Aku ingin bahagia. Bahkan ketika aku sendirian. Corat-coret wanita itu di balik selembar kertas bon yang dia temukan dalam clutch-nya. Kedua bola mata hitamnya bergerak kesana kemari, membaca tulisannya berulang kali. Seakan kata-kata yang tertera di kertas itu merupakan kosakata yang belum pernah dipelajarinya. Bibir merah meronanya tersenyum lemah. Sudah lama sejak terakhir kali dia mengalami ‘bahagia’, sampai-sampai dirinya telah melupakan arti kata itu.
Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya, membasahi gaun berwarna hijau muda yang menutupi tubuhnya dari bahu sampai lutut. Buru-buru wanita itu menyekanya, takut butiran air mata itu tertangkap oleh puluhan pasang mata di sekitarnya. Tidak boleh. Tidak boleh ada yang tahu dirinya menangis di hari bahagia teman baiknya.
Kepalanya ditengadahkan ke langit-langit ruangan yang dihiasi oleh lampu kristal berukuran raksasa. Nafasnya yang sempat memburu perlahan kembali normal. Kedua matanya memejam, menikmati keramaian di sekitar yang mengubur rasa sepi dalam hatinya.
Seseorang menepuk bagian bahunya yang terbuka. Tangan wanita itu spontan meremas kertas yang dia tulisi tadi sebelum membuka kedua matanya lebar. Kepalanya ditolehkan ke arah kanan, bermaksud melihat siapa yang menepuknya. Tubuh wanita itu menegang seketika waktu melihat seseorang mengenakan gaun yang persis dengannya. Gaun selutut berwarna hijau muda.
“Acaranya sudah mau mulai.” Sosok itu tersenyum. Kemudian menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk ke arah depan. Wanita itu terkejut bukan main. Kata-katanya serasa tersumbat di tenggorokan, menyadari bukan hanya gaun yang mereka kenakan sama. “Kamu…” Suara wanita itu kembali, tapi terlambat. Seluruh lampu di ruangan keburu dipadamkan, menyisakan beberapa lampu sorot yang diarahkan pada karpet merah yang membentang dari pintu masuk ruangan. Dalam kegelapan dan kerumunan orang, wanita itu kehilangan sosok yang berbicara dengannya.
Beberapa kali sepasang mata wanita itu mengitari ruangan, tapi tidak lagi dia temukan sosok itu. Akhirnya, wanita itu memutuskan bahwa pikirannya tadi hanya sedang melantur. Bahwa sentuhan dan ucapan sosok itu hanya terjadi di dalam kepalanya.
Pandangan wanita itu berfokus pada kerumunan orang yang berbaris di kedua sisi karpet merah. Orang-orang itu mulai bertepuk tangan penuh semangat, membangkitkan kemeriahan pesta tersebut. Wanita itu menoleh dan menemukan pintu masuk ruangan itu kini terbuka lebar. Mereka tiba, gumam wanita itu kepada dirinya sendiri. Dia bangkit dari kursi yang berlapiskan kain putih. Kedua kakinya melangkah perlahan, menuju ke kerumunan orang yang masih bertepuk tangan.
Saat itu, wanita itu melihat pemandangan yang membuat orang-orang itu bertepuk tangan. Seorang pria dan wanita yang bergandengan tangan. Mengenakan tuksedo hitam terbaik dan gaun putih panjang, berjalan di atas karpet merah. Sosok keduanya dan berkilau, mengalahkan kilau perhiasan yang dikenakan sang wanita. Sang pria tampak tegap dan sang wanita tampak anggun. Penampilan mereka begitu sempurna, begitu layak untuk disebut-sebut sebagai bintang acara pernikahan ini.
