Sorot matahari jingga menemaniku dalam termangu, memikirkan salah atau tidaknya keputusanku. Namun, setidaknya ia terlihat bahagia entah itu nyata atau semu. Jika dilihat dari sudut matanya yang berkerut ketika tersenyum, aku yakin ia tulus. Kini waktunya aku yang pergi, pergi untuk meninggalkan kebahagiaan di antara mereka. Seperti lagu let her go dari passanger yang salah satu liriknya, ‘only know you love her when you let her go’. Ya, lirik itu nyata. Tentang cinta yang ia biarkan pergi. Seperti aku, merelakannya untuk sahabatku. Bukannya aku bodoh atau munafik, tapi itu takdir yang sudah digariskan tuhan.
Satu tahun yang lalu… “Nak, Ibu ingin menceritakan sesuatu yang tidak kamu ketahui” ucap ibu padaku, sorot matanya penuh dengan rasa sedih, amarah, dan penyesalan. “Iya Bu, ada apa? Apa yang ingin Ibu bicarakan?” tanyaku penuh selidik dengan rasa penasaran yang memenuhi isi kepalaku. “Dia kakak kamu Dhea. Saat ia lahir, keadaan ekonomi keluarga kita sangat buruk. Entah apa yang dipikirkan oleh almarhum Ayahmu sehingga ia tega menitipkannya di panti asuhan. Umurnya berbeda satu tahun denganmu. Sungguh Ibu ingin bertemu dengannya lalu meminta maaf padanya. Maafkan Ibu Nak. Andai saja waktu itu Ibu bisa mengubah pemikiran Ayahmu, pasti sekarang kita bisa berkumpul bersama,” jelas ibu dengan air matanya yang mulai berderai. Tangannya tak henti mengusap potret seorang bayi yang baru lahir. Mungkin ia baru berani bercerita sekarang karena ayah telah tiada. “Namanya Albar Lazuardi, dia besar di panti asuhan Harapan Ibu. Ibu ingin kamu pergi ke sana lalu meminta informasi tentangnya. Ibu mohon tolong temukan dia, Ibu ingin sekali bertemu dengannya” Lanjut ibu meminta bantuanku. Kentara sekali bahwa ia sangat merindukannya dan juga menyesali perbuatannya dimasa lalu. Aku berjanji aku akan menemukannya karena aku juga penasaran dengannya. “Iya Ibu, Dhea pasti akan membawanya kemari untuk bertemu dengan Ibu” Jawabku mantap.
—
Minggu siang ini aku harus kembali ke sekolah karena panggilan dari organisasi. Teriknya matahari tidak menghapuskan semangatku untuk berangkat ke sekolah, karena ini memang kegiatan favoritku. Sesampainya di sana, sekretaris sedang mengabsen tiap anggota yang hadir.
“Ada yang namanya Dheanissa Anatasya, kelas 10 IPA-7?” tiba-tiba saja namaku dipanggil oleh salah satu kakak kelasku. ”Saya kak!” ucapku lantang agar terdengar olehnya. “Kamu ditunggu di ruang osis setelah rapat selesai” jelasnya singkat. Tumben sekali aku dipanggil, mungkin ada keperluan pikirku dalam hati.
Setelah itu, kami melakukan agenda rapat yang dilakukan setiap bulan seperti biasanya. Tak terasa matahari telah condong ke barat, tandanya hari sudah semakin sore. Rapat pun diakhiri. Namun, aku harus pergi ke ruang osis seperti yang tadi dikatakan oleh salah satu senior osis. Setibanya di sana hanya ada dia seorang diri. Aku pun masuk dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Saya Dhea kak, ada perlu apa memanggil saya kemari?” “Ini kakak menemukan buku kamu di kantin kemarin saat isitirahat” ujarnya lalu memberikan sebuah buku kepadaku. “Oh iya terimakasih kak” saat aku mengambilnya, tak sengaja tangan kami bersentuhan. Sungguh ini menciptakan suasana canggung di antara kita. “Eh ma-maaf kak” ucapku sedikit terbata-bata. Ia pun hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman yang tipis.
Saat aku hendak melangkah keluar dan membelokan badanku, tak sengaja mata kami bertemu. Iris matanya yang berwarna coklat membuatku berhenti sejenak lalu menatapnya. Tidak mau berlama-lama menatapnya, aku pun segera bergegas pulang.
Hari demi hari bulan demi bulan telah aku lewati, aku pun telah naik ke kelas 11. Kini aku tahu namanya, Albar Anandhito. Sekarang aku mulai dekat dengannya, perasaan yang tidak bisa aku sangkal pun telah tumbuh. Seperti saat ini, dia mengajakku pergi ke taman di sore hari.
“Kamu suka coklat Dhe?” tanyanya padaku dengan lembut, matanya selalu saja menatap tepat dengan iris mataku. Tentu saja hal ini membuatku nyaman. “Aku sih suka aja” jawabku padanya. Tak ada lagi bahasa formal diantara kita. Sapaan saya-kamu pun telah berganti menjadi aku-kamu. “Kalau begitu tunggu di sini ya, aku akan membeli es krim coklat di sana” ucapnya kemudian pergi ke pedagang es krim yang berada di seberang taman.
Sambil menunggunya, aku pun memperhatikan sekeliling taman dengan pemandangan senja yang indah. Tepat di depan tempatku duduk terdapat danau dengan airnya yang jernih dan ditumbuhi pohon disekelilingnya. Ditambah suasana yang teduh membuatku betah menghabiskan waktu di sini. Tak lama kemudian Albar datang membawa dua cone es krim.
