Suci namanya. Seorang gadis mungil berparas ayu, berusia 23 tahun. Ia telah hidup sebatang kara di ibu kota sejak usianya baru menginjak 18 tahun. Hidupnya berubah semenjak kepergian kedua orangtua tercinta untuk selamanya saat Suci baru lulus sekolah menengah atas. Ayah dan ibunya meninggal dunia dalam sebuah tragedi kecelakaan beruntun di jalur puncak Bogor sepulang mereka berlibur. Ya, semua berubah. Tawa dan keceriaannya lenyap. Langit biru berubah menjadi kelabu. Cahaya terang telah sirna ditelan kegelapan. Suci berada dalam sepi dan kesendirian.
Suci seorang anak tunggal berdarah Sulawesi. Ayah dan ibunya berasal dari kota Buton dan Kendari. Beberapa kerabat dari pihak ayah dan ibunya tinggal tersebar di kota kecil bagian negara Indonesia timur itu dan telah lama tidak berkomunikasi. Kakek dan neneknya pun semua telah tiada. Suci hanya pernah sekali pulang ke kampung halaman saat ia masih kecil. Hingga Suci lupa bagaimana rupa kampung halamannya sekarang.
Suci bukanlah anak orang kaya, tapi bukan pula terlahir dari keluarga miskin. Ayahnya mewariskan sebuah perusahaan konveksi yang sudah lebih dari 25 tahun berjalan. Namun sayang, Suci tidak siap melanjutkan usaha sang ayah di usianya yang masih remaja. Ia belum mengerti tentang bisnis. Selama 2 tahun, Suci berusaha semampunya menjalankan usaha peninggalan sang ayah namun hasil yang ia dapatkan jauh dari kata memuaskan. Sebenarnya ia tidak serta merta sendirian menjalankan perusahaan. Rudi, yang sejak lama menjadi kepercayaan ayahnya yang membantunya.
Semua tidak berjalan mulus sesuai harapan. Suci yang awam tentang bisnis harus pasrah saat usaha sang ayah yang dahulu susah payah dibangun harus gulung tikar karena terlilit hutang menggunung. Suci tidak tahu jika sang ayah memiliki hutang hingga ratusan juta kepada pihak bank dan beberapa rekan bisnisnya.
Jalan hidup seseorang memang tidak ada yang tahu dan tidak bisa ditebak. Saat itulah ia harus rela menjadi gelandangan dan terusir dari rumahnya sendiri. Hidup memang kejam dan Suci melewatinya dengan penuh tetes air mata. Ia terjatuh dan berada di titik terendah. Hingga seseorang datang menyelamatkan hidupnya. Saat itu Suci berjanji, bahwa pria itulah yang akan Suci jadikan tempat bersandar. Tempat yang ia tuju untuk pulang. Apalagi pria itu menjanjikan cinta dan kebahagiaan. Suci rela menyerahkan apa pun yang ia miliki dalam hidupnya. Untuk dia..
Suci baru saja memejamkan mata saat ponselnya yang tergeletak di atas laci berdering. Seharian sibuk mengurus bisnis kuenya yang baru Suci rintis begitu melelahkan harinya. Suci ingin segera beristirahat, namun suara meraung-raung itu membuat Suci kembali terjaga. Suci menghela nafasnya lalu meraih ponsel. Nama Bagas tertera di layar. Suci tak siap berbicara dengan pria itu, namun akal dan pikirannya tak sejalan. “halo..” cicitnya pelan mengangkat panggilan. “aku di depan rumah.” Jawab pria itu dari seberang sana. Klik! Suci mematikan sambungan telepon sepihak lalu turun dari ranjang.
Dengan tekad kuat mempersiapkan diri dari resiko sakit hati, ia mau menemui pria itu setelah sudah cukup lama menghindarinya. Dirasa pakaian yang ia pakai cukup sopan, piyama tidur berlengan panjang, Suci keluar kamar. Menuju pintu pagar rumah yang terkunci, di sana Suci melihat penampakan pria itu menunggunya dengan sabar dibalik jeruji.
