SALWA memperlihatkan riak wajah buram saat pertama kali menginjak kaki di lembaga pendidikan pesantren Budi di bawah kaki gunung Geurutee Lamno, kabupaten Aceh Jaya. Ia memang gadis anggun yang antusias mempelajari agama sejak usia enam tahun. Menjadi sosok wanita muslimah berpengatahuan agama sudah menjadi mimpinya. Namun gadis lugu berkulit cerah itu dikenal sebagai wanita manja yang tidak pernah hidup berjauhan dengan orangtua. Sejak dilahirkan sampai berusia empat belas tahun Salwa tiada hari tanpa melihat wajah sang bunda dan ayahnya. Tapi hari ini ia seakan kehilangan orangtua yang selalu memberikan segenap perhatian padanya.
“Salwa, jangan bersedih nak, engkau di pesantren ini akan mengenal agama dan justru lebih dekat dengan bunda dan ayah lewat agama”, ucap bunda Salwa memotivasi anak gadis semata wayang sembari menyeka air mata yang membasahi pipi gadis bermata bening itu.
Dalam diam Salwa menganggu-nganguk kepala. Seakan ia mengisyaratkan akan tetap tegar bertahan di taman syurga pesantren Budi. Orangtua Salwa pun kembali ke kediamannya di Meuredu kabupaten Pidie Jaya. Walau berat Salwa tetap akan menjalani hari-harinya tanpa orang tua. Ia akan tekun mengkaji agama sebagaimana pesan bunda.
Gadis berpostur semampai itu sangat rajin mengulang pelajaran. Hidupanya kini telah disibukkan dengan belajar dan mendekatkan diri pada Rabb. Meski sudah setahun Salwa mondok, ia belum bisa hidup tanpa bunda. Suara dan wajah bundanya selalu melintas di benaknya. Namun ia berusaha menahan gelora rindu yang membara ingin berjumpa orangtua. Koleganya tak pernah henti menuntun Salwa agar semangat hidup walau tiada seatap dengan orangtua.
Disela-sela kebosanan hidup jauh dari orangtua, muncul sosok pemuda berdarah biru keturunan Portugis yang sudah lama bermukim di Aceh Jaya sejak portugis melebarkan sayap-sayap perdagangannya di tanah rencong.
Ustadz Fata, begitu orang memanggilnya. Fata memang sosok guru pengajian yang sangat dekat dengan pimpinan pesantren dan dipercayai mengomandoi manajemen pesantren ketika Abu tiada di kediaman.
Kini Salwa gadis asal Pidie Jaya menjadi murid andalan Fata. Ia kerap memenangkan perlombaan dan selalu monoreh prestasi unggul. Salwa seperti menaruh rasa pada Fata yang selalu membimbingnya siang malam. Kehadiran Fata bak obat penawar rindu Salwa pada orangtua. Salwa seakan mendapatkan energi baru untuk betah berlama-lamaan di pesantren. Saraf-sarafnya yang malas seperti kesetrum semangat jihad. Tidak pernah Salwa absen menghadiri pengajian selama Fata menjadi guru kelasnya.
Fata ustadz yang paling dikagumi banyak santriwati. Tidak ada wanita yang tiada ingin menjadi pendamping Fata bila melihatnya. Wajahnya yang adem seakan menambah rambu-rambu cinta Salwa pada Fata. Tetapi cinta suci ini disimpan dalam-dalam olehnya. Ia sadar, tidak sepantasnya wanita menyampaikan rasa pada lelaki sekaliber Fata. Tanpa ia sadari, ternyata Fata sudah memesan pada pimpinan agar menjadi guru kelas Salwa. Fata ingin menengenal Salwa lebih dekat lewat pengajian yang dibimbingnya.
Kini Fata sudah memperlihatkan rasa cintanya pada Salwa yang telah berusia dua puluh empat tahun. Usia yang sudah matang untuk dinikahi. Melalui pimpinan pesantren Fata menyampaikan keinginannya untuk meng-khitbah Salwa. Abu merasa bahagia, murid emasnya akan mempersunting muridnya pula yang perempuan. Tanpa berfikir panjang Abu menyampaikan niat Fata.
Pagi itu cahaya mentari meredup. Salwa yang sedang membersihkan asrama diminta menghadap Abu. Gadis yang sudah enam tahun mondok itu tersipu malu di hadapan guru besarnya. Sang guru yang didampingi isterinya berkata “Ustadz Fata hendak meng-khitbahmu dalam waktu dekat”.
Salwa terdiam lesu. Dalam hatinya seakan berbunga-bunga mendengar berita yang menggemparkan hati. Dalam diamnya Salwa teringat do’a yang selalu dimohon agar Allah menjadikan Fata sebagai imamnya.
