Di bawah guratan langit jingga berkuaskan rindu, langkahku tertatih. Berjalan perlahan menuju jembatan yang dipenuhi lilin-lilin. Sungguh, ekor mataku tak kuasa lagi menembus suasana lengang nan tak bernada ini. Seiring angin yang berhembus sayu, kepalaku mendongak. Memandang sendu pada burung-burung camar yang berarak pulang, jauh di ufuk sana. Meninggalkan hikayat suram yang terus bersemayam di lubuk jiwaku. Rindu yang merasuk kalbuku, terasa sesak sekali. Pikiranku melesat jauh, menerawang pada barisan memori masa lampau yang bergurat mesra. Tentang cinta yang luar biasa, tentang belaian yang pernah ia berikan, dan tentang sentuhan jemari lembut, penuh cinta itu. Ah, kuakui semua masih tertata rapi di balik tirai anganku. Lalu, aku pun menutup kedua kelopak mataku. Aku mencoba menggapai sesuatu yang telah pergi dariku. Ya, aku telah kehilangan seseorang yang membuat rindu, mencambuk perih ulu hatiku.
23 Mei 2014 Di sore yang tak begitu cerah, aku hanya duduk diam di bangku taman dekat rumahku, dengan dress berwarna biru tua, serta tas selempangku. Aku suka tempat ini, benar-benar suka. Setiap aku merasakan apa itu “Jenuh”, aku selalu menghabiskan waktuku di sini. Bisa dibilang, ini adalah tempat favoritku karena banyak bunga-bunga cantik yang tumbuh di sini. Selain itu, aku juga menunggu seseorang yang akan menjemputku; Ardha. Dia adalah kekasihku. Kami berpacaran sudah hampir tiga tahun. Dan aku masih ingat betul, saat aku bertemu dengannya untuk yang pertama kali di koridor kelas. Saat itu, Ardha tak sengaja menyenggolku yang sedang menyapu, karena aku menjalani jadwal piket di kelasku. Dan aku langsung jatuh cinta. Hingga suatu hari, Ardha menembakku di acara ulang tahunku yang ke-17. Kata-katanya saat itu, sangatlah sederhana. Namun, entah mengapa terdengar sangat romantis, dan seakan-akan, waktu berhenti begitu saja. Dengan rasa yakin di dada, akhirnya aku pun mengangguk malu-malu dan aku merasa sangat senang! Bahkan saking senangnya, aku lupa bagaimana caranya bersedih. Ah, Ardha. Pria tampan yang selalu mengenakan kaus hitam dengan luaran flanel kotak-kotak biru tua itu, memang mengubah seluruh hidupku yang semula sepi menjadi berwarna. Aku sangat beruntung karena dicintai oleh pria yang baik hati, ramah, dan pengertian itu. Benar-benar beruntung.
Iris mataku, tiba-tiba menangkap sebuah sedan hitam tak jauh dari tempatku berada, yang sudah kutahu pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Ardha. Lalu, sedan itu berhenti di depanku. Aku mengulas senyum. Kemudian Ardha keluar dari mobilnya itu. “Silahkan masuk tuan putri.” Ucapnya dengan gaya yang konyol, dan membuatku agak geli. “Namaku Vanessa! Bukan tuan putri, Ardha. Lebay!” Aku langsung memasuki mobil sambil menahan tawa. Ya, namaku Vanessa Oktafia. Biasa dipanggil dengan Nessa. Kemudian, Ardha memasuki mobil dan menutup pintunya. “Tapi, kamu suka kan?” lanjutnya ketika ia sudah duduk di kursi kemudi —di sampingku. “Dih, kegeeran!” Kemudian, tawaku seketika pecah. “Tuh kan…” goda Ardha sambil menatapku yang sedang tertawa kecil. “Udah deh. Kamu mau ngajak aku, ke mana?” Tanyaku, memulai topik pembicaraan. “Ada deh. Ntar juga kamu tau kok.” “Kebiasaan. Sebel deh!” Aku memasang raut wajah jengkel. “Ih, gemesin deh!” Ucapnya gemas lalu memencet hidungku yang tak terlalu mancung. Jujur, sebenarnya aku kaget dan bercampur senang, menerima perlakuan yang romantisnya itu. “Sakit tau!” Ucapku yang berpura-pura