Suci diam menundukan wajahnya saat membuka gembok. Tak ingin berlama-lama beradu pandang dengan Bagas meski ia tahu jika Bagas tengah menatapnya lekat. Dan Suci tidak ingin Bagas tahu, jika detak jantungnya berdetak sangat hebat di dalam rongga dadanya saat kembali berhadapan langsung dengan pria itu. “masuk!” ujarnya pelan setelah pintu pagar terbuka.
Suci berjalan lebih dulu ke dalam rumah meninggalkan Bagas yang harus memarkir mobil dan menutup pintu pagarnya. Suci tak peduli, Bagas bisa melakukannya sendiri. Lalu Suci duduk di sofa ruang tamu menunggu Bagas masuk. Tak sampai 2 menit, pria itu sudah muncul berdiri di hadapannya, menatap Suci tanpa berkedip.
“kembalilah pulang bersamaku, Suci!” ujar Bagas langsung sesaat setelah beberapa detik Bagas terdiam hanya memandangi Suci. Suci bergeming memalingkan wajah. Melihat penampakan Bagas ia kembali merasa terluka. Tak ada niat menjawab atau sekedar berbasa-basi mempersilakan Bagas untuk duduk. Suci tak peduli itu. Jika ingin, Bagas bisa duduk sendiri. Suci kembali memasang wajah paling dingin di hadapan Bagas. Ini mutlak hak seseorang yang sedang diliputi kekecewaan mendalam. Ia bebas ingin bersikap seperti apa.
“aku mohon pulanglah, sayang. Aku tidak sanggup harus terus berjauhan seperti ini. Tiga bulan cukup untuk kita memikirkan semuanya dan mencari jalan terbaik.” Pria berusia 35 tahun itu duduk di samping Suci. Berusaha meraih tangan wanita itu namun Suci dengan cepat menepisnya.
Wanita? Ya, Suci tak lagi menjadi seorang gadis. Ia sudah menyerahkan segala yang ia miliki pada Bagas. Sejak mengenal Bagas, ia kehilangan kesuciannya, kehormatannya dan kini ia juga sudah kehilangan jati dirinya.
“sayang, kamu dengar aku kan?” suara Bagas begitu lembut dan merdu. Suci membencinya. Karena kelembutan itulah ia menjadi hilang akal sehat. “Aku ingin kita bicara, Suci. Aku mohon jangan terus menghindariku.” Bagas masih berusaha mengajak Suci berbicara.
Tiga bulan lamanya Suci mengisolasi diri dari hidup Bagas. Hal itu membuat Bagas menderita. Kerinduan pada Suci terasa mencekik lehernya hingga Bagas tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ia bersikeras menemui Suci. Bagi Bagas, tiga bulan waktu yang cukup untuk masing-masing menenangkan diri dari kekacauan hati yang terjadi. Bagas berharap keputusan terbaik akan ia dapatkan malam ini. Suci kembali bersamanya.
“kenapa kamu nekat datang kemari? Bukankah semua sudah cukup dan jelas buat kita, mas? Apa kamu tidak membaca pesan yang aku kirim? Kita berpisah, itu adalah keputusan mutlak. Sekarang pulanglah, mas! Tolong tinggalkan aku sendiri!” suara Suci bergetar mengucapkan kalimat itu. Kalimat perpisahan yang begitu menyesakkan dadanya. Kalimat yang tak pernah ingin ia ucapkan namun kenyataan memaksa Suci harus mengatakannya. Tersiksa sangat jelas. Suci teramat mencintai Bagas dan berpisah adalah kesedihan tak berkesudahan untuknya. Namun Suci bisa apa? Mempertahankan Bagas agar tetap di sisinya? Rasanya itu tidak mungkin. Siapa dirinya untuk Bagas? Bukan pelabuhan terakhir dan hanya dijadikan Bagas persinggahan sementara. Ia hanya kebahagiaan semu sebagai pemuas nafsu sesaat Bagas. Kenyataan pahit yang mengiris hati Suci. Tetap bertahan di sisi Bagas membuat hatinya sudah tak kuat lagi menahan segala kesakitan. Menyesal, Suci tidak memikirkan resiko ini sedari awal.