“Sebenarnya aku ingin menceritakan masa laluku kepadamu, Dhea” ucapnya seraya menyodorkan satu cone es krim padaku. “Apa itu? Aku akan selalu siap untuk mendengarkannya” tanyaku padanya, tak lupa dengan senyum yang selalu tercipta saat sedang bersamanya. “Aku ini berasal dari panti asuhan, tepat saat aku lahir ayahku menitipkanku dipanti asuhan Harapan Ibu. Lalu pada saat umur tujuh tahun aku diangkat oleh keluarga Anandhito, sehingga namaku diubah menjadi Albar Anandhito. Oh iya, nama asliku Albar Lazuardi. Aku ingin sekali bertemu dengan keluarga kandungku”
DEG
Perasaan sedih kecewa dan bingung seakan menjadi satu memenuhi pikiranku. Bagaimana bisa seseorang yang selama ini aku cintai ternyata adalah sosok kakak yang aku cari. Sulit untuk menerima kenyataan ini. Di satu sisi aku bahagia, tapi di sisi lain ini terlalu tidak nyata bagiku. Mungkin ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menerimanya. Sebenarnya aku bisa saja melupakan rasa cintaku padanya. Namun, menerima dia –orang yang pernah aku cintai- sebagai kakak kandungku sendiri rasanya terlalu berat, terlalu mustahil.
“Dhea, are you okay? Kamu kenapa dari tadi malah bengong kaya gitu?” tanyanya dengan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Gak papa kok, aku cuman mau pulang aja” jawabku menghindari berbagai pertanyaan yang mungkin akan ia tanyakan padaku. “Ya udah aku antar pulang” tawarnya seramah mungkin padaku, tapi aku menolaknya dengan halus, saat ini yang aku butuhkan hanyalah menyendiri untuk mentralkan pikiranku. Selain itu, aku tidak ingin dia menyadari perubahan suasana hatiku setelah mendengar ceritanya. Segera saja aku pergi dengan menaiki taxi yang kebetulan lewat, mungkin tuhan sedang memihak padaku kali ini.
Selama perjalanan aku hanya memandang hampa kendaraan yang berlalu lalang begitu saja dari arah sebaliknya. Pikiranku dipenuhi akan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Seakan mengerti akan keadaanku, langit pun ikut menumpahkan kesedihannya. Hujan turun begitu derasnya menutupi suara dari isak tangisku, mengguyur setiap tempat seaakan menceritakan betapa menyedihkannya diriku.
Akhirnya disaat langit sedang cerah dan suasana sedang nyaman apa yang aku takutkan terjadi. Seharusnya ini menjadi hari yang tepat untuk memulai hubungan yang baru dengannya. Namun, sekali lagi aku tidak bisa. Tuhan telah melukiskan garis takdir yang lain.
“Dhea, sebenarnya aku mencintaimu. Mungkin terlalu cepat untuk mengatakan bahwa kamu segalanya untukku, tapi inilah kenyataannya Dhea” ucapnya dengan penuh kepastian padaku. Kutatap kedua matanya untuk mencari kebohongan di sana, tapi nihil hanya ada kejujuran dan ketulusan yang aku dapatkan dari sorot matanya. “Aku.. aku tidak tahu, aku akan menjawabnya nanti” jawabku dengan berusaha menahan air mataku yang mulai mendesak untuk keluar. Aku sadar dan aku tidak akan menerima pernyataan cinta darinya. Hanya saja, aku belum memiliki alasan yang tepat untuk menolaknya. Aku pun segera berlari ke toilet untuk meluapkan rasa sedih yang selama ini aku tahan. Dinding yang aku bangun selama ini akhirnya roboh setelah melihat ketulusan dari dirinya. Kini yang aku lakukan hanyalah menangis sejadi-jadinya dan berteriak dalam hati meminta agar semua ini tidak pernah terjadi. Namun tentunya itu mustahil.
Beberapa hari kemudian, Nadya sahabat dekatku bercerita bahwa ia menyukai Albar. Ini bagus bagiku, karena aku mempunyai alasan yang masuk akal untuk menolak pernyataan cintanya padaku. Aku tidak mungkin untuk memiliki hubungan yang spesial dengannya, karena ini salah. Semacam cinta terlarang dimana seorang adik perempuan yang tidak seharusnya mencitai kakaknya sebagai seorang pria dan begitu juga sebaliknya. Setelah lulus dari SMA, akupun memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, tepatnya di Irlandia, tempat yang selama ini aku impikan. Aku mengikhlaskan Albar untuk Nadya, karena aku tahu cepat atau lambat Albar pasti bisa belajar mencintai Nadya. Hanya surat singkat yang aku titipkan pada Nadya untuk albar saat aku tiba di Irlandia.
Teruntuk albar Albar ini Dhea, adik kelasmu. Kamu tahu, aku sangat mencintaimu. Aku yakin kamu menyadari bahwa aku berbohong saat aku bilang tidak menganggapmu lebih dari seorang kakak. Namun, ini salah Bar. Sebenarnya aku menjauhimu setelah tahu bahwa kamu adalah kakak kandungku. Ya, jika kamu tidak percaya kamu bisa mengunjungi rumahku, ajak Nadya dia tahu alamat rumahku. Dan juga satu permohonanku yang terakhir, aku harap kamu bisa menerima Nadya. Aku yakin jauh di dalam lubuk hatimu, kamu memiliki secercah perasaan dan harapan untuk Nadya. Semoga kamu bahagia dengan Nadya.
Cerpen Karangan: Pratiwi Maulana Blog / Facebook: Pratiwi Maulana Halo … namauku Pratiwi Maulana, aku senang menulis cerpen-cerpen karena menurutku itu mengasyikan dan dapat membuat suasana hatiku membaik. Terimakasih untuk kalian yang menyempatkan waktunya untuk membaca karyaku.