Dari kejauhan tampak seorang cowok berkacamata sedang duduk sendirian di tepi danau. Tangan kanannya memegang handphone. Sementara kepalanya tak berhenti celingak-celinguk sedari tadi. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang.
Dan benar saja. Tak lama kemudian seorang cewek manis berambut panjang datang menghampirinya. Cewek itu adalah aku.
“Hai, Lutfi!” Sapaku sambil menghempaskan tubuhku di atas rumput. Kini aku duduk di sampingnya. Lutfi tersenyum lalu membalas sapaanku. “Hai juga, Dora!” “Dora dari antartika! Namaku Sarah, tau.” Protesku agak kesal. Lutfi terkekeh. Dia memang selalu memanggilku dengan sebutan “Dora”. Bukan karena apa-apa. Tapi rambutku mirip rambutnya Dora, salah satu tokoh kartun. Rambut sebahu di tambah lagi dengan poni rata.
Oh, ya. Lutfi adalah sahabatku. Sesuai dengan namanya, dia adalah cowok yang lembut, jarang marah, dan selalu tersenyum.
Sore ini aku di ajak Lutfi untuk menemaninya duduk di tepi danau. Entah untuk apa, tapi aku tetap menerima ajakannya. Selama ini aku memang tidak punya waktu untuknya. Aku lebih sibuk menghabiskan waktuku bersama Dion, gebetanku.
“Dora, aku boleh numpang di bahu kamu, nggak?” Tanya Lutfi dengan suara pelan. “Lho, kok pake pertanyaan segala, sih? Langsung aja kali. Nggak usah sungkan-sungkan. Kita kan sahabatan.” Kataku sambil tertawa kecil. Lutfi tersenyum. Kepalanya langsung di sandarkan di bahuku. Aku bisa merasakan desahan nafasnya yang mulai teratur.
“Aku kangen kamu, Ra.” Ucap Lutfi masih dengan suara pelan.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sore ini aku punya janji untuk ketemuan sama Dion. Sepertinya aku harus pergi sekarang.
“Lutfi?” “Iya?” “Aku harus pergi sekarang, deh. Soalnya aku punya janji sama Dion.” Kataku sambil merapikan poniku yang di tiup angin. Tidak lama kemudian kalimat yang paling aku benci itu keluar dari mulut Lutfi.
“Sarah, aku kan udah bilang sama kamu. Dion itu bukan cowok baik-baik. Dia udah punya pacar.” Kata Lutfi dengan lembut. Lembut? Iya. Tapi tidak untuk telingaku. Itu terdengar sangat kasar untukku. “Kenapa, sih kamu jelek-jelekin Dion di depanku? Kamu nggak suka aku dekat sama Dion? Ya udah kalo nggak suka. Jauhin aku! Jangan pernah hubungin aku lagi.” Ucapku setengah berteriak. Dengan perasaan kesal aku langsung meninggalkan Lutfi. Mendadak aku sangat membencinya. Sejak aku dekat sama Dion, Lutfi sudah seperti itu. Kenapa, sih dia?
Aku yakin apa yang dikatakan Lutfi itu hanya bohongan. Aku yakin kalau Dion sayang sama aku. Buktinya dia perhatian, selalu nemanin aku ke manapun aku pergi. Dan untuk apa dia dekatin aku kalo bukan karena sayang? Lagian apa sih kurangnya aku? Apapun yang dia minta selalu aku kasih.
Saat aku tiba di cafe, aku sudah melihat Dion di sana. Dia duduk bersama seorang cewek. Siapa, ya? Mungkin temannya. Mungkin Dion mau memperkenalkan aku sama temannya. Aku semakin mempercepat langkahku.
“Hai, Dion!” Sapaku dengan wajah berseri. Dion berdiri dan diikuti oleh cewek di sampingnya sambil tersenyum. “Dia siapa?” Tanyaku sambil menunjuk cewek itu. “Oh, ini Zia, pacar aku.”
Aku tersentak mendengar jawaban Dion barusan. Dengan wajah tanpa dosa Dion merangkul cewek itu.