“Engkau tidak perlu menjawabnya sekarang, sampaikan niat pemuda itu pada orangtuamu”, pesan Abu pada Salwa.
Ia kembali ke kamar dengan membawa perasaaan bahagia. Belum pernah Salwa merasakan indahnya dunia seperti saat ini. Dengan hati gembira Salwa menghubungi orangtua. Bunda dan abah Salwa ternyata sudah lama menanti anak gadisnya berbicara tentang sosok lelaki misterius yang akan mendampinginya. Ketulusan cinta dua insan itu segera dipadukan.
Salwa kembali ke kampung halaman di Pidie Jaya. Ia akan mempersiapkan hari peminangannya yang sudah disepakati oleh kedua keluarga yang saling berjauhan. Esok hari rombongan keluarga Fata akan datang dari Aceh Jaya ke Pidie Jaya. Orang-orang terlihat sibuk mempersiapkan resepsi peminangan Salwa dengan Fata. Malam penantian tiba. Fata telah berjanji akan menuniakan tahajud bersamaan walau ditempat berbeda dan jauh. Fata mengirim pesan “Salwa, mari kita tahajud dan mendo’akan agar Allah meridhai hubungan kita sampai akhir hayat”.
Salwa merasa terharu. Sungguh inilah harapan yang didambakannya sejak mengenal Fata. Mereka menunaikan tahajud yang diselip untaian do’a di penghujung malam. Fata kembali mengirim pesan;
“Salwa, pagi ini rombongan dari Aceh Jaya akan menuju Pidie Jaya pukul delapan pas. Dengan cinta yang tulus ku meminangmu. Siapkan dirimu duhai gadis pujaanku”.
Salwa berlinang air mata haru membaca isi pesan Fata. Sebentar lagi Salwa akan menjadi permaisuri Fata. Sanak famili Salwa mempersiapkan tempat berlangsunya resepsi pinangan. Segala makanan telah disiapkan untuk menjamu rombongan istimewa.
Mendekati pukul delapan pagi, hari minggu 26 Desember 2004 tiba-tiba bumi berayun kencang. Getaran bumi mulai terasa kuat. Beberapa kali hentakan membuat suasan mulai panik. Seluruh tanah Aceh bergetar dahsyat. Tidak lama kemudia terdengar suara letupan keras tiga kali berturut-turut dari arah laut samudera hindia. Suasana yang tadinya bahagia mulai resah. Orang-orang mulai berlarian meninggalkan rumah. Beberapa banguan mulai roboh dengan getaran gempa maha dahsyat.
Salwa dan keluarga mulai khawatir. Mereka semua berdiri di halaman rumah. Salwa mencoba menghubingi nomor Fata. Panggilan tidak masuk. Ia mencoba menghubungi kembali. Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Aura Salwa mulai masam. Ia khawatir dengan kondisi Fata dan keluarga. Salwa mencoba telpon bundanya Fata. Nomornya tidak aktif. Salwa meminta abahnya untuk menghungi abah Fata. Nomornya terdengar masuk, tetapi panggilan tidak di jawab.
Keluarga yang menanti rombongan pinangan mulai resah. Di Aceh Jaya keluarga Fata telah kocar kacir. Mereka berlarian meninggalkan rumah menuju perbukitan. Air laut bercampur lumpur hitam menghantam rumah-rumah warga. Fata dan bundanya telah telah hilang ditelan gelombang tsunami dengan segenap rombangan lainnya yang tidak sempat menyelamatkan diri. Lampu semua padam dalam sekejab, jaringan telpon mulai terganggu. Abah Fata mencoba mengirim pesan pada ayahnya Salwa.
Handphone berdering tanda pesan masuk. Ayah Salwa membuka pesan yang sudah lama menanti kabar rombongan. Mereka membaca sama-sama pesan itu “Assalamu’alaikum, kami di Aceh Jaya dilenda gempa dan tsunami. Fata dan bundanya telah menghembus nafas terakhir di telan badai tsunami”.
Mengetahui kabar itu hati Salwa bergetar dahsyat melebihi dahsyatnya gempa dan tsunami. Hati Salwa bagai dihantam rencong berkat. Mata beningnya mulai mencucurkan gumpalan mutiara. Semuanya merasa syok. Salwa tak kuasa menahan pedihnya berita ini. Dalam sekejap semua keluarga menetaskan air mata. Salwa mulai lesu tidak berdaya, tiba-tiba ia pun jatuh pingsan.
