– Jika kau adalah semu. mengapa kau terasa begitu nyata –
Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Tanganku pun terasa kaku dan hanya bertaut gelisah satu sama lain. Keringat dingin juga mengalir perlahan. Sebenarnya, ruangan ini ber-AC. Namun mungkin karena aku gugup, hal ini bisa saja terjadi.
Hari ini, adalah hari pertama perban mataku dibuka setelah seminggu lalu aku operasi cangkok kornea mata. Wajar, jika aku deg degan. Namun, ada rasa yang lebih besar dari rasa gugupku. Bahagia, aku akan segera melihat kembali dunia dan orang-orang yang ada di sampingku selama aku buta. Termasuk dia.
Alunan gitar dan suara merdu itu, selalu ada mengawali pagiku. Wahyu, laki-laki yang aku lupa bagaimana kami bisa bertemu. Sepertinya, ketika aku akan berangkat dari Bogor ke Jakarta menggunakan bus. Tiba-tiba dia datang tanpa merasa ragu menyapaku. Kemudian dengan akrab berbincang dengan Ibuku. Setelah itu aku tidak tau bagaimana caranya, ia benar-benar menjadi bagian dalam hidupku. Warna dalam kegelapanku. Serta mata untuk duniaku.
Wahyu adalah orang kedua setelah Dini -sahabatku- yang selalu sabar menemani ke mana pun aku pergi. Itu berlangsung hampir setahun ini. Dan dia adalah alasan, mengapa aku ingin melihat. Yaa, aku selalu membayangkan wajahnya dalam pandangan gelapku. Aku selalu membayangkan senyum manisnya itu dalam benakku. Dan aku ingin merealisasikan itu semua.
“Yu, kata Mama ada taman baru deket komplek, bawa gue ke sana yok.” “Boleh, pake sepeda aja gimana? Tenang, gue bonceng lu dengan aman kok.” Aku tersenyum. “Gue percaya sama lo kok, Yu.” Wahyu memboncengku menggunakan sepeda yang aku bingung ia dapatkan di mana. Ia selalu mendapatkannya secara instan.
Sore itu, aku benar-benar merasakan angin yang memasuki sela-sela rambutku. Menerpa lembut wajahku, dan rasanya beda. Mungkin sore ini sedikit mendung, karena aku tidak merasakan sengatan matahari barang sedikit.
Sesampainya di taman, Wahyu menuntunku, kemudian bercerita tentang apa yang ada di sekitar sana. Aku tersenyum mendengar penuturannya. Dan untuk kesekian kalinya, aku benar-benar ingin mataku kembali.
“Wahyu…” “Yaa” “Kamu tau alasan aku dari dulu nggak pernah mau untuk operasi sekali pun ada orang yang ikhlas donorin kornea matanya buat aku?” “Tau. Kamu takut. Dan kamu merasa benci terhadap dunia, karena pernah merenggut apa yang kamu punya.”
Aku terdiam. Seketika gambaran sebuah kecelakaan masa lalu terputar begitu saja di kepalaku. Kecelakaan kecil yang telah merusak kornea mataku. Ketakutan itu yang buat aku sampai sekarang enggan menerima donoran kornea mata dari orang lain yang ingin membantu untuk dapat melihat kembali.
Aku menarik nafasku, kemudian menghembuskannya begitu saja. Apa yang dikatakan Wahyu benar. Trauma. Tapi, Wahyu adalah alasanku untuk berani. Wahyu adalah alasan terbesarku untuk dapat melihat kembali. Dunia yang selalu ia ceritakan begitu indah, serta gambaran wajahnya yang selalu membuatku ingin merealisasikannya.
Aku ingin melihat wajah seseorang yang entah mengapa hadir menemaniku selama setahun ini. Ia datang begitu saja, seolah aku berimaji datangnya seseorang di tengah kegelapan yang mengurungku.
