Kepalaku menengadah. Menatap langit yang berwarna jingga. Kupu kupu indah dengan sayap biru cerah terbang melintas di depanku. Kuangkat jemariku. Kupu kupu itu terbang mendekat, terdiam di ujung jemariku.
Angin senja berhembus, menggerakkan jilbab yang menutupi separuh tubuhku. Sang surya mulai tenggelam di ufuk barat. Hari pun berganti malam. Rembulan menampakkan dirinya yang sedari tadi bersembunyi di balik awan gelap. Perlahan, kupu kupu ini terbang menjauh.
Lelaki yang duduk di sampingku hanya diam tak bergeming. Dia hanya menatapku dengan tatapan sendu. 2 hari sebelumnya, dia melamarku. Menyematkan cincin di jari manisku. Namun, dia harus menerima sebuah kenyataan yang amat pahit. Ya, setelah lelaki itu melamarku, badanku tiba tiba ambruk tak sadarkan diri. Dan hari itu juga, dokter mendiagnosis jika aku terkena kanker darah stadium 2.
“Citra, kenapa? Kok dari tadi diam terus?” Tanyanya sembari memegang pundakku pelan. “Bukan apa apa, mas. Citra hanya takut kalau besok tak bisa bangun bersama mentari pagi”. Lagi lagi dia terdiam. Jarinya tergerak, hingga menyentuh bibirku. “Citra nggak boleh bicara seperti itu. Mas Alka ada di sini. Mas akan merawat Citra. Citra nggak boleh sedih, tetaplah semangat!”. Ucapan Mas Alka membuat sebuah senyuman kembali terukir di bibirku.
“Hari sudah malam, Citra. Lebih baik kamu tidur. Biar besok bisa bangun pagi. Ingat tidak? Kamu mengajak Mas lari pagi?” Aku hanya mengangguk pelan. “Nah, makanya. Ayo, mas antar pulang.” Mas Alka beranjak, menggandeng tanganku. Aku menoleh ke belakang. Sayap kupu kupu itu.. Apakah memang bersinar? Atau bersinar karena pantulan cahaya bulan? “Ada apa, Citra?” “Ah, bukan apa apa, mas. Hanya perasaanku saja. Ayo pulang.” Mas Alka memilih langsung pulang malam ini. Mungkin, hari juga sudah larut.
“Hati hati di jalan, mas.” ujarku ketika Mas Alka hendak pergi. Dia menoleh sejenak, melemparkan senyumnya yang menawan. Hingga membuat pipiku merona merah.
Paginya, ketika aku terbangun. Sesosok pangeran sudah menanti di sampingku. “Pagi putri tidurku. Bagaimana tidurmu semalam?” Aku tak menjawab. Hanya senyuman kecil yang masih tersungging di bibirku. Raut muka Mas Alka berubah. Tangannya menyentuh dahiku. “Kamu sakit?” Tanyanya. Lagi lagi aku hanya tersenyum. Kugenggam tangannya yang gemetar. Begitu takut jika aku akan pergi meninggalkannya. “Citra, katakan sesuatu. Jangan membuat mas takut seperti ini,” ujarnya lagi. Matanya menatapku lurus. Aku melihat ke arah jendela. Kupu kupu itu, yang kemarin kan? Kupu kupu biru cerah yang kemarin kulihat bersinar. “Citra,” suaranya menyadarkanku. Aku masih menggenggam tangannya. Perlahan, bibirku bergerak. Mencoba menjelaskan apa yang kulihat. “Kupu kupu senja itu.. Bersinar.”
Mas Alka menatap ke arah jendela. “Kupu kupu senja hari.” gumamnya. Penglihatanku mulai kabur. Mataku terasa berat. Tak kudengar lagi suara Mas Alka memanggil namaku.
Pagi itu, aku dilarikan ke rumah sakit. Sebelumnya, aku sudah merasakan firasat buruk. Firasat tentang kupu kupu senja hari yang mendatangiku kemarin. Sebelum Allah memanggilku, kutuliskan sebuah surat singkat untuk Mas Alka.
My Darling, Rizaladam Alkahfi. Mas, sebenarnya, Citra sudah merasakan firasat buruk. Kupu kupu senja hari itu bagaikan pertanda. Dan sepertinya, Citra tak bisa bertahan lebih lama lagi. Mas, Citra minta maaf karena Citra menyembunyikan semua ini dari mas. yang pasti, Mas Alka tolong cari pengganti lain yang bisa hidup bahagia sama mas. Bukan yang seperti Citra. Citra harap, mas bisa mengikhlaskan Citra, jika Citra benar benar dipanggil Allah. Dan ya, terima kasih untuk waktu kebersamaan yang kita lakukan. Maaf Citra mengingkari janji Citra sendiru untuk hidup bersama Mas Alka. Citralia Azzahra.
Surat itu kulipat. Kuletakkan di dekat bingkai fotoku dan Mas alka. Ya Allah, jangan panggil Citra. Citra tak mau membuat Mas Alka sedih.
Namun, Allah berhendak lain. Dan sepertinya, keadaan Citra di dalam sana kritis. Alka melihat dari luar. Calon istrinya dikelilingi 3 dokter dan beberapa perawat. Lama Alka menunggu. Dan baru kali ini, lelaki setegar Alka menitikkan air mata. Dokter keluar. Membicarakan semuanya dengan orangtua Citra. “Bolehkan saya menemuinya?” Tanya Alka. “Tentu saja. Dia memanggil namamu dari tadi.” Jawab dokter.
Kubuka mataku yang sudah 3 jam terpejam. Mas Alka, berdiri di sampingku. Wajah dipenuhi derai air mata. Kusunggingkan senyuman ke arahnya. Tanganku dengan lembut menghapus bulir bulir air matanya. “Doakan Citra agar cepat sembuh, mas. Citra janji, setelah Citra sembuh, mas bisa membawa Citra ke pelaminan.” ujarku. “Sudah pasti, sayang.” Jawabnya. “Apakah mas sudah membaca surat yang ada di samping bingkai foto kita?” “Belum, sayang. Ini mas bawa. Nanti saja mas bacanya.” Aku kembali tersenyum ke arahnya. Kutarik nafas panjang. Dan tak kusangka, jika itu akan menjadi nafas terakhirku. Wajah menawan Mas Alka kembali dipenuhi derai air mata. Dia membaca surat dari Citra. Kata demi kata dibacanya. Tangannya meremas surat itu. Semua yang ada di ruangan ikut menangis. Menatap kepergian seorang gadis shaleha yang hendak menjadi seorang peengantin.
Acara pemakaman telah usai. Alka masih tetap duduk di samping makam Citra. Alka sudah mengikhlaskannya. Merelakan Citra hidup tenang di alam sana. “Mas janji, sayang. Akan menyusulmu ke sana. Kita akan buat surga kita berdua. Surga kita sendiri.”
END
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri Facebook: Rhytmawan Arnold Hola Haloo ^^ Namaku lila. Sekarang aku baru mau kelas 9. Doakan naik yaa. Mau berteman denganku kan? Follow instagramku @_lilazhra7174 Maaf jika cerpennya agak ngawur. Karena masih belajar sedikit sedikit