Kau timbul tenggelam dalam batinku, kata-katamu menusuk kepalaku berkali-kali, aku dijerat bayangan yang hempas pada tengah malam. Hujan malam itu pertanda mengerikan yang saksi di hadapan kita, kupasrahkan wajahku menjadi objek paling rela yang nyaman kau tumpahkan amarah. Sejak itu aku takut bangkit kembali.
Kau memakai baju berwarna hitam dilapisi jaket berwarna putih yang kontras dengan wajah cerahmu. “bagaimana penampilanku? Cantik kan?” tanyamu. “oh iya, serasi, kau terlihat cantik”, jawabku sekenanya sambil mengembang senyum sebisanya. Kemudian kau menghamburkan diri memelukku. “terima kasih sahabatku..” katamu riang. Kau lalu mengambil tas yang tergeletak di atas meja dan melambaikan tangan, “aku pergi sekarang, dada”. Aku duduk kaku di sofa dan hanya memandangimu yang hilang ditelan jarak.
Kepergianmu menutup warna hariku yang mulai suram kembali. Aku beranjak dari sofa tempat kafe yang sore itu kau minta bertemu. Kubuka dompet dan membayar segelas cappuccino yang tandas serta segelas jeruk hangat yang beku belum tersentuh sama sekali. Aku berjalan keluar dengan hambar.
Sepanjang jalan aku melihat beberapa sosok yang mirip denganmu, tetapi menilai sekilas adalah jurang terdalam. Aku berjalan tanpa arah, rasanya aku kembali ke tempat semula. Setiap langkah yang aku serukan melulu saja berulang ke awal aku memulainya. Gedung-gedung putih bercorak klasik dan hamparan rumput hijau yang mengering menjadi siluet pengantar maghrib. Aku berhenti di sebuah taman kota dan merenungkan adzan. Mungkin sekarang kau sedang tertawa ria dan bahagia bersama dia. Jika dia tahu, senyummu adalah satu-satunya oase di tengah gersang hatiku. Dia satu-satunya lelaki beruntung yang terpaksa kuanggap teman, sebab kamu mencintainya.
Rupanya kau belum juga mengabariku. Letih aku memandang bangku taman yang kaku. Segala lalu lalang orang hanyalah arca yang sengaja digerakan. Aku menginginkan matamu kekal abadikan aku yang terpingkal jatuh ke hatimu, yang pincang mengejar punggungmu. Namun nyatanya senja di hadapmu lebih memerah daripada aku yang tatih di kegelapan.
Berganti hari memaki usahaku yang kian menemui titik terendah. Ingatanku terus berputar kembali menontonkan kau yang baru pertama kali kukenal. Di perpustakaan kita seminggu bertemu sekali. Seperti sistem bumi yang selalu berputar pada porosnya, aku dan kau juga disetel demikian rupa untuk bertemu seminggu sekali di perpustakaan. Aku menyadarinya sebagai sebuah rencana yang memang disengajakan. Aku bertanya dan mencari jawaban atas semua itu. Ketika tiba saatnya kita berdua harus berkenalan dan menjalin persahabatan. Pertanyaan di kepalaku datang bertamu dan meninggalkan tanda tanya yang berhamburan di otakku. Hanya sebatas inikah? Tidakkah lebih dari sekedar sahabat? Atau mungkin menjadi suami istri? Semua pertanyaan itu berusaha kuredam habis-habisan. Meskipun saat sepi datang kembali menghabisiku.
Malam larut hadirkan musuh pedihku; sepi. Aku tak mampu memejam dan pulas dengan dalam. Bayangan terakhir punggungmu masih menggema di ingatanku. Jeruk hangat yang enggan kau minum pun ikut sertakan pedihku. Kau kabut tebal yang membungkusku, tapi tak tersentuh dan sulit kurengkuh.
“pernahkah kau berpikir kalau jodohmu bisa saja sahabatmu sendiri?”, tanyaku. “mungkin pernah, tapi kuharap jangan”, jawabmu sambil merekah senyum. “oh iya benar begitu. Tapi setujukah kau bahwa sahabat adalah pendamping yang baik?” “Iya, namun aku tidak berencana menjadikan sahabat sebagai pendamping hidupku karena mereka adalah ruang sendiri yang khusus untukku berbagi tanpa perlu mengikrarkan cinta”. “begitu lebih baik”, jawabku mengakhiri. Aku dipaksa mengenang dialog kosong kita, dialog yang sekadar mengisi sunyi yang menyayat. Mengingatnya membuatku seperti membuka luka lama yang belum sembuh sempurna. Pasrah aku dikoyak-koyaknya.
Sebentar lagi senja menjemput pagi. Sementara aku belum lagi tertidur. Baru kali ini kau tak menghubungiku. Barangkali di luar cuaca terlalu asyik untuk sekadar mengabari. Aku bangun dan membuat segelas kopi yang minim gula. Kurasa kau pekat di dalamnya.