“Sekarang, aku mau melakukan pendonoran itu, Yu. Aku ingin melihat seseorang yang kini selalu ada di sampingku, dan menyampaikan apa yang selalu ia lihat untukku. Menjadi mata dari kegelapanku.” “Benarkah? Apa orangtuamu sudah menemukan pendonor itu?” Aku menggeleng. “Tapi aku yakin, akan ada seseorang yang datang untuk memberikan kornea matanya untukku.” “Kamu harus jadi orang pertama yang aku lihat, ketika mataku kembali nanti.” Ujarku dengan begitu bahagia.
—
“Buka matamu perlahan, Dara.”
Perlahan aku membuka kelopak mataku. Pertama kulihat wajah orang-orang di hadapanku sedikit kabur, perlahan namun pasti seiring kerjapan mataku, semua terlihat jelas. Ada Ayah, Ibu, kedua kakak laki-lakiku, dan… Hei, di mana Wahyu. Tidak kulihat ada laki-laki seusiaku yang ada di hadapanku kini.
“Bu, Wahyu mana?” Ibuku tak menjawab. Ia hanya mengedarkan pandangannya pada Ayah kemudian kedua kakak laki-lakiku bergantian.
“Siapa Wahyu, nak?” “Wahyu, yang selama ini ke rumah, jemput aku, ajak aku main, bawa aku keluar.” “Selama ini yang mengajakmu bermain adalah kedua Abangmu, Dara. Tidak ada orang lain.” Ujar Ayah. “Bohong! Ayah pasti bohong! Pasti Wahyu nggak datang pas operasi aku kan? Kak Danang telepon dia, kak. Ayyoo!” Aku sedikit histeris. Mataku mulai berkaca.
“Dara, selama ini Wahyu itu nggak ada. Kakak tau kamu selalu memanggil nama Wahyu selama kita jalan. Tapi, sebenarnya Wahyu itu nggak ada, Dar. Itu hanya imajinasi kamu.” “Bohong! Kalian semua bohong. Aku yakin Wahyu itu ada. Wahyu itu bukan hanya imajinasiku, dia benar-benar ada!” Aku menangis histeris ketika itu. Rasa tak percaya akan apa yang dikatakan keluargaku besar memenuhi otak dan hatiku. Jika memang dia itu hanya imanjinasiku, kenapa bayangan itu terasa nyata? Tawa itu terasa hangat, dan sayang itu benar-benar ada?
—
Laki-laki itu menangis di balik tirai putih yang mengelilinginya. Suara itu, tangis kecewa itu, benar-benar menyayat hatinya.
Sesal. Ya, kenapa ia harus menyembunyikan dirinya dari gadis yang selama ini ia sukai. Dari gadis yang ia temui di bus setahun yang lalu. Gadis yang selalu mendengar oceh-ocehannya, gadis yang selalu menunggu kehadirannya, dan gadis yang ia sukai selama setahun ini.
Wahyu ikhlas memberikan matanya saat sang pendonor yang Dara tunggu tak kunjung tiba. Wahyu ikhlas jika dengan ini justru ia harus menjauh dari Dara. Karena ia tau apa yang akan ia terima ketika Dara tau, bahwa pendonor kornea untuk dirinya adalah Wahyu. Orang yang amat sangat ia ingin lihat. Dara pasti marah besar. Maka skenario manis namun menyakitkan itu terpaksa ia jalani demi Dara.
– Jika aku adalah mata untuk dunia gelapmu. Maka izinkan aku menjadi rasa bahagia dalam terangmu. –
Cerpen Karangan: Ayu Tanjung Blog: disiniadafiksi.blogspot.com Namaku Ayu Novita Hasan. Seorang gadis berkacamata yang mencintai fiksi dan hobby menulis. Ini tulisan pertamaku di cerpenmu. Biasanya aku menulis di blog atau di wattpad (@ayutanjung_). Terimakasih telah membaca 🙂