Halo, pangeran. Aku hanya mau menyapamu saja. Bagaimana kabarmu dengan wanita barumu? Haha, pasti baik baik saja kan? Oh ya, pangeran, aku mau memberi tahu kau sesuatu. Kau tahu? Kemarin aku kecelakaan loh. Ceroboh sekali ya kan? Hahaha, sudahlah. Sekarang aku masih di rumah sakit. Kemarin, aku sempat koma seharian. Aku sadar setelah melihat kau hadir di mimpiku. Hei, pangeran, aku kangen sama kamu nih! Sampai kebawa mimpi buktinya. Pangeran, bisakah kamu menjengukku? Aku didiagnosis leukimia. Jenguklah aku, pangeran. Aku rindu suara dan senyumanmu. Ketahuilah, sebenarnya aku tak rela melepasmu. Well, mau gimana lagi? Memang kita ini bukan jodoh (pd amat aku ini). Kata dokter, hidupku tinggal hitungan hari. Kuharap, sebelum aku meninggalkan dunia ini, aku masih sempat melihat senyumanmu. Maafkan diriku yang egois ini. Untuk memaksa dirinu agar tetap bersamaku. Jujur saja, aku tak bisa merelakanmu dengannya!
Perlahan, kudengar derap langkah kaki. Seseorang berdiri diambang pintu. Kulihat, itu kau, pangeran. Aku hanya tersenyum menatapmu. Dengan diary yang kupegang dan linangan air mata. “Kalila,” Tanganmu tergerak ke arahku. Mengusap air mata yang membanjiri pipiku. “Hai, Mufidh. Apa kabarmu? Aku tau jika kau pasti datang menjengukku,” Pelukan hangatmu menyelimuti tubuhku. Nafas hangatmu meniup tengkukku. Senyumanmu begitu teduh, sayang. “Kalila, kumohon kembalilah padaku. Sejujurnya aku tak mampu melepasmu. Aku tau, kata kataku waktu itu begitu kasar padamu,” “Mufidh, untuk apa aku mengulang kembali kisah yang sudah kulalui? Maafkan aku yang terlalu egois padamu,” aku diam, menundukkan kepalaku. “Jangan bilang begitu, Kalila. Aku hanya ingin hidup bersamamu saja. Kumohon kembalilah, sayang,” Aku menggeleng, tersenyum menatapmu. Perlahan, kulepaskan genggamanmu. Maafkan aku, pangeran. Sejujurnya, aku tak mau mengatakan ini. Tapi, kau sudah menghancurkan hatiku. Percuma saja kau meminta maaf. “Gadis murahan sepertimu tak pantas mendapatkan diriku!” Dan ingatkah kau? Kata katamu masih terbayang di kepalaku, Mufidh.
Menarilah dan terus tertawa. Walau dunia tak seindah surga. Bersyukurlah pada yang Kuasa. Cinta kita di dunia, Selamanya..
Masih ingatkah lagu itu, sayang? Masih ingatkah kau bermain gitar dan menyanyikan lagu itu? Tentu saja masih. Aku masih merekam disaat kita menyanyikan lagu itu bersama.
“Hei, Cantik, melamunkan apa? Wajah cantikmu tanpa dipoles make up sedikitpun, tetap cantik walau kau sedang sakit. Hei, tersenyumlah. Karena kau akan terlihat cantik jika tersenyum,”
Iya, kau memujiku, Mufidh. Terima kasih. Jujur saja, hati ini masih milikmu. Aku menutup hati untuk siapapun. Hanya karena aku menunggumu kembali. Tapi, aku tak mau mengulang kisah yang sudah kulalui denganmu. Aku ingin, kita hidup bersama. Merawat anak anak kita sendiri. Umurku sudah 22 tahun, Mufidh. Mau sampai kapan kamu seperti ini?
“Cukup, Mufidh. Jangan seperti ini terus. Kau hanya akan menyakiti dirimu jika seperti ini. Wanita yang lebih baik dariku, masih banyak di luar sana. Pergilah, pangeran. Aku melepasmu. Aku membiarkanmu bahagia meski bukan bersamaku,” Ujarku. “Kenapa, Kalila? Kenapa?” Tanyanya. Perasaan bersalah tiba tiba menyergap diriku. Kenapa Ya Allah? Adakah salahku terhadapnya? Kepalaku terus saja berkata, “Sudahlah! Untuk apa menerima kembali laki laki yang sudah menghancurkanmu?!”. Lain lagi dengan hati kecilku, “Kalila, mungkin kali ini dia tulus kembali padamu. Tak ada salahnya kan kamu menerima dia kembali?” Sulit membuat keputusan. Ketahuilah, pangeran. Aku ingin sekali hidup bersamamu. Kapan hal indah itu terjadi? Akankah selamanya tak akan terjadi, sayang? Beri aku sebuah jawaban. Sebelum leukimia ini merenggutku.
