Aku termenung di dalam kamarku. Memandang bintang-bintang yang berkelip dengan pandangan kosong. Ya, sudah satu bulan yang lalu aku sudah tidak berhubungan lagi dengan Nayla (mantan pacarku), karena aku memergokinya sedang bersama laki-laki lain di bioskop. Akhirnya aku putus dengan Nayla. Meski penyesalan itu datang menghantuiku berkali-kali.
Siapa yang tidak menyesal telah putus dengan Nayla? Apalagi, Nayla adalah primadona di sekolah. Dia cantik, putih, cerdas, baik pula. Tentu saja, banyak laki-laki yang suka.
Angin malam masuk melalui jendela kamarku yang masih terbuka. Hawa dingin menyergapku. Membuatku menutup jendela rapat-rapat. Aku memperhatikan jam dinding. Sudah pukul 24.30. Lalu aku memutuskan untuk tidur.
Krinnggg… Bel istirahat telah berbunyi. Aku segera merapikan bukuku. “Fan, ke kantin yuk!” Ajakku kepada sahabatku, Fandy. “Eits, bentar ya. Gue mau ke cewek pdkt gue,” jawab Fandy sombong. Benar-benar Fandy banget.
“Tumben punya pdkt,” ledekku. Ia melotot kepadaku. Aku tertawa. “Siapa pdkt lo?” Tanyaku penasaran. Ia menggeleng. “Nggak ah. Nanti lo ngiler lagi.” Aku mendengus. Kemudian aku mengikuti Fandy ke kelas XI IPA 2. Aku jadi ingat sama Nayla, karena dia juga kelas di sini. “Dia nggak ada, Ndra. Langsung cabut, yuk!” Fandy membuyarkan lamunanku. Lalu kami segera menuju kantin.
Pulang sekolah, aku langsung bergegas bersama Fandy. “Ntar, Ndra. Ke kelas XI IPA 2 dulu.” Ajak Fandy. “Fan?” Tanyaku. Saat kami berdua berjalan menuju kelas XI IPA 2. “Iya, Ndra?” “Emang cewek pdkt lo itu kayak apa sih kok mau sama lo?” Candaku. “Huh.. dasar! Gue, kan, keren,” dengusnya. “Dia itu, ya, primadona gitu di sekolah kita.” Kata Fandy bangga. Aku termenung. Kenapa hampir sama dengan Nayla? Dan tak terasa kami sudah berada di depan kelas XI IPA 2. Dan sesuai dugaanku, ternyata cewek yang dimaksud Fandy adalah Nayla. Aku terkejut melihat keberadaan Nayla di hadapanku. Sepertinya, Nayla juga tak kalah terkejut denganku.
Kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Fandy menatapku dan Nayla bergantian. Rupanya Fandy belum tahu bahwa Nayla adalah mantan pacarku, karena aku belum pernah bercerita dengannya. “Hey, Nay!” Sapaku gugup. “Eh.. em, hey, Andra!” Jawab Nayla terbata-bata. “Kalian kenal?” Tanya Fandy heran. “Nggak!” Ucap Nayla tegas. “Gue tahu dari bedge namanya, Fan,” kataku berbohong. “Iya kan, Nay?” “Iya Fandy.” Kata Nayla meyakinkan. Fandy manggut-manggut tanda ia percaya. Aku bernafas lega. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja daripada aku merasakan cemburu. Mungkin, rasa cintaku kepada Nayla masih sama seperti dulu. “Fan, gue pulang dulu ya?” Pamitku. “Eh, jangan, Ndra. Di sini aja, bareng-bareng kita jalan-jalan,” cegah Nayla. Aku menggeleng. “Maaf, Nay. Nggak bisa.” “Ya udah. Hati-hati ya!” “Iya.” Aku berjalan meninggalkan mereka berdua. Pikiranku benar-benar kacau. Aku ingin secepatnya sampai di rumah.
“Andra, malam Minggu kok nggak keluar? Dari tadi nonton tv mulu.” Mamaku bertanya. “Ntar nggak boleh lagi.” Jawabku. Ya, seperti malam minggu yang lalu, aku nggak boleh keluar gara-gara nilai matematikaku jeblok. Itu sangat menyebalkan. “Boleh kok sama Papa. Kamu diizinin.” Aku sangat bahagia dengan perkataan mamaku. Aku mencium pipi mamaku. Lalu segera menyambar jaket dan menaiki sepeda motorku. Aku bergegas menuju ke rumah Fandy.
Sesampainya di rumah Fandy, ternyata dia keluar. Aku segera menuju ke cafe yang tadi ditunjukkan oleh mamanya Fandy.
‘Sampai juga’, batinku. Aku memarkirkan sepedaku dan masuk ke dalam cafe. Aku menemukan Fandy. Tapi aku tetap terpaku di pintu cafe. Aku sangat jelas mendengar suara Fandy, karena ia duduk di tempat duduk yang jaraknya hanya tiga meter dari pintu. Ia tidak sendirian. Melainkan duduk berhadapan dengan Nayla. “Nay, mau nggak jadi pacarku?” Tanya Fandy. Sepertinya Nayla gugup. Dan aku mulai merasakan cemburu. Aku sadar bahwa aku masih cinta dengan Nayla. Bahkan rasa cintaku tidak berubah dari sebulan yang lalu.
Aku hanya termenung menatap pemandangan yang menyayat hatiku. Hingga seseorang menegurku, “mas, jangan di pintu donk!” Tegurnya lumayan keras. Sehingga Nayla dan Fandy ikut menoleh. “Andra!” Teriak Nayla.
Aku segera berlari dan menaiki sepeda motorku. Aku tak kuasa menahan tangis yang telah kubendung sedari tadi. Aku cengeng. Aku memang sangat cengeng. Aku hanya melamun dan pandanganku kosong. Hingga tak kusadari aku menerobos lampu merah dan ada truk melintas. “BRUUKK!!” Aku menghantam truk tersebut. Pandanganku menggelap dan aku tidak sadar.
Aku terbangun dan mengerjapkan mata. Pertama yang kulihat hanyalah ruangan yang putih. Tercium bau obat-obatan yang sangat kubenci. Kepalaku pusing. Aku bisa menebak bahwa aku ada di rumah sakit. “Andra, kamu sudah bangun.” Kata suara yang tak asing di telingaku. Ternyata mamaku. “Ma, kenapa aku ada di sini?” Tanyaku. “Sudahlah, nak. Kamu istirahat saja,” kata papaku. Aku menghela nafas. Rasanya udara di sini semakin berkurang. Susah sekali untuk bernafas. Seperti ada yang menutup hidungku.
“Andra maafin aku!” Kata seseorang yang baru saja datang. Pandanganku samar-samar. Ternyata Nayla dan Fandy. “Iya, Ndra. Gue juga nggak tahu kalau Nayla itu mantan lo. Dan gue juga tahu kalau lo lagi CLBK ke Nayla.”
Aku mengangguk, rasanya berat sekali. “Fan, gue titip Nayla ya? Jagain dia. Jangan sakiti dia. Kamu juga, Nay. Jangan sakiti Fandy.” Kataku lirih. Aku semakin kesulitan bernafas. “Andra.. jangan pergi..” Nayla terisak. Aku menoleh ke arah mama dan papaku yang menangis. “Ma, Pa, maafin Andra. Andra belum bisa bahagiain Mama sama Papa. Aku..aku sa..ya..ng kaa..liannn.” Aku memghembuskan nafas terakhirku.
END
Cerpen Karangan: Ida Febrianty Facebook: Ida Febrianty