“tidak akan Suci, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sangat mencintaimu. Aku merindukanmu, sayang, aku mohon kembalilah!” Bagas menggeleng, menarik paksa tubuh kurus Suci ke dalam pelukannya. Permohonan berpisah Suci adalah hal yang tidak ingin Bagas dengar dari mulut wanita yang sudah merampas sebagian hati dan jiwanya itu. Ya, hanya sebagian. Karena ada wanita lain yang juga memiliki hati dan jiwanya. Bagas tidak bisa menakarnya. Berapa besar cinta dan kasih sayangnya untuk Suci dan berapa besar untuk yang lainnya.
“Suci…” lirih Bagas dengan tatapan penuh kerinduan mendalam. Suci terdiam, tidak menolak maupun membalas pelukan Bagas. Di dalam dekapan hangat itu, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya luruh sudah. Mendengar pernyataan cinta dan kerinduan Bagas membuat pertahanannya runtuh. Ia juga merasakan hal yang sama, andai ia bisa mengatakan itu pada Bagas sekarang. Suci ingin Bagas tahu betapa ia juga sangat mencintai pria itu. Tapi Suci sadar siapa dirinya dan bagaimana kedudukannya di dalam hidup Bagas. Suci tidak ingin egois walau nyatanya ia sudah lebih dari egois selama ini. Ia adalah wanita yang jahat.
“Suci, aku merindukan hari-hari indah yang telah kita lewati bersama, sayang. Aku sangat merindukan dirimu.” Bagas semakin erat mendekap Suci. Berulang kali Bagas mengecup puncak kepala Suci dan mengelus lembut punggungnya. Menghirup sepuasnya feromon Suci yang begitu Bagas rindukan. Bagas memejamkan mata diiringi lelehan bulir bening yang tanpa permisi turun membasahi pipi tirus pria itu. Dasar pria cengeng!
Suci semakin terisak di dada Bagas. Kedua tangannya kini balas memeluk punggung kokoh itu. Punggung liat yang selama 3 tahun ia jadikan sandaran dikala gundah datang. “Bagas… hiks!” isaknya pilu. Suci semakin erat memeluk Bagas, pria yang selalu melingkupinya memberikan kehangatan dan perlindungan.
Lihat! Ia begitu lemah dan egois bukan? Sekuat tenaga Suci bertahan untuk tak beramah tamah dengan Bagas namun akhirnya Suci menyerah. Suci menikmati kehangatan Bagas yang seketika mengaliri di setiap desir darahnya. Ya, Suci memang egois. Itu sifatnya manusia. Meski terlarang untuknya, ia tetap menyalurkan kerinduannya yang sudah seperti mau meledak kepada Bagas. Pria yang Suci cintai namun tak mungkin ia miliki. Bagas milik orang lain.
Bagas mengusap lembut rambut hitam panjang Suci. Sentuhan Bagas menjadi obat penenang Suci dari kekacauan hatinya saat ini. Bagas merasakan hal yang sama. Tak hanya itu, keberadaan Suci di dekatnya mampu mengembalikan gairah hidup Bagas. Sulit Bagas ungkapkan rasa yang membuncah di dadanya. Bahagia tak terkira ketika wujud Suci berada di sisinya setelah tiga bulan Suci jauh dari jangkauan.
“pulanglah, sayang!“ bujuk Bagas mengurai pelukan. Bagas menatap dalam mata bulat beriris hitam milik Suci penuh kerinduan. Bagas ingin Suci kembali berada di dekatnya. Meski tidak hidup satu atap setiap waktu karena Bagas harus berbagi perhatian untuk dua wanita sekaligus, Bagas ingin dan sangat bahagia jika Suci tinggal di salah satu properti miliknya. Sebuah rumah di kawasan elit yang sudah ia berikan ikhlas untuk Suci. Rumah yang sudah tercatat atas nama wanita itu, beserta segala fasilitas mewahnya, juga rekening berisi 9 digit. Entah alasan apa yang membuat Bagas rela mengorbankan banyak materi untuk Suci. Ini murni tanpa paksaan. Ia menyayangi Suci dan apa pun akan ia berikan untuk wanita itu meski Suci lebih sering menolak pemberiannya.
