti pesawat, hanya bisa meninggalkan jejak kenangan. Kalaupun aku pergi, aku akan selalu setia kepadamu,” katanya yakin. “Rasa percaya dirimu itu lho, terlalu tinggi tahu! Memangnya siapa yang akan merasa kesepian jika ditinggal pergi oleh dirimu?” Meski kata-kata itu yang keluar dari mulutku, namun dalam hati aku mengamini apa yang diucapkan Danu. Bagaimanapun juga kami saling menyayangi.
Dan sekarang Danu pergi, apakah dia masih ingat dengan janjinya dulu? Apakah dia akan setia? Apakah dia akan membawaku pergi bersamanya?
“Dara, ayo pulang. Sudah malam. Lupakanlah Danu.” Tanpa kusadari Luna sudah ada di sampingku, bagaimana dia bisa menemukanku? “Tapi, Lun. Aku ingin menunggunya pulang, kalau tidak aku akan pergi ke tempatnya berada saat ini.”
“Dara! Kamu harus mengerti. Danu tidak akan kembali.” “Kenapa dia tidak kembali? Bukankah di sini ada aku? Dia sudah berjanji akan selalu bersamaku. Dia tidak boleh mengikari janjinya.” “Terserah kamu mau apa, Ra. Aku sudah lelah mengikuti langkah kakimu. Cobalah kamu jernihkan otakmu itu. Kamu berpikir terlalu pendek.” Luna berjalan meninggalkanku. Ya, Luna memang benar, Danu tidak akan kembali.
“Luna! Tunggu aku!” Aku berlari mengejarnya, dia memperlambat langkahnya dan membiarkanku mensejajarinya. “Bagaiamana?” “Ya memang Danu tidak akan kembali. Tuhan sudah membawanya ke tempat yang lebih indah. Danu sudah ada di alam keabadian. Meski dia menyayangiku, tapi dia tidak akan mungkin melawan takdir Tuhan. Tapi kumohon, biarkan aku menunggunya sampai jenazahnya tiba.” Luna memelukku dengan air mata bercucuran. Aneh, aku bahkan lebih tegar darinya. Mungkin karena melihat nasibku yang menyedihkan ini jadi dia menangis.
“Pemirsa, saat ini saya tengah berada di Bandara Soekarno-Hatta. Mengenai kecelakaan pesawat dua minggu yang lalu, pihak maskapai maupun pihak bandara belum mengklarifikasi jumlah korban. Sampai detik ini, jumlah korban yang ditemukan baru satu orang, yang diketahui bernama Danu Aditya Dirgantara, 22 tahun yang saat ini sedang diterbangkan kemari. Sekarang pencarian…” Itulah yang kudengar dari siaran berita di televisi.
“Kamu beruntung, Ra. Mungkin karena kekuatan cinta kalian Danu bisa ditemukan lebih dulu. Danu masih ingin menemuinmu.” “Ya, mungkin Danu masih teringat dengan janjinya. Danu, tunggulah aku di alam sana. Aku akan menyusulmu.” Sebuah tamparan ringan mendarat di pipiku. “Kamu ngomong apa sih? Masa depanmu kan masih panjang. Jangan berbicara seperti itu ah.”
“Apaan sih, bukankah semua manusia pasti akan mati?” “Iya sih. Tapi jangan sampai kamu mati konyol gara-gara frustasi.” “Apakah menurutmu aku akan bunuh diri? Aku tidak selemah itu! Tapi aku tidak yakin bisa membuka hatiku untuk orang lain. Aku akan berusaha setia kepada Danu.” Ya mungkin untuk saat ini, entah nanti ada seseorang yang bisa mengisi lubang di hati ini. Biarlah nanti Tuhan yang kan menentukan.
Cerpen Karangan: Eka Lestari Facebook: Eka Lestari Eka Lestari, penulis yang masih pemula dan pastinya banyak kekurangan. Kritik dan saran ditunggu ^_^ bisa dihubungi di FB Ekles Lestari / Eka Lestari