Wanita itu hanya diam memandangi pasangan yang akan berjalan melewatinya sebentar lagi. Kedua tangannya menggenggam erat clutch-nya, tidak ikut bertepuk tangan seperti orang lain. Karena dia takut. Takut air matanya akan kembali menetes jika dia memaksa dirinya untuk terlihat lebih bahagia dari sekarang. Ketika akhirnya pasangan itu berjalan melewatinya, untuk sesaat dia merasa diperhatikan. Oleh sepasang mata milik sang pengantin pria, yang tidak sengaja menangkap sosoknya. Nafas wanita itu tertahan saat pria itu tersenyum padanya. Memberikannya sebuah senyuman lebar dengan lesung pipi di bagian kanan. Senyuman yang wanita itu pernah lihat dari dekat, sewaktu tangannya berada dalam genggaman pria itu.
Acara malam itu berlangsung cepat setelah pasangan pengantin baru itu muncul. Pembukaan dari MC, doa dari orangtua pengantin, dan ciuman singkat antara pasangan pengantin. Sekarang tiba saatnya bagi para undangan menikmati makanan yang telah disediakan. Yang juga berarti, saatnya untuk pasangan pengantin itu berkeliling, menyapa para undangan yang hadir dalam acara mereka. Wanita itu melakukan terbaik yang dia bisa untuk menghindari mereka. Sampai di suatu titik dia harus berhenti melakukannya. Karena namanya telah dipanggil oleh sang pengantin pria sampai tiga kali. “Nadia!” Bibir wanita itu melantunkan sugesti singkat untuk dirinya, sebelum berbalik dan bertatapan mata dengan pasangan itu. “Rano! Selamat, ya!” Wanita itu memanggil nama sang pengantin pria. Sebuah senyuman mati-matian dia paksakan untuk keluar selagi menyelamati mereka. Pasangan itu membalas senyuman Nadia. Lalu, Rano mulai angkat bicara. Pria itu memperkenalkan sosok Nadia kepada istrinya. “Intan, ini yang namanya Nadia. Teman baikku di kuliahan dulu.” Rano memberikan jawaban pada tatapan penasaran istrinya. Intan menganggukkan kepalanya sembari mengulurkan tangannya pada Nadia. “Jadi, kamu Nadia? Mantannya Rano dulu?”
Ada rasa tidak nyaman ketika Intan lebih memilih mengategorikan Nadia sebagai mantan Rano, bukan sebagai ‘teman baik di kuliahan’ seperti yang Rano katakan. Sekilas Nadia melirik ke arah Rano. Bermaksud meminta pria itu yang menjawab pertanyaan Intan. Tapi pria itu terlalu sibuk menyapa orang lain untuk menangkap sinyal yang Nadia berikan. “Benar,” Nadia menggerakkan bibirnya yang terasa kaku, “Tapi, aku lebih senang dipanggil sebagai teman Rano.” Rasa nyeri timbul di bagian dada Nadia. Dia telah membohongi dirinya sendiri. Sebab, Nadia tidak pernah merasa senang ketika dirinya ‘hanya’ menjadi teman Rano. Bahkan sampai detik ini, dimana Rano telah resmi menjadi milik wanita lain.
Setelah mendengar jawaban Nadia, sikap Intan padanya menjadi lebih bersahabat. Dia bahkan meminta Nadia untuk menetap di sana sampai penghujung acara. “Nanti di akhir acara, ada bagian lempar buket bunga pengantin. Kamu ikut saja, Nad, lumayan ada hadiahnya.” Ujar Intan. Rano berkelakar. “Ya, Nad, kalau saja aku bukan pengantin prianya, aku akan ikut demi hadiahnya.” Pasangan itu tertawa bersama-sama. Tapi, tidak dengan Nadia. Dia hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan ajakan mereka. Untunglah, tidak lama kemudian Rano dan Intan pamit pada Nadia. Karena masih ada beberapa tamu undangan para orangtua yang wajib mereka sapa, keluh mereka bersamaan.