Suci menyeka air matanya dengan punggung tangan. Bagas membantunya. Suci menatap Bagas yang juga tengah tersenyum menatapnya. Detik selanjutnya Suci menyadari kesalahannya dimana ia sudah terang-terangan menikmati sentuhan, kehangatan dan kelembutan Bagas. Lagi. Padahal ia sudah berjanji tidak akan mengulangi kesalahan fatal itu.
“aku tidak bisa!” tolak Suci. Wanita itu kembali memasang wajah dingin. Ia akan tetap pada keputusannya, yaitu berpisah. “Suci..” Bagas menatap Suci penuh permohonan. “mas! Semuanya sudah berakhir!” tolak Suci penuh ketegasan. Suci tidak ingin terlihat lemah dan rapuh di hadapan Bagas. Ia tidak ingin Bagas tahu bahwa bukan itu sebenarnya yang ia inginkan.
Suci menatap mata hazel nan indah milik Bagas. Meneliti setiap jengkal keindahan rupa Bagas yang ia gilai selama ini. Tuhan.. mungkin ini akan menjadi yang terakhir kalinya bagi Suci menatap mata itu. Air mata Suci kembali berlinang melihat rupa Bagas sekarang yang terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Kantung mata itu jelas memperlihatkan kualitas tidur Bagas yang buruk. Pipi tembamnya tirus dan bulu-bulu halus itu dibiarkan tumbuh liar menghiasi wajah Bagas. Apa Bagas lebih kacau dari pada dirinya? Suci tidak tahu.
“aku tahu aku salah dan aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi. Izinkan aku untuk memperbaiki semuanya, Suci.” Ujar Bagas bersungguh-sungguh. Suci memalingkan wajah tak sanggup menatap mata sendu Bagas lagi. Suci tak ingin kembali terbuai dengan keindahan semu yang tak sepantasnya ia miliki. Dan Bagas tidak semudah itu menyerah. Kedua tangan pria itu sudah lebih dulu menangkup wajah Suci agar tetap menatapnya. Dan menatap mata Bagas adalah kelemahan Suci. Bagas yang pandai.
“semua tidak akan bisa diperbaiki semudah yang kamu ucapkan, mas. Tidak! Karena janji suci kamu pada Luna sudah ternoda dan akulah penyebabnya. Dan sikap mas padaku malam itu memperlihatkan segalanya. Siapa aku sebenarnya dalam hidupmu dan bagaimana kedudukan aku di hatimu, mas. Aku sadar siapa diriku dan aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.. hiks!” bergetar Suci berkata diiringi lelehan air mata. Suci kembali terisak. Kalimatnya tersendat. Sesak di dadanya tak kunjung enyah. Dan Suci benci air matanya yang tanpa permisi kembali mengalir di pipi mulusnya.
“Suci, dengar! Maafkan aku atas semua sikap ku pada mu malam itu. Aku tahu ini menyakitkan untukmu tapi itu semua bukan kemauanku.” Bagas mencoba menjelaskan dan berusaha menyatukan kening mereka. Suci dengan cepat menggelengkan kepala. “Jika kamu memang mencintaiku, seharusnya kamu bisa lebih menghargai perasaanku. Aku tahu Luna istri mas. Tapi bisakah kamu menjaga sikap mas untuk menghargai perasaanku sebentar saja? Dengan tidak menunjukkan kemesraan-kemesraan kalian itu tepat di depan mataku, mas!” teriak Suci frustasi. Ia melepas paksa tangan Bagas dari wajahnya.
Suci kembali marah teringat sikap Bagas yang terang-terangan memperlihatkan kemesraan bersama Luna istrinya, di depan mata kepalanya sendiri. Tak sengaja malam itu, ia bertemu Bagas dan istrinya di sebuah acara makan malam pesta pernikahan teman Bagas. Suci datang sendiri karena Temmy, temannya berhalangan hadir. Sedang Bagas menggandeng mesra Luna dan memperkenalkan Luna kepada khalayak ramai bahwa wanita cantik itu adalah nyonya Pradipta. Suci bisa apa? Ia sadar dirinya bukan siapa-siapa tak lebih dari hanya seorang wanita simpanan. Ia tak sebanding dengan Luna. Wanita itu begitu cantik dan anggun dengan segala kelebihan yang tak dimiliki Suci. Suci merasa dirinya tertinggal sangat jauh dan tak layak jika harus dibandingkan dengan wanita berkulit putih bersih dan berambut coklat itu.