sakit, lalu melepaskan tangan Ardha yang memencet hidungku. “Abis kamu gemesin tau! Aku jadi pengen cium kamu deh!” Ucapnya lalu mendekatkan wajahnya padaku, hingga terlihat hanya beberapa senti saja. “Boleh yak?” lanjutnya. Aku terkesiap, meneguk salivaku. Bersamaan dengan itu, mataku terbuka dengan lebar. Tak usah ditanya aku gugup atau tidak. Yang jelas, jantungku berdegup kencang, bahkan tak dapat diukur percepatannya. “Kamu beneran mau aku cium?” tanyanya padaku yang masih bungkam, bergeming tanpa mengindahkannya. “Kalau diam, berarti kamu mau. Ya udah, tutup mata kamu yak.” ucapnya pelan. Kemudian, bibirnya perlahan-lahan mendekat, dan… “Ar-ardha?” “Iya?” ucapnya. “Kenapa?” lanjutnya. “Kamu serius?” “Iya, aku serius.” Sumpah demi Tuhan! Tubuhku seakan membeku seketika, mendengar perkataannya yang masih terekam jelas di gendang telingaku. Aku terdiam cukup lama sambil menatap iris mata kecoklatannya dengan lekat. Tak lama, ia mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Aku cuma bercanda, sayang.” Dan… Seketika, tawanya meledak. Aku langsung memanyunkan wajahku. Semanyun-manyunnya. “Ya udah, yuk kita jalan!” “Eum!”
Ardha mengenggam erat jemariku dengan lembut. Ia menuntunku yang memakai penutup mata, dengan perlahan dan hati-hati. Aku mengulum senyum. Dalam hati, aku sudah tidak sabar -melihat kejutan yang akan diberikan kekasihku ini.
Di tengah angin sepoi-sepoi yang membuat rambutku menari, langkah kami pun berhenti. Dan kurasakan, Ardha membuka penutup mataku perlahan. Aku mengerjap pelan, dan yang kulihat adalah pemandangan biru yang membentang luas di depanku. Ya, kami sekarang berada di atas jembatan kayu dekat sungai kecil. Ardha memang tahu kalau aku suka dengan tempat yang seperti ini. Suasana damai, dengan nyanyian alamnya yang syahdu di daun telingaku, ditambah dengan nyiur yang melambai. Aku tertegun. Menikmati semilir angin yang datang, meniup sekujur ragaku. Sekarang, aku merasakan ketenangan yang mengalir indah di setiap relung jiwaku. Aku betah. Benar-benar betah.
“Bagaimana? Apa kamu suka?” suara bariton Ardha membuatku membalikkan badan -menatap Ardha dengan seuntai senyum. “Aku suka.” Ucapku. “Benar-benar suka, terimakasih.” lanjutku pelan seraya menatap lurus pada manik indahnya, yang tiada duanya bagiku. “Aku juga suka. Sudah lama aku merindukan suasana yang seperti ini. Aku merasa tenang, seolah tiada satu apa pun beban yang singgah di pikiranku. Apalagi…” Ardha memberi jeda pada kalimatnya. Lalu, menatapku dengan jarak yang dekat. “Dengan seuntai senyum tulusmu, benar-benar membuatku sempurna. Dan aku rasa, aku adalah manusia yang paling bahagia di dunia. Kamu juga telah melesatkan, dan menancapkan panah cinta yang hanya satu, di permukaan hatiku. Aku akan menjaganya dengan utuh, karena kamu adalah pemanah hatiku. Ketahuilah, aku akan berjanji, dan akan mengenggamnya sampai tanah mengubur jasadku nanti.” tuturnya, lalu menggenggam kedua tanganku dengan hangat. Dia berhasil membuat sejuta kupu-kupu anganku naik tinggi ke awan. Memberi tahu pada langit, bahwa Ardha telah mengikat janjinya dengan tali keyakinan yang kuat. Terulas senyum tipis dari semrawut wajah bahagiaku kini. Kuakui, hatiku sudah tenggelam jauh ke dasar samudera asmara.
Hari demi hari yang kulewati bersamanya, terasa kian berwarna saja. Aku dengannya semakin erat, laksana perangko yang tak mau lepas. Senyum manisnya, wajah tampannya, turut menghiasi tabir hatiku, seakan abadi.