Sebelum beranjak pergi meninggalkan Nadia, Rano mengulas senyuman terbaiknya untuk wanita itu. Senyuman yang menunjukkan pria itu senang Nadia bersedia menghadiri pernikahannya. Senyuman tulus, yang bahkan dapat dirasakan dari sepasang mata pria itu. Namun, senyuman setulus itu ternyata tidak bisa menjangkau luka di hati Nadia. Tidak bisa mengajarkannya arti bahagia yang hilang dari hidupnya. Hal yang Nadia tidak sadari amat dia butuhkan, lebih dari kembalinya cinta Rano padanya.
Nadia bersembunyi di dalam toilet. Untuk memuntahkan isi perutnya yang ikut bergejolak bersamaan dengan perasaannya. Lambungnya memproduksi asam berlebih, menyakiti dinding lambungnya. Sama seperti hatinya yang memproduksi kesedihan berlebih, menyakiti setiap inci hatinya. Setelah rasa mual dari perutnya menghilang, Nadia menyadari bahwa airmatanya ikut mengalir keluar dengan isi perutnya. Polesan bedak dan maskara di wajahnya menghilang terbawa aliran air tersebut. Nadia melangkah keluar dari bilik toilet menuju bagian wastafel. Tangannya merogoh ke dalam clutch-nya, mengeluarkan setiap peralatan make-up yang dia bawa. Bedak, lipstick, dan… Tanpa sengaja Nadia menarik keluar gumpalan kertas yang terasa asing baginya. Nadia memeriksa gumpalan kertas itu dan menemukan bahwa itu adalah kertas yang dia tulisi sebelum acara dimulai.
Aku ingin bahagia. Bahkan ketika aku sendirian.
Kedua tangan Nadia terangkat, bersiap merobek kertas bertuliskan omong kosong itu. Sampai suara seseorang muncul dan mengagetkannya. “Apa kabarmu?” Pandangan Nadia berlari liar ke seluruh penjuru toilet, memburu kehadiran orang lain. Lalu berhenti dan membelalak ke arah seseorang yang berdiri di sebelahnya. Kedua tangan Nadia menggenggam satu sama lain. Kakinya melangkah mundur, menjauh sebisa mungkin dari sosok yang sedang bercermin itu. Takut dan bingung bercampur menjadi satu di dalam dada. Suara Nadia bergetar saat bertanya. “Kau itu sebenarnya apa?” Sepasang bola mata hitamnya menatap nyalang pada sosok itu. Sosok yang mengenakan gaun yang sama dengannya. Nadia mengamati sosok itu dari ujung rambut sampai kaki. Tatapannya berhenti lama pada bagian wajah sosok itu. Nadia mengerjap, dia tidak salah melihat ketika sosok itu menepuk bahunya tadi. Bukan hanya gaun mereka yang sama. Tapi juga wajah, bentuk tubuh dan rambut, semua hal pada Nadia yang kasat mata. Yang membedakan mereka hanyalah keberadaan senyuman lebar di wajah kembarannya itu. “Aku?” Sosok itu menatap bayangan Nadia di cermin, “Aku itu kamu.” Detak jantung Nadia meningkat. Nafasnya mulai memburu. Salah satu tangannya memberantakkan rambut panjangnya. “Oh, Tuhan. Aku sudah gila?” Tanyanya lebih kepada dirinya sendiri.
Sosok itu mengabaikan pertanyaan Nadia. Kertas yang berada dalam genggaman Nadia tampak mencuri perhatian sosok itu. Dengan suara menenangkan, sosok itu bertanya pada Nadia. “Kamu ingin bahagia?” Pertanyaan itu mengejutkan Nadia. Dan belum sempat dia menjawab, sosok itu melanjutkan kalimatnya. “Atau kamu ingin Rano kembali padamu?” Nadia mundur selangkah ke belakang. Kepalanya menunduk, tidak bisa menatap sosok itu secara langsung. “Aku tidak bisa bahagia tanpanya.” Jawab Nadia terbata-bata.
