Merenung menatap nanar keadaan di luar sana. Seperti sebuah debu kristal tajam yang siap menggores siapapun yang menyentuhnya. Derai hujan mengguyur. Dalam beberapa menit, jalanan mulai basah. Gadis itu terduduk di depan pintu. Menatap desiran ombak yang indah. Sebuah angin menyapu pelan jilbab yang menyingkap kepalanya.
Matanya mulai berkaca kaca. Air matanya pun terurai begitu saja, membasahi kedua pipinya. Keadaan dimana mulut tak mampu berucap. Keadaan dimana air mata yang akan menjelaskan semuanya. Tak ada bahu seorangpun untuk bersandar. Dia sendirian. Di gelapnya malam dan ditengah guyuran hujan. Hatinya tergores. Memang sedikit, namun terjadi berulang kali hingga membuat goresan yang menganga lebar. Berusaha tetap kuat layaknya baja. Namun, hati tak bisa dibohongi. Sekuat apapun menahannya, hati yang tetap menjadi sasaran.
Kerapuhan menguasai dirinya. Hingga tubuhpun mulai jatuh tergeletak. Tak ada siapapun yang menolongnya. Dia berharap, masih ada seseorang yang peduli ketika hatinya tersakiti. Derai air mata tak bisa dihentikan. Semuanya sudah tumpah. Sebuah bisikan lembut terdengar. Mengucapkan beberapa kata hingga membentuk sebuah kalimat. “Bangunlah, kau tak selemah itu. Kau kuat, kau harusnya tetap tegar. Bukan seperti ini,”. Kepala gadis itu terangkat. Menatap nanar sosok yang ada di depannya. Sesaat, tangannya tergerak. Menghapus bening bening air mata. Sebuah senyuman pun terukir. Lengan hangat itu merengkuhnya. Mendekap tubuhnya yang lemas.
“Tolong jangan menangis lagi. Aku ada di sini untuk kamu. Sebut saja namaku, maka aku akan datang,” Bibir gadis itu bergetar. Tak mampu mengucap sepatah katapun. Air matanya kembali mengalir. Namun, tangan itu dengan lembut mengusapnya.
“Anne, aku ada di sini. Kamu tak perlu menangisi apa yang sudah pergi,” “Tapi, aku tak merelakannya, Dan.” Pelukan lelaki itu perlahan merenggang. Menatap lurus wajah gadis yang sembab karena terlalu lama menangis. “Kamu berpikir dia setia. Dia pikir kamu bodoh. Kamu mau saja dipermainkan lelaki seperti dia. Sadarlah, An. Banyak orang yang masih sayang padamu.” Tangan lelaki itu mengusap kepala Anne. Lalu, perlahan pergi meninggalkannya. Sesaat, ia menoleh. Melemparkan senyumnya. Anne hanya menatap punggung Daniel dari kejauhan.
Hari semakin malam. Dan malam datang menjemput sepi. Tak ada bintang yang tertampak di langit. Awan mendung menutupinya. Angin kembali berhembus, menggerakkan jilbab Anne. Hanya ada kesunyian dan kesendiriannya. Daniel kembali, menatap wajah Anne yang sangat pucat. Anne menatapnya balik. Tersenyum. Sebuah tarikan nafas berat terdengar. Dalam hitungan detik, Anne jatuh tak sadarkan diri.
Malam itu, Anne dilarikan ke rumah sakit. Anne didiagnosis kanker darah. Dan sudah mencapai stadium akhir. “Anne, kenapa kamu malah seperti ini?”. Anne tak menjawab. Ia terlalu lemah untuk bicara. Hanya senyuman yang tetap terukir di bibirnya. Wajahnya yang manis tanpa make up, nampak pucat. Badannya juga semakin kurus. “A-a-anne, ada yang mau kamu ucapkan?” Tanya Daniel. Anne mengambil secarik kertas. Menuliskan sesuatu, Aku ingin mendengarmu membacakan surah Yasin untukku. Daniel tersenyum. Ia pergi sejenak mengambil air wudhu. Lalu, kembali lagi dengan Al-Qur’an yang sudah ada ditangannya.
Ketika sampai ayat ke 80, Anne sudah terlelap. “Anne, kamu terlalu lelah. Istirahatlah, aku mau pulang sebentar.” Daniel beranjak, mengelus kepala Anne yang tertutupi jilbab. Lalu, pergi meninggalkannya.
Anne terbangun, ia menuliskan sesuatu di kertas yang dipakainya tadi. Air matanya terurai. Hingga membasahi kertas yang akan ia berikan pada Daniel. Jemarinya terdiam. Pulpen yang dipegangnya pun terhempas ke lantai. Senyumannya kembali terukir, diiringi dengan pejaman mata.
Dokter segera melakukan tindakan medis. Membawa Anne ke ruang ICU. Daniel hanya melihat dari luar. Dokter keluar, memberikan sesuatu kepada Daniel. “Tulisan Anne,” gumamnya.
“Daniel, maaf selama ini aku tak memberitahu jika aku mengidap kanker darah. Aku hanya tak mau membuatmu khawatir. Dan sekarang, aku sudah tahu semuanya. Aku benar benar minta maaf. Jaga dirimu baik baik, jika nanti aku tak bisa bertemu denganmu lagi, sebut namaku dalam setiap doamu. Reynalda Anne”
Daniel meremas surat itu. “Kenapa kamu berbohong padaku?”
Anne masih belum siuman dan kondisinya masih dipantau. Daniel belum boleh masuk menemuinya. Ia tak pernah sekalut itu, tatapannya kosong. Mulutnya tak berhenti melantunkan doa.
Pintu ICU terbuka. Dokter muncul, menghampiri Daniel. Kesedihan begitu jelas di matanya. “Maaf, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi…” Kaki Daniel melemas. Menatap Anne yang terbaring disana. Dia sudah pergi. Pergi selamanya.
Batu nisan dengan ukiran nama Reynalda Anne nampak menghiasi makam Anne. Di atasnya terdapat pohon Akasia yang memayungi makamnya. Daniel bersimpuh, memanjatkan doa. “Anne, andaikan aku mengatakannya lebih cepat, semua ini tak akan terjadi.” Daniel mengelus batu nisan itu dan beranjak meninggalkan makam Anne. Andaikan Anne tahu lebih awal tentang perasaan Daniel. Andaikan Anne tahu bagaimana Daniel memperlakukannya. Maka Daniel tak mungkin merasa sehancur ini.
End
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri Facebook: Rhytmawan Arnold Hola^^ namaku Qoylila Azzahra. Kalian bisa menyapaku Lila. Kalian mau kan berteman denganku? Follow instagramku, @_lilazhra7174. Salam Kenal ^^