Malam itu, dengan menahan segala sesak di dada, Suci sangat puas ketika dirinya diharuskan berakting menjadi orang asing di hadapan Bagas. Tak hanya itu, ia harus muak menonton setiap adegan kemesraan Luna bersama Bagas. Apa ada hak ia untuk marah? Seorang wanita simpanan yang hanya memanfaatkan kekayaan dan segala perhatian Bagas untuk kelangsungan hidupnya. Namun sekali lagi, ia Suci yang egois. Seharusnya sebagai pemeran tokoh antagonis, tak sepantasnya ia merasa paling teraniaya.
“Aku minta maaf.” Bagas berusaha meraih tangan Suci lagi. Bagas merasa sangat bersalah. Terlebih tak lama setelah malam itu, perselingkuhannya bersama Suci terbongkar. Luna mengetahuinya saat tak sengaja melihat Bagas tengah bersama-sama Suci di sebuah restoran mewah. “posisiku sangat sulit malam itu. Aku mohon mengertilah keadaanku, sayang.” Bagas tak mau menyerah meyakinkan Suci. Dasar perayu ulung! Suci mencibirnya. “huh! kamu sudah tahu ini sulit, tapi kenapa masih mau bersikap bodoh sekarang? Apa yang kamu pikirkan, mas?” tanya Suci geram. “karena aku yakin, aku bisa memperbaikinya.” jawab Bagas cepat. “memperbaiki apa? setelah semuanya hancur?? Pernikahanmu? Perasaan Luna? Perasaanku? Keluargamu? Keluarga Luna lalu aku? Apa kamu memikirkan semua itu, mas?!” tanya Suci emosi. Dadanya kembang kempis menahan luapan amarah yang sejak lama ia tahan dan ingin sekali meledak.
Bagas terdiam memikirkan pertanyaan Suci. Semua memang sudah tak seindah dan sebaik dulu. Benarkah semua kebahagiaan yang ia bangun telah hancur? Teringat senyum dan tawa Luna telah berubah menjadi air mata karenanya. Karena keegoisannya. Janji suci pernikahannya bersama Luna pun kini telah ternodai oleh pengkhianatannya. Impian dan harapannya bersama Luna perlahan telah kandas terkikis perselingkuhan busuknya.
Bagas lalu menatap Suci di hadapanya. Wajah cantik dan polos itu tak lagi tersenyum. Penderitaan wanita itu hanya sesaat pergi dari hidupnya justru kehadirannya menambah derita yang lain. Mata indah itu terus menerus mengeluarkan air mata kesakitan karenanya. Kebahagiaan, tawa, cinta dan kasih sayang yang ia berikan dan ia janjikan untuk Suci selama ini ternyata hanya fatamorgana. Hanya bayang-bayang semu. Pada kenyataannya, derita dan luka yang ia berikan untuk wanita penuh kelembutan itu. Derita tak berkesudahan.
“jawab mas! Jawab!” Suci mengguncang lengan Bagas. Bagas kembali terseret ke dunia nyata. “aku tahu Suci, tapi lihatlah semuanya telah terjadi. Lalu apa aku harus menyalahkan takdir? Kenapa takdir mempertemukan kita? Kenapa aku harus jatuh cinta padamu teramat dalam padahal aku tahu aku sudah memiliki Luna? Kenapa pula kamu juga harus jatuh cinta padaku dan kita nekat menjalani kisah terlarang ini?” Bagas menatap Suci lekat. Dadanya bergemuruh menahan segala rasa. “apa aku harus menyalahkan takdir?” tanya Bagas lagi. Tangannya mengepal di pangkuannya. Kini giliran Suci yang terdiam. Mencerna semua yang sudah ia lalui.