Sejak perpisahan mereka, Nadia sudah berusaha keras. Berlibur ke negeri tropis idaman banyak orang. Menghabiskan uang di dompetnya untuk membeli barang yang dia inginkan. Bahkan mencari cinta baru yang bisa menolongnya melupakan Rano. Tapi semua usaha itu gagal. Nadia masih butuh Rano untuk bisa tertawa lepas lagi.
Nadia memberanikan dirinya untuk mengangkat kepala. Sosok yang di depannya berubah menjadi gadis berusia dua belas tahun yang mengenakan seragam merah putih. Sebuah piala yang terbuat dari tembaga berada di dalam genggamannya. Nadia ingat piala itu. Dia mendapatkannya ketika dirinya meraih juara 1 dalam lomba menggambar di sekolahnya. Gadis kecil itu tersenyum kepada Nadia. Bagian ompong di barisan depan giginya terlihat saat dia berbicara. “Kamu pernah bahagia tanpanya.” Nadia mengerjap. Sosok gadis kecil itu menghilang, berubah menjadi dirinya di usia tujuh belas tahun dengan kostum Dewi Shinta melekat di tubuhnya. Lagi-lagi Nadia ingat. Di perayaan seni tahunan sekolahnya, dia dipilih untuk memerankan Dewi Shinta dalam kisah Ramayana. “Jadi, kenapa sekarang kamu membiarkan dirimu kehilangan hal itu?” Bisik sosok itu. Pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh Nadia. Kebenaran yang terkandung di dalamnya menghentikan setiap bantahan yang ingin keluar. Dia telah membiarkan kebahagiaan miliknya diletakkan di tangan orang lain. Dan akibatnya, sekarang dia kehilangan kebahagiaan seiring dengan kepergian orang itu.
Bodoh. Bodoh. Bodoh. “Apa… aku masih bisa merubah hal itu?” Nadia menyadari air matanya mulai menetes. Tapi, air mata kali ini terasa berbeda. Ada keinginan kuat bahwa Nadia tidak ingin mengulanginya lagi, tidak ingin menangisi dirinya lagi. “Tentu saja, Nadia.” Sosok itu mendekati Nadia, senyumannya terlihat semakin jelas. “Karena itulah aku datang menemuimu hari ini.” Kemudian sosok itu lenyap dari pandangan Nadia tanpa mengatakan apapun lagi. Kini Nadia kembali sendirian di dalam toilet.
Keramaian di tempat pesta tertangkap oleh pendengaran Nadia. Samar-samar terdengar kicauan sang MC acara yang meminta para wanita yang belum menikah untuk bersiap menangkap buket bunga. Yang kemudian lanjut menjelaskan orang yang mendapatkannya akan diberikan hadiah menarik, serta akan didoakan untuk bisa menyusul menikah.
Nadia mengambil pulpen dari dalam clutch-nya dan meletakkan kertas di genggamanya di tepi wastafel. Lamat-lamat dia mengamati tulisannya, sebelum kemudian mencoret satu kata dan menggantinya. Wajah bekas tangisnya dia basuh dengan air dingin. Lalu dengan peralatan yang dia punya, Nadia memoles make-up tipis pada wajahnya. Ada buket bunga yang harus ditangkap, pikir Nadia seraya membereskan peralatannya.
Untuk terakhir kali, Nadia mengecek penampilannya di cermin. Wajah yang menatapnya balik terlihat galak tanpa sebuah senyuman di bagian bibir. Tapi, Nadia tidak memaksakan sebuah senyuman seperti yang tadi dia lakukan. Karena dia yakin, suatu saat senyumannya akan kembali dengan sendirinya. Senyuman tulus. Tanda dia telah menemukan apa yang namanya kebahagiaan sejati itu. Seperti yang sudah ditunjukkan oleh kembarannya yang entah datang dari mana. Nadia melangkah keluar dari toilet. Meninggalkan kertas miliknya dan bergabung dengan para undangan lain. Aku akan bahagia. Bahkan ketika aku sendirian.
Cerpen Karangan: Jennifer Dwicahyani Blog: wattpad.com/user/jenniferdwi