“Hai aku kembali! Di saat sang langit menangis namamu terlintas di benakku. Seolah mendekap padahal jauh. Kamu tahu kenapa namaku tak tertera di setiap surat yang ku kirim? Agar kamu penasaran dan membiarkan sang takdir mempertemukan kita”
— Pengirim Rahasia
Ini adalah surat ke 60 yang Harmonica baca. Nyaris setiap pagi sejak 2 bulan yang lalu, gadis ini selalu mendapatkan surat yang entah dikirim oleh siapa.
“Dari cowok rahasia itu lagi?” tanya Kalvian dari arah belakang Harmonica. Harmonica mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Kalvian. “Lo gak penasaran sama cowok itu?” tanya Kalvian lagi. Harmonica menghela napas berat, sorot matanya memandang ke arah langit yang tengah hujan. “Gak. Gue lagi males mikirin cinta,” elak Harmonica, lalu pergi meninggalkan Kalvian.
Kalvian menghembuskan napas berat, lalu mengacak-acak rambutnya frustasi. “Sampe kapan lo bakal sedingin ini Harmonica?” tanya hati kecil Kalvian.
—
“Sudah ada 60 surat di lemari kamu. Apa kamu masih gak penasaran sama pengirimnya?” tanya Avalin pada putrinya.
Harmonica terdiam. Ia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan sang Mama. Ia asyik merangkai bermacam-macam bunga.
“Harmonica kam—”
“Di saat mentari datang menyapa, kebahagiaan tak menyapaku. Di saat dinginya malam membelenggu, ketakutan akan takdir turut membelenggu. Kenapa dia harus datang? Semenyedihkan itukah hidup aku di matanya? Dia bilang dia mau takdir yang mempertemukan kita. Tapi nyatanya? Sebelum kita bertemu, aku lebih dulu ketemu sama kematian. Terus salah aku gak mau tau tentang dia? Aku gak mau dia terluka karena aku Ma… Hiks…” tutur Harmonica dengan pipi yang dibasahi air mata. Dadanya terasa sesak, seolah ada jutaan rasa sakit yang mendesak di dalamnya.
Avalin memeluk putrinya. Ia turut larut dalam kesedihan Harmonica. “Kamu pasti hidup sayang… Akan ada orang baik yang mau donorin hatinya buat kamu…” kata Avalin meyankinkan.
Harmonica melepaskan pelukan Avalin, lalu menghapus air matanya. Ia menatap Avalin tak percaya. “Gak ada yang rela mati buat aku Ma… Cuma orang bodoh yang bakal laukuin hal itu…”
“Ada. Mama akan lakukan hal itu,” ucap Avalin meyakinkan namun tak Harmonica percaya.
Kedua mata Harmonica menatap foto 2 bocah laki-laki yang tengah bermain ayunan. “Bulan dan Bintang butuh Mama… Mereka masih kecil,” tutur Harmonica.
Seseorang hanya bisa menguping. Kakinya bergetar sejak tadi. Tanpa sadar, kaki orang tersebut menyenggol vas bunga milik Harmonica.
“Siapa tuh?” tanya Harmonica memastika. Kaki jenjangnya menghampiri sumber suara. Matanya membulat sempurna saat… “Kalvian? Lo apain vas bunga gue?!” tanya Harmonica dengan nada kasar. “Ma-maaf…” ucap Kalvian tulus. “Ngeselin lo!” Bentak Harmonica sambil membereskan serpihan vas bunganya. “Sudahlah…” Avalin berusaha menemangkan.
Kalvian mengelus dada. Sikap Harmonica padanya memang tak pernah berubah. Tetap saja galak padanya. Satu hal yang Kalvian tahu, ia mencintai Harmonica.
“Kamu tau gak kenapa huruf depan namaku ‘K’ dan kamu ‘H’” tanya Kalvian saat usianya 14 tahun. “Gak tau! Dan gak mau tau!” jawab Harmonica galak. Tanpa peduli pada keketusan Harmonica, Kalvian tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. “Karena… Kan ada ‘H I J K’ nah, huruf ‘I dan J’ itu jadi lope-lope diantara huruf ‘H dan K’. Hahaha” jelas Kalvian diiringi tawa. “Gak mutu banget,” sisnis Harmonica pada Kalvian. Meski begitu, Kalvian tetap nyengir ngadepin Harmonica.
—
“Ada yang mau donorin hatinya buat Harmonica,” jelas Dr.Rio lewat telepon. “Benarkah? Terima kasih, Dok. Ngomong-ngomong siapa pendonornya?” kata Avalin antusias. “Sayangnya dia tidak mau identitasnya diketahui untuk saat ini,” ujar Dr. Rio dengan nada kecewa. “Oh. Sampaikan terima kasih saya padanya, Dok. Oh iya, kapan operasinya?” “3 hari lagi.” “Oh. Terima kasih, Dok.” “Sama-sama,” sambungan terputus.
Harmonica menghampiri Avalin. “Ada apa Ma?” Avalin memeluk Harmonica erat. “Ada yang mau donorin hati buat kamu nak…” ucap Avalin bersemangat. “Beneran Ma?” tanya Harmonica tak percaya. Avalin mengangguk. “Alhamdulillah…” lanjut Harmonica.
Kalvian turut menguping. Bibirnya mengukir senyum bahagia. Mimpinya sungguh tergapai. Ini saatnya ia pergi. Ia menaruh sepucuk surat di atas meja Harmonica. Lalu, cowok berusia 18 tahun itu keluar dari rumah Harmonica. Ia terus berlari di tengah hujan. Kebahagiannya telah tergapai.