“Pacar?” “Iya. Kenapa?” Tanya Dion masih dengan ekspresi wajah tanpa dosanya. Aku mulai terisak. “Terus tujuan kamu dekatin aku apa?” “Ya buat manfaatin kamu, dong. Apalagi?”
PLAKK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion. Tangisku meledak seketika. Tatapan aneh dari penghuni cafe sama sekali tidak aku pedulikan.
Aku benar-benar bodoh. Ternyata Dion bukan cowok baik. Bahkan dengan kasarnya dia menarikku keluar cafe dan mendorongku seenaknya hingga aku jatuh.
Semua yang dikatakan Lutfi benar. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku ingin minta maaf tapi aku tidak tau keberadaannya sekarang. Aku sudah mencarinya di mana-mana tapi Lutfi tetap tidak ada.
Tibalah aku di sini. Sesuatu yang sangat menyakitkan terdengar dari mulut mama. Lutfi masuk rumah sakit. Ia didiagnosa terkena Leukimia. Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas menuju rumah sakit tempat Lutfi dirawat.
Sungguh sebuah pemandangan yang sangat menyakitkan ketika aku tiba di ruang UGD. Di sana tampak seorang cowok sedang terbaring lemah. Di tubuhnya terpasang berbagai macam alat. Lutfi. Tubuhnya tampak sangat kurus. Padahal baru tiga minggu aku tidak bertemu dengannya. Lutfi langsung tersenyum saat melihatku.
Senyum itu… aku bergegas menghampiri Lutfi dan langsung memeluknya. Perlahan-lahan air mataku mulai menetes. Saat mengetahui aku menangis, Lutfi mengelus rambutku lalu menenangkanku.
“Hei… kenapa nangis? Aku nggak apa-apa kok.” Ucap Lutfi masih dengan nada lembutnya. Aku semakin terisak. “Kenapa nggak pernah cerita sama aku kalau kamu sakit? Ini semua salah aku.” “Nggak. kamu nggak salah. Ini aku punya sesuatu buat kamu.” Kata Lutfi. Aku melepaskan pelukanku lalu menatapnya penasaran.
Dengan susan payah Lutfi mengambil sesuatu daru bawah bantalnya. Sebuah amplop yang entah isinya apa. “Ini buat kamu. Jangan dibuka sekarang, ya. Nanti aja.” Aku menerima amplop itu lalu mengangguk.
Lutfi kembali tersenyum. Dia menarikku ke dalam pelukannya lalu mengecup keningku. Sebuah bisikan halus terdengar di telingaku. “Aku sayang kamu, Dora.” Bisik Lutfi. Secara perlahan pelukan itu mulai melemah hingga akhirnya hilang.
Pemakaman Lutfi sudah selesai sejak tadi. Semua orang telah pergi kecuali aku. Di sela-sela tangisanku, aku teringat amplop yang diberikan Lutfi. Di dalamnya ada secarik kertas. Sebuah surat.
Dear Sarah
Hai, Dora! Maafin aku nggak bisa nemanin kamu selamanya. Aku harus pergi. Dulu aku sempat kecewa ketika kamu lebih memilih Dion daripada aku. Tapi it’s ok-lah. Lupain aja. Satu hal yang harus kamu tau, aku sayang banget sama kamu. Jaga diri, ya, Rah! Sampai jumpa di sana.
Ttd Lutfi
Tuhan… kenapa harus Lutfi yang kau ambil? Kenapa bukan aku saja? Lutfi terlalu baik. Kenapa bukan aku? Bukankah aku yang jahat? Ya Tuhan… Aku nyesel bangat udah sia-siain Lutfi. Ke mana lagi aku akan mencari sahabat sebaik dia?
Terbayang di mataku bagaimana kelembutan Lutfi. Bagaimana Lutfi saat dia berpenampilan culun hanya untuk membuatku tersenyum. Aku memang bodoh. Ini salahku. Aku tidak berhak menangisi Lutfi. Justru diriku lah yang perlu ditangisi. Terlalu bodoh!
I’m gonna miss you, Lutfi…
Cerpen Karangan: Via Chrystiani Facebook: ViaaDiawang