Senja-senja yang bergores tinta cinta, membuatku candu akan dirinya seorang. Aku dengannya seperti burung merpati yang bercumbu, tak kenal waktu. Manisnya senyum di bibirnya, bahkan kalah dari manisnya madu. Aku rasa, tiada lagi siang dan malam. Karena hanya akan ada aku dan dia, bagai Rama dan Sinta. Saling melengkapi, menumbuhkan bunga-bunga di tiap sudut hati. Bahagianya tiada dapat ku definisikan dengan cara apa, dan bagaimana. Karena sungguh, aku mencintainya. Bahkan melebihi cinta pada diriku sendiri.
Lihat, aku melangkahkan kakiku riang, menuju rumah sederhana itu. Rumah Ardha. Rumah yang halaman depannya dihiasi dengan berbagai bunga harum, semerbak wangi.
Aku memencet bel, ketika aku telah sampai di depan pintu rumah Ardha. “Ardha…” ucapku seraya terus memencet bel. “Ardha…” ucapku lagi. Namun, aku tak mendengar suara yang biasa menyambutku itu. Ke mana Ardha? Ini aneh. Terakhir aku bertemu dengannya, kemarin sewaktu di sekolah. Dan dia baik-baik saja. Seperti biasa, kami berjalan dan bersenda gurau bersama. Tapi… Hei, ke mana dia sekarang? Apakah dia pergi? Tapi, kalau benar-benar pergi, kenapa ia tidak memberi tahuku? Aku lekas mengambil ponselku di dalam tas selempangku. Lalu, cepat-cepat menghubungi Ardha. Sudah lima kali aku mencoba menghubunginya, dan itu gagal. Aku semakin risau dibuatnya. Dengan cemas, korneaku berhenti tepat di satu titik. Seorang perempuan paruh baya, yang aku ketahui, ia adalah tetangga Ardha. Aku pun menghampirinya dengan tergesa-gesa. Bertanya kepada ibu itu, ke mana sebenarnya Ardha pergi. Namun, ibu itu hanya menjawab dengan gelengan kepala, tanda ia tidak tahu. Oh Tuhan… Ke mana dia? Ardha, jangan membuatku risau seperti ini. Aku takut. Tak siap, bila harus kehilanganmu yang sungguh berarti dalam hidupku. Aku tak kuat harus menahan rasa resah ini terlalu lama. “Apa kamu tiada mengingat janjimu? Apa kamu sudah benar-benar lupa? Hiks.. Hiks.. Kamu tega! Teganya kamu membuat air mataku turun dengan deras! Hiks.. Hiks..”
Sebelah sayapku patah dengan kejam. Aku meringis hebat. Hati kecilku tersentak. Hari-hari yang semula berwarna, sudah menjadi suram nan terasa menua. Menapaki senja-senjaku yang dahulu bertinta mesra, kini sudah tiada. Di jembatan kecil ini, masih terekam jelas kisah romantis itu di kepalaku. Karena aku takkan pernah bisa melupakan saat-saat itu. Saat-saat yang terindah, sepanjang perjalanan hidupku. Aku terpenjara dalam rasa rindu yang terus membelenggu.
Di mana dia? Tak lelah aku menantinya di sini. Jua hatiku yang bersembunyi indah di angan semu itu. Tak lama, aku merasakan rintik-rintik hujan, di permukaan sungai ini. Membuat api lilin-lilin seketika padam. Menciptakan lagu-lagunya yang terdengar menyayat lubuk hatiku, tanpa mengenal ampun. Aku yang masih terpaku, dibasahi hujan yang kian lebat. Aku mengusap rambutku frustasi. Ardha tega mematahkan ranting-ranting harapanku. Benar-benar tega! Hari berganti malam, dan aku masih di timpa oleh rinaian hujan. Hatiku sakit. Air mataku tumpah dengan derasnya, dan bercampur dengan air hujan.
“Ternyata aku salah menilaimu selama ini! Kamu sama! Tiada berbeda dari pria lain! Yang kulihat, yang aku ketahui, kamu meninggalkanku saat aku sedang mencinta! Kamu adalah pria terjahat yang pernah aku kenal! Hiks.. Hiks.. Ya, bahkan kamu lebih dari jahat! Kamu lebih dari tega! ARRGGHHH!!” Aku memekik, mencoba menerobos suasana gelap gulita nan mencekam. Aku meluahkan rasa kekesalan yang menggerogoti dinding hatiku. Aku menyesal! Menyesal telah mengenal dan bahkan mencintainya! Aku rapuh… Hatiku hancur lebur, seakan tak dapat di satukan lagi. Aku rasa… Hidupku pun, tiada gunanya lagi seperti ini.