“hai aku sudah kembali” “wah dari mana saja kau?” “aku mengunjungi 2 kota yang masing-masing mempunyai kelebihannya” “oh ya? Apa itu” “kota yang pertama adalah kota damai yang menyambutku ramah dan menawarkan keindahan serta kerelaan untukku kapanpun aku ke situ, bahkan selamanya” “lalu bagaimana dengan kota yang kedua?” “yang kedua itu adalah kota megah maju dan menyediakan berbagai kebutuhan yang dibutuhkan, di kota ini, apa yang kamu butuhkan semuanya ada” “menurutmu kota mana yang paling cocok untuk kamu tinggal?” “aku kira dua-duanya tidak cocok untukku” “kenapa?” “karena aku sudah terlanjur menyayangi kota kelahiranku sendiri” “di mana kota itu?” “kota itu tersembunyi” “tidak kasat mata?” “iya” “terus bagaimana kamu tinggal di situ?” “sebaiknya kita segera berangkat!”
Aku terbangun dari tidurku dan dapati baumu yang samar-samar di kamarku. Baru kusadari aku tadi bermimpi. Padahal sudah kau peringatkan untuk tidak bermimpi jika sedang tidur. Tapi bagaimana lagi, mimpi itu manasuka, ia datang dan pergi begitu saja. Kita tak bisa menolak atau menahannya. Lagi-lagi kau belum juga mengabari.
Siang sungguh terik untuk aku sekadar melihat keluar jendela. Aku masih terbungkus selimut yang diam-diam memancing keringatku keluar. Sisa wajahmu adalah pelangi di tengah terik mentari. Sekali lagi aku menginginkan kau cepat kembali. Waktu terlalu cepat berlari hingga siang yang kunanti sekejap menjadi sore. Aku trauma pada malam. Gelapnya menawarkan sendu yang terpaksa membuatku terpojok dan gagu. Kau satu-satunya jalan keluar yang sukar sekarang kucari.
“kita ke mana sekarang?”, tanyaku bingung. “sudah ikut saja ya” “baiklah”. “di sini gelap sekali”, tegasku. “diam.. sebentar lagi kau kan lihat terang di ujung sana, percaya deh!” “apa itu kota kelahiranmu?” “iya” “masih jauh?” “hampir sampai” “baiklah”. “kamu sudah melihatnya?” “apa?” “cahaya terang yang kubilang tadi” “belum, memangnya kau melihatnya?” “iya” “di sebelah mana?” “sebaiknya kau segera kembali”.
Aku lagi-lagi tak menyadari. Ini termasuk dalam rencana atau sebuah petunjuk? Aku menemukan pertanyaan dan jawaban yang kembali menghasilkan pertanyaan lagi. Aku kebingungan di dalamnya. Setelah tertidur lagi, aku kembali bermimpi. Ini mimpiku yang kedua kali pada ini hari. Kini hari mulai miring disambangi malam. Kau juga belum mengabari.
Kali ini aku enggan tertidur atau sekadar memejamkan mata. Kamarku senyap dan pengap. Segera kubuka jendela biarkan angin kesegaran menerobos masuk. Angin membelai bayangmu yang kian gelap dirasa. Aku ingin memelukmu erat. Meski hanya sebagai sahabatmu. Aku berjarak dengan tempat tidur, duduk di samping jendela dan melihat kerlap-kerlip lampu kendaraan di kejauhan. Kau muncul sebagai cahaya netral yang samar pada warna-warni lampu taman. Sebabnya aku sulit menemukanmu lagi. Kopiku masih ada setengah, mungkin sudah dingin dan tak enak. Biar saja sebagai santapan semut atau binatang lain. Kadang-kadang semut punya jatah makan dari kita sendiri. Ketika kita tidak menghabiskan makanan, maka semut dan sejenisnya berhak menumpas habis makanan itu.
Tengah malam datang. Sunyi semakin syahdu. Berdering gawaiku yang bisu sejak kemarin sehingga aku kaget. Ternyata hanya pesan teks dari nomor baru. Bukan kamu. Kuletakan kembali gawaiku, tetapi aku penasaran dengan isi pesan itu. Kemudian kuambil lagi dan kubuka. Jujur saja aku tak mampu membacanya dua kali. Ini terlalu sulit. Ini sebuah ketidak-mungkinan: mustahil. Aku ingin membantah takdir. Aku ingin menolak kenyataan. Aku gegas menghubungi nomormu dan nomor kerabatmu. Tak diangkat. Tetapi tiba-tiba ada telepon masuk dari seseorang yang tak bisa kutolak kebenarannya; ibumu. Aku menangis sejadinya. Silakan habiskan air mataku wahai kesedihan, pada kenyataan silakan pahitkan segala mimpi harapku. Aku hambar sekarang. Selama ini kau bicara dalam isyarat, selama ini kau beri tanda-tanda. Kudapati kesadaranku bahwa kau telah mengabariku lewat mimpi-mimpi yang kau kirimi sehingga aku mengalami namun tak menyadari. Yang aku takutkan adalah tertidur dan tak mampu bangun lagi, tertidur dan bangun tak melihatmu lagi, dan terjaga serta menyadari kau telah tiada berhari-hari. Aku ingin tidur lagi, tanpa perlu bangun kembali.
Di luar hujan benar-benar basah. Jejaknya perlahan hilang, tapi kenangannya bersemayam. Aku ingin menarik selimut dan melindungi diri dari kenyataan ini. Sekali lagi aku menyadari bahwa kau takkan pernah lagi mengabari.
Hasanuddin Arbi
Cerpen Karangan: Arbi Hasanuddin Facebook: Hasanuddin Arbi