Sejak kejadian itu Salwa patah semangat. Dia sering mengasingkan diri dari keramaian. Waktunya dihabiskan hanya di kamar sederhana untuk mengulang pelajaran lama, membaca qur’an dan berzikir. Sangat jarang ia keluar rumah walau hanya untuk menghembus udara segar. Rekan-rekannya mulai kehilangan sahabat cantik dan shalehah.
Salwa tidak ingin lagi berbicara tentang pria. Niatnya untuk menikah telah dikubur dalam-dalam. Orang tua Salwa mulai khawatir dengan kondisinya yang mulai menghindar dari pria. Usianya kini beranjak 30 tahun. Ayah Salwa mencoba mengenalkannya dengan anak teman kerjanya. Pemuda tampan itu juga pernah mondok empat tahun walau tidak sehebat Fata. Kini pemuda asal Padang itu berdagang di jalan lintas medan banda Aceh tepat di Kabupaten Pidie Jaya.
Setahun terakhir Salwa seolah mendapat secercah cahaya dalam hidupnya. Hadi pria Padang mampu menaklukkan hati Salwa yang sebelas tahun mengeras. Hati Salwa melebur cepat saat mengenal pribadi Hadi. Sosok pemuda bersahaja itu mampu memikat perasaan Salwa. Usaha ayahnya untuk menghidupkan kembali semangat Salwa berbuah hasil. Kedua keluarga saling sepekat untuk meresmikan hubungan Salwa dengan Hadi pekan depan. Benih-benih cinta mulai tumbuh subur di relung hati kedua insan yang sedang dimadu asmara. Rencananya persepsi pesta pernikahan diadakan tanggal delapan desember 2016 setelah seminggu akad nikah terucapkan. Ribuan undangan telah dibagikan. Keluarga Salwa yang berjauhan telah tiba di rumah bahagia. Keluarga dan rombongan Hadi dari Padang, Sumatera Barat telah sampai di Pidie Jaya sehari sebelum pesta. Mereka menginap di toko tempat Hadi berjualan. Rombongan itu begitu senang menghirup udara Aceh. Ada yang baru pertama kali mereka menginjak kaki di serambi mekah.
“Aceh sangat indah dan islami”, ucap seorang ibu asal Padang yang ikut rombongan Hadi.
Malam itu seakan berjalan lamban. Hadi dan Salwa serasa tidak sabaran menanti mentari pagi. Pelaminan yang telah didekorasi indah seolah memanggil mereka untuk bersanding memadu kasih. Di seperti tiga malam Hadi mengirim pesan pada Salwa.
“Sayang bangun, kita tunaikan tahajud sama-sama. Nantikan abang besok di pelaminan kita”.
Salwa tersenyum bahagia, pria yang mengirim pesan akan menjadi raja dipelaminannya besok. Keduanya melaksanakan tahajud di tempat berbeda.
Detik-detik ujung tahajud bumi Aceh mulai bergetar. Kabupaten Pidie Jaya terasa berayun kencang. Dalam waktu sekejap beberapa rumah roboh. Lampu mulai padam. Pekat malam makin mengental. Suasana rumah Salwa jadi tak karuan. Ia kembali teringat kisah pilu sebelas tahun silam.
Pagi hari dalam cahaya remang-remang ayah Salwa mendapat telepon. Kabar duka kembali menyelimuti Salwa. Tante Hadi mengabarkan toko tempat Hadi bermalam telah roboh akibat gempa Aceh 8 Desember 2016 yang terjadi menjelang shubuh. Bangunan dua lantai itu rata dengan tanah dan sederatan toko lainnya. Hadi dan tiga kerabatnya tertimbun puing-puing bangunan. Semua rombongan yang bermalan di toko telah menghembus nafas terakhir. Hadi tertimpa kontruksi beton di bagian kepala dan patah tulang. Nyawa tidak sempat tertolong.
Tangisan Salwa pecah. Perasaannya bagai dihantam petir keras. Jiwanya seakan disayat sembilu. Perih duka yang melandanya bagaikan luka disiram garam. Keluarga tidak kuasa membendung luka hati Salwa. Semua kerabat Salwa menguraikan air mata atas insiden ini. Tubuh Salwa mulai kedinginan. Dunia serasa berhenti berputar. Bunda Salwa memeluk tabuh gadis malang itu dengan linangan air mata.
“Bersabarlah sayang, Allah tidak pernah berniat buruk pada hamba-Nya”, ucap bunda merasa iba.
Cerpen Karangan: Abu Teuming Blog: abuteuming1.blogspot.co.id Abu Teuming, nama pena dari Amiruddin. Lahir di Aceh, 12 Juni 1989. Alumni UIN Ar-Raniry