Dan di tengah hujan yang deras, di tengah kegelapan yang menikam, aku berjalan tertatih. Ingin terjun ke sungai ini, bersama rasa rindu yang kian menyiksa hati. Sungguh, tak kuasa lagi aku menahannya. Hatiku sudah benar-benar lelah menanti, dengan rasa risau yang seolah tiada ujung. Aku memejamkan mata, bersiap untuk menjatuhkan ragaku dan tenggelam dalam sungai yang sedang ditimpa hujan. Kemudian, ragaku pun perlahan jatuh ke depan… Air mataku berderai.
“Jangan Nessa!” aku merasakan seseorang memelukku dari belakang, dengan erat sekali. Sehingga dapat aku rasakan tiap lekuk tubuhnya yang menempel di tubuhku. “Berhentilah! Jangan membuatku berkhayal terus seperti ini, Ardha! Jangan membuatku gila! Aku mohon!” aku berteriak mengalahkan suara hujan. Dingin yang teramat sangat, menyelimuti ragaku. Aku menggigil kedinginan. “Tidak, Nessa! Kamu sedang tidak berkhayal atau pun bermimpi! Ini benar-benar aku, percayalah!” Suara itu… Masih sama di telingaku. Aku terkesiap, lalu membalikkan badan. “Kenapa? Kenapa kamu menghilang hari itu? Kamu tau, bagaimana rasanya diserang rindu selama tiga tahun? Hm? Apa kamu tau bagaimana sakitnya hati aku?!” Air hujan yang mengalir deras, membuat mulutku dialangi hujan lebat. Aku menatap Ardha dengan nanar. Kornea kecoklatannya masih sama, tiada yang berubah. “Aku mengalami koma selama hampir tiga tahun, karena sebuah kecelakaan lalu lintas! Tak usah kamu tanya, karena aku tau, bagaimana rasanya diserang rindu! Aku mengalaminya juga Nessa! Aku mengalaminya juga!” “Lalu, mengapa kamu tidak memberi tahuku langsung, begitu kamu sudah sadar? Hah? MENGAPA?!”
“DUAR!” Langit seakan runtuh, karena petir yang menyambar dengan begitu hebat. “Aku kehilangan ingatanku, Nessa! Kemarin, aku baru pulih, dan dokter mengizinkanku untuk pulang. Sekarang, aku ingin menuntaskan rasa rinduku padamu!” Ardha langsung menarikku ke pelukannya. Tubuh kami sama-sama basah. Aku tersenyum lemah. Entah bagaimana bisa aku begitu yakin dengan penjelasan Ardha. Semua ini diluar kepalaku. Selama ini aku mengira, Ardha meninggalkanku begitu saja. Ternyata tidak! Aku egois. Aku hanya mementingkan egoku, sementara Ardha sedang mengalami koma selama hampir tiga tahun. Dan terlebih lagi, ia kehilangan ingatannya sementara waktu. Namun, aku merasa bahagia dan terharu saat ini. Bagaimana tidak? Penantianku selama ini tidaklah sia-sia. Semua berbuah manis, tatkala Ardha kembali ke pelukanku.
Tiba-tiba, korneaku menangkap sosok malaikat berjubah hitam di ujung sana. Ia memberikan seuntai senyum tulusnya padaku. Aku hanya diam, dengan tatapan kosong. Dan aku merasakan, rohku ditarik dengan sangat lembut dari ujung kaki. Di pelukan Ardha, aku merasakan degup jantungku perlahan-lahan melemah. Kelopak mataku pun perlahan menutup bola mataku. Dan rohku telah keluar dari ragaku sepenuhnya. Aku menerima uluran tangan dari malaikat yang menjemputku.
“Selamat tinggal, pangeran bersayap jingga. Aku menunggumu di keabadian.” Ucap rohku, lalu pergi entah ke mana. “Nessa! Nessa, kamu kenapa, Nessa? NESSA! hiks.. Hiks.. NESSAAAAA!!!”
SELESAI
Cerpen Karangan: Arkhan Ziyad Facebook: Arkhan Ziyad