“Tuhan… Aku tak sanggup menatap tubuhnya semakin kurus… Mata ini tak dapat membendung tangis saat melihatnya kesakitan… Tubuh ini melemah saat melihatnya menangis…
Kenapa cinta serumit ini Tuhan?
Aku ingin bersamanya… Namun keadaan tak memungkinkan… Setiap kali ku peluk tubuhnya… Ia selalu menolak dengan alasan ia tak apa…
Di tengah derasnya hujan aku turut menangis… Meratapi cintaku yang tak terbalas… Penolakannya memanglah terasa sesak di dada… Tapi kehilangannya jauh lebih menyakitkan…
Aku telah terbiasa ia tolak… Tapi aku tak terbiasa hidup tanpanya…
Izinkan aku titipkan hati ini padanya… Agar ia dapat terus mengingat ku… Tanpa harus menolak…”
Di tempat lain, Harmonica menatap amplop dari Kalvian dengan malas. Sungguh, sebenarnya sedang malas Membaca. Tapi ada sesuatu yang seolah memaksanya untuk membaca surat tersebut.
“Harmonica, gue pamit ke Bandung. Gak tau pulangnya kapan. Gue mau nyusul Nenek gue” — Kalvian
Harmonica mengernyitkan dahi, berusaha mencerna apa yang Kalvian maksud. Yang Harmonica tahu, Kalvian adalah rajanya menyebalkan. Karena kesal, ia merobek surat dari Kalvian.
Tok! Tok! Tok Ketuk seseorang dari luar kamar Harmonica.
“Ya?” sahut Harmonica. “Ada apa, Ma?” tanya Harmonica pada Avalin. “Kalvian mana?” tanya Avalin khawatir. “Dia nyusul Neneknya,” jawab Harmonica ketus. “Apa? Nyusul Neneknya? Asal kamu tau Neneknya itu udah meninggal!” ucap Avalin membentak “Ya palingan juga nanti pulang…” sahut Harmonica cuek. “Kamu ini ya!” Avalin kesal lalu pergi meninggalkan Harmonica.
—
“Kalvian lo gak boleh pergi!” tangis Harmonica pecah saat dilihatnya Kalvian meninggalkannya. Kalvian melangkah mendekati gadis itu, lalu memeluknya. “Lo terlalu indah buat gue tinggalkan…” kata Kalvian seraya mencium kening Harmonica. Isak tangis Harmonica semakin menjadi. Ia tak peduli tubuhnya yang basah oleh hujan asalkan Kalvian bersamanya. “Lo harus janji!” kata Harmonica sambil mengulurkan kelingkingnya. Kalviam tersenyum, ia mengelus puncak kepala Harmonica. “Gua janji…” Kalvian melepaskan dekapannya dan disambut raut kecewa di wajah Harmonica. “Kok dilepas?” Kalvian tersenyum, “Harmonica gue sayang sama lo. Jaga diri baik-baik ya…”
Deg! Jantung Harmonica seolah berhenti berdetak saat dilihatnya Kalvian menghilang menjadi debu. “Kalvian lo ke mana? Lo gak boleh pergi! Kalvian gue juga sayang sama lo…” “KALVIAN!!!”
Harmonica tersadar dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Ia menatap ke sekeliling. Ini masih di kamar inapnya di rumah sakit.
Avalin tiba-tiba datang memeluk Harmonica, “kamu kenapa?” Harmonica menatap Avalin dengan mata berkaca-kaca. “Kalvian ke mana, Ma?” “Ma-Mama gak tau,” elak Avalin. “Jawab Ma! Kalvian masih ada kan? Di-dia lagi nunggu di luar kan?” tanya Harmonica histeris. Avalin menggeleng, tangis Harmonica pecah saat itu juga. “Ka-Kalvian udah gak ada?? Ini gak mungkin Ma…” “Ini takdir Tuhan sayang. Dia donorin hatinya buat kamu…” “Ka-Kalvian…”
—
“Hai sang pemilik hati… Kini aku tak dapat memelukmu Tapi hatiku selalu bersamamu…
Jika kau rindukan aku… Tatapalah bintang… Anggaplah dia adalah aku…
Kamu tau? Cinta punya rumahnya masing-masing… Dan aku harap rumah dari cintaku adalah kamu…
Kamu harus jaga hatiku baik-baik ya… Tau tidak kenapa? Karna hatiku mulai terkikis oleh pemanasan global. Hahaha aku sungguh tidak lucu.
Aku harap kamu tidak menangis saat membaca surat ini… Karena yang paling terluka saat kamu menangis adalah aku.
Sampai jumpa sang pemilik hati… Ku titipkan cinta ini padamu… Karena… Aku mencintaimu…”
— Kalvian
Harmonica hanya bisa menangis di pusara Kalvian. Ia amat menyesal telah menyiakan Kalvian. Kini, ia hanya dapat merindukan Kalvian. Namun Kalvian tak akan lagi ada di sisinya.
Gadis itu menaruh bunga lili putih di makam Kalvian. Ia mengelus batu nisan Kalvian. “Kal? Gue sayang sama lo… Semoga lo bahagia di sana… Di tempat yang layak…” ujar Harmonica menahan tangis.
“Ayo kita pulang…” ajak Avalin pada Harmonica.
—
Jika memohon pada bintang jatuh sungguh terkabul… Akan ku minta padanya agar kamu kembali di sisi ku…
Di saat hujan turun aku menangis… Seolah hujan adalah pisau yang menikamku dan mengakibatkam luka rindu padamu…
Aku bodoh… Karena telah terlambat mencintamu… Akan aku jaga hatimu baik-baik. Karena aku tak ingin kehilangannya sama seperti aku kehilangan kamu…
— Harmonica
Cerpen Karangan: Karisma Yogi Syabrina Facebook: Karisma Yogi Syabrina