Aku berjalan ke arah balkon. Mendongakkan kepala. Menatap langit yang sepi bintang. Aku berbalik, kupicingkan mataku ke arah meja. Apa itu sebuah surat? “Hei, cantik? Sudah bangun? Kamu benar benar sama sekali tak berubah ya? Suka sekali tidur. Memang dasarnya kebo. Hahaha.” Kulihat tulisan tangan manis itu. Mufidh? Kapan kau pergi? Aku tak mau sendiri di sini. Di sinilah aku berdiri. Di lantai 5. “Sayang, mungkin ini hari terakhir kau melihatku. Lagipula, hidupku juga tak lama lagi. Jadi…” kulepaskan genggamanku. “Apa kau sudah gila?!” Aku mendongak. Mufidh? Masih sempatnya kau menyelamatkanku disaat seperti ini? Kau menarikku ke atas. Menatapku gusar. “Hei, hal gila apa yang baru saja kau lakukan?! Jawab aku!” Tanganmu dengan keras mengguncang tubuhku. Aku masih terdiam seribu kata. “Aku.. hanya tak mau membuatmu terus menerus tersakiti olehku,” jawabku lirih. “Kalila. Kau tau sesuatu? Aku tak mau kehilangan dirimu, mengerti? Walau kini aku bukan siapa siapamu. Ketahuilah! Aku sangat menyayangimu lebih dari yang kau tau, sayang.” Jujur saja, aku ingin sekali memelukmu. Tapi, kita bukan muhrim. Jadi, kutahan keinginanku. Biarkan hanya Allah yang tau. “Sudah malam, Mufidh. Sebaiknya kau pulang. Mau menemaniku di sini juga tak apa,” ujarku pelan. Aku berjalan ke arah ranjang.
BRUAK!! Seketika semua berubah gelap. Cairan merah menetes keluar dari hidungku. “Hei! Kalila! Sadarlah! Bertahanlah, akan kupanggilkan dokter secepatnya.” Dengan langkah begitu gontai, Mufidh mencari pertolongan. Pikirannya sangat kacau. Ia menceritakan semuanya. Hal buruk yang baru saja menimpa Kalila.
Ketika hari menjelang pagi, tak kurasakan hangatnya mentari yang menyentuh tubuhku. Apakah aku sudah mati? Ini rohku yang terpisah dari tubuhku? Kulihat Mufidh tak berhenti menangis. Oh Ya Allah, kenapa Kau begitu kejam terhadapnya? Beri dia pengganti yang lebih layak dibanding aku. Ya Allah, bahagiakanlah dia sebagaimana Engkau membahagiakan diriku. Buatlah dia tetap tersenyum ketika Engkau menghujaninya berbagai cobaan. Kuatkanlah dirinya ketika dirinya mulai rapuh.
“Kalila, kamu tau sesuatu tidak? Sebenarnya, pagi ini aku hendak melamarmu. Menjadikanmu ibu dari anak anakku kelak. Tapi, Allah terlalu cepat menjemputmu. Kalila, aku hanya ingin kamu tau, jika kamu salah paham dengan wanita itu. Maafkan kata kata burukku terhadapmu. Mungkin orang seperti aku tak pantas mendapat kata maaf darimu. Subhanallah, Kalila, kamu meninggal dalam keadaan tersenyum. Ikhlaskah kamu dengan semua hal yang menimpamu? Mengapa kamu baru bilang sekarang, sayang? Aku sungguh terkejut ketika mendapat kabar dari temanmu jika kamu baru saja kecelakaan. Aku mencarimu beberapa hari ini. Melalui teman hingga tetanggamu. Kamu menghilang begitu saja, seakan lenyap dari bumi. Dan ketika aku menemukanmu, mengapa harus ini yang kudapat?” Mufidh tak henti hentinya mencium keningku walau dia tau, aku sudah tak ada untuknya.
Perlahan, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. “Tak apa, sayang. Aku sudah mengikhlaskanmu. Semoga amal dan ibadahmu diterima di sisi Allah Swt.” Lelaki itu pergi. Sesaat, menatap ke belakang. Berharap diriku terbangun dan mengejarnya.
Kalila tak bermaksud seperti ini. Kalila sebenarnya tak mau meninggalkan sosok lelaki yang selama ini ditunggunya. Mufidh, nama itu akan selalu ada di hati Kalila walau dirinya sudah tak lagi ada di dunia. Kalila sempat mengucapkan kata terakhirmya sebelum ajal menjemputnya, “Laa ilahailallah. Buatlah Mufidh tetap berbahagia meski bukan denganku.” Sakaratul maut sudah dilaluinya. Dan malaikat perlahan mencabut nyawanya.
Memang, kita tak pernah tahu kapan kita mati. Bisa hari ini, besok, lusa, tahun depan, atau kapanpun. Perbanyaklah amal sholeh. Kelak kita akan meninggal dalam keadaan Khusnul Kotimah. Amiin Alluhuma Amin.
END
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri Blog / Facebook: Rhytmawan Arnold