Apa ia harus menyalahkan takdir? Tidak! Ini murni kesalahannya bersama Bagas. Ia yang sudah terbuai oleh kebaikan dan segala perhatian Bagas. Pesona Bagas dan lemahnya keimanan Suci yang sudah menyeretnya terjerumus pada jurang kenistaan. Kebahagiaan dan kenikmatan sesaat yang sarat dengan lumuran dosa.
Bagas memang pria baik hati, awalnya. Bagas menolongnya saat Suci tengah terlantar serta terlilit hutang ratusan juta. Bagas yang menolongnya saat Suci terusir dari rumahnya sendiri dan hidup menjadi gelandangan. Ternyata hal itu tak berarti sebuah ketulusan. Bagas menginginkan Suci sebagai penggantinya. Dan pilihan Suci sangat tidak tepat menjadikan Bagas sebagai tempat yang ia tuju dan bergantung setelah ia tak memiliki siapa pun. Bagas sudah memiliki Luna dan Suci mengelak dari kenyataan itu sedari awal. Memanfaatkan kebaikan Bagas ternyata menjadi bom waktu untuk Suci yang sewaktu-waktu akan meledak menghancurkan dirinya. Sekarang terimalah resiko pahit itu. Malaikat penolongnya justru menjadi sumber kesakitannya sekarang. Ternyata Suci salah. Bukan harta dan kemewahan yang ia inginkan dari Bagas. Tapi memiliki Bagas seutuhnya. Ia mencintai pria itu.
“Mas, aku mohon kita akhiri semua ini sekarang. Jangan mempersulit keadaan. Aku tidak ingin menyakiti Luna lebih dalam lagi. Aku sudah menghancurkan semuanya. Aku tidak pantas bersenang-senang bersama kamu sementara dilain pihak ada orang lain yang tersakiti. Seharusnya aku menyadari ini sejak awal tapi aku terlalu naif. Aku menyesal dan aku sungguh-sungguh minta maaf pada Luna. Meski aku tahu, seribu kata maaf pun tidak akan mengembalikan apa yang sudah aku rebut darinya. Perhatian kamu, kasih sayang dan cintamu, limpahan materi juga berbagi tubuhmu, mas. Hiks!” ujar Suci tak kuasa menahan tangisnya lagi. “Tidak Suci. Bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak ingin kita berpisah. Menikahlah denganku. Aku ingin memulai semuanya dari awal.” Suci menatap Bagas tak percaya atas apa yang baru saja dikatakan pria itu. Menikah dengannya? Ini gila. “apa mas sudah gila? Apa mas tidak memikirkan perasaan Luna?” desisnya tak percaya. “Luna sudah memberikanku izin untuk menikahimu. Aku ingin memulai semuanya dari awal. Aku, kamu dan juga bersama Luna. Aku tidak bisa jika harus berpisah denganmu atau Luna. Aku tidak bisa memilih salah satu di antara kalian karena aku mencintai keduanya. Suci aku mohon luluskanlah keinginanku.” Jawab Bagas sungguh-sungguh. Poligami kah maksud Bagas?
Suci menggeleng keras lalu tertawa sumbang. Sungguh, ia tidak mengerti jalan pikiran Luna. Jika benar begitu, apa ada seorang istri yang rela suaminya menikahi selingkuhannya? Menikahi wanita lain yang secara fakta telah menghancurkan kebahagiannya. Suci wanita jahat. Ia perusak rumah tangga orang. Ia wanita simpanan yang menjadi benalu di kehidupan Bagas dan Luna. Suci merasa sangat terhina dan kotor. Nama yang ia sandang tak sesuai dengan kehidupanya yang berlumur dosa. Ia tak sesuci namanya. Dan ia malu jika harus bersanding bahagia bersama Bagas di atas penderitaan Luna. Menjadi bagian hidup mereka? Suci tak punya muka berhadapan dengan keluarga Luna dan Bagas yang sudah begitu baik padanya. Mereka yang telah Suci khianati. Suci sungguh malu. “kamu jangan konyol, mas! Maaf, aku tidak bisa. Tolong, hargai keputusanku. Aku juga berhak menentukan jalan hidupku sendiri sekarang. Dan aku berhak menolak keinginan gila kamu itu. Jika mas ingin memperbaiki semuanya, maka perbaikilah hubungan mas bersama Luna. Bukan semakin menyeretku masuk ke dalam kehidupan kalian. Aku hanya benalu. Aku wanita hina pengganggu rumah tangga mas dan Luna. Bahkan sebutan pel*cur pun terlalu baik untukku. Aku lebih dari itu.” Suci berdiri bergegas meninggalkan Bagas setelah menyampaikan keputusannya. Dengan berurai air mata, Suci masuk ke dalam kamarnya mengurung diri. Bagas yang terus membujuknya pun tak dihiraukan. Suci ingin sendiri. Suci ingin semuanya segera berakhir. Tekadnya sudah bulat, Suci tidak ingin mengubah keputusan berpisah itu apa pun alasannya.
Semua sudah cukup baginya. Penghinaan dan segala caci maki yang ia terima. Sebutan dan gelar sebagai pel*cur dari orang-orang pun sudah ia terima dengan suka rela. Suci tersenyum miris. Sebutan itu masih terlalu baik untuknya. Suci merasa ia lebih dari seorang pel*cur. Ia wanita simpanan yang tak tahu diri. Ia sungguh hina dan jahat. Merampas milik orang lain, menikmatinya sesuka hati dan sekarang ingin memilikinya seorang diri.
Suci merenung memeluk diri sendiri dalam kesepian. Derai air mata dan segala kesedihan yang terasa mencekik lehernya ingin segera Suci akhiri. Tapi kapan? Mungkin dengan melepas Bagas, sesak dan rasa sakit di dada itu perlahan akan hilang. Dan Suci pasrah jika harus melepas Bagas dari hidupnya dan melupakan pria itu beserta segala kenangan indahnya. Ia harus siap menjalani hari-hari dengan kesepian dan seorang diri lagi.
Dalam kesendirian, Suci kembali menata masa depannya. Ia ingin pergi ke tempat yang paling jauh, yang tak ada satu pun orang mengenalnya. Suci ingin kembali memulai kisah baru. Memperbaiki segala kesalahannya di masa lalu. Ia ingin kembali menjadi Suci yang dulu walau kenyataan itu akan sulit ia wujudkan. Suci menyadari, sebuah kertas yang putih, akan tetap menjadi putih. Dan sesuatu yang telah ternoda, akan tetap ternoda. Namun Suci percaya, bahwa Tuhan maha mengampuni segala dosa-dosa umatnya. Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Biarkan Tuhan yang akan membalas segala dosa-dosanya. Ia akan belajar dan memetik hikmah dari apa yang telah terjadi dalam hidupnya.
“Biarkan kisah terlarang kita hanya ada dalam kenangan, mas. Terima kasih atas semua yang telah engkau berikan kepadaku. Jangan risaukan aku. Ternyata, sekarang aku tak lagi sendiri. Ada malaikat kecil yang bersemayam dalam rahimku. Dia benih cinta kita berdua, mas. Dia yang akan menjadi tujuan dan penyemangat hidupku sekarang. Dialah yang akan membuat cahaya Suci tetap menyala. Biarlah aku mencintaimu dalam diam. Maafkan aku yang tanpa permisi telah masuk ke dalam hidupmu dan mengacaukan kedamaianmu. Semoga kamu selalu bahagia.”
Suci pergi ke suatu tempat dimana ia akan memulai kisah barunya. Tempat dimana Suci yakin, Bagas tidak akan menemukannya.
Suci, ketika hidup tak selayaknya nama. Suci mengerti, tak selamanya kertas kehidupan selalu putih. Pasti akan ada hitam yang menyertainya. Ia hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Suci, hanyalah sebuah nama yang terselip sebuah do’a yang diharapkan kedua orangtua untuknya. Ia tak sesuci namanya. Ia tak sempurna. Dan kesempurnaan hanyalah milik Tuhan-Nya.
Selesai…
Jakarta, 12 Juni 2017
Cerpen Karangan: Yosnalita Blog / Facebook: Nalitha