Tempat yang sama, kursi yang sama, dan meja yang sama, tapi dengan orang yang berbeda. Duduk di pojok ruangan tidak buruk. Dari meja ini aku bisa menatap banyak hal di depanku. Tapi, sesuatu yang hilang tak mungkin kutatap kembali. Sudah pergi jadi biarlah.
Menikmati pembicaraan beberapa pasang kekasih bicara dengan hangat. Tak jarang satu di antara pasangan itu pegangan tangan. Entah apa yang mereka nikmati, hanya perasaan takut kehilangan mungkin. Dari meja ini aku hanya melirik dan menguping.
“Pesan apa mba?” tanya pelayan yang datang ke mejaku. “Robusta satu.” “Makanannya mba?” “Donat duren satu.” “Kalo ada tambahan bisa ke kasir mba biar nan..” “Cepet pergi!” aku memotong omongannya dengan kasar.
Pelayan itu terkejut dan kemudian pergi dengan sedikit berlari, khawatir emosiku kembali meledak. Wajah pelayan itu kulihat pucat. Tanpa sentuhan dan kontak fisik apapun wajah pucat pelayan itu menular kepadaku. Aku lemas, air mata meleleh di pipiku bagai sungai tanpa hambatan, mengalir deras.
Aku menyadari semua orang di cafe ini memandangiku dengan heran dan penuh pertanyaan. Aku juga menyadari bahwa tak akan ada seorang pun dari semua yang ada di cafe akan berani menenangkanku. Aku bahkan berani menebak bahwa lebih dari satu di antara mereka menganggap aku gila. Aku tidak gila, hanya mendekati.
Malam ini malam pertama aku kembali ke cafe ini. Cafe yang jadi favorit kita, yang jadi tempat cerita kita tumbuh. Iya, aku bicara dengan kamu, kamu yang sudah pergi. Dan yang saat ini aku lakukan hanya menangis di sudut cafe. Sambil menunggu pesananku datang. Hanya itu yang bisa aku tunggu, karena kamu sudah tak mungkin kembali.
Sudah sejak lima bulan yang lalu pertemuan pertama itu terjadi. Tapi, kenangan itu tidak akan pernah hilang. Kehilangan memberikan banyak pelajaran penting, salah satunya mengajarkan bahwa tidak semua hal dapat digantikan. Termasuk kenangan aku dan kamu.
Sore itu hari minggu, hari yang layak untuk berselancar di dunia maya sambil minum kopi. Aku memutuskan untuk lebih baik pergi ke cafe. Selain lebih menyenangkan ketimbang di rumah, aku juga berpikir di cafe nanti mungkin aku bisa berjumpa pria tampan. Wanita mana yang tak suka pria tampan?
Cafe itu berada di pinggir jalan besar ibukota. Beruntungnya cafe itu memiliki kaca bening besar yang menjadi jendela sekaligus pembatas cafe itu dengan jalan besar di depannya. Di dalam cafe cukup remang walau masih pagi karena cahaya yang masuk hanya sedikit. Ditambah hiasan dinding yang memukau, cafe ini mungkin akan jadi tempat favoritku untuk sekadar minum kopi.
Aku masuk kemudian duduk di sudut ruangan. Mengambil laptopku dan mulai berselancar di dunia maya.
“Pesan apa mba?” tanya pelayan yang entah kapan muncul di mejaku. “Arabika satu, makanannya nanti saya pesan sendiri,” jawabku. “Oke mba nanti pesanannya saya antar,” jawab pelayan.
Aku kembali dengan kegiatanku sebelumnya dan mulai mencari berita hangat apa lagi yang sekiranya enak untuk dibaca. Tapi, aku tak menemukan sesuatu yang menarik hingga akhirnya aku bosan. Mungkin karena aku sendirian di meja ini. Sampai tak lama kemudian pelayan itu datang membawa pesananku dengan sesosok pria tampan dengan rambut gondrong di belakangnya yang sebenarnya tidak kupesan.
“Boleh aku duduk?” pria itu bertanya seiring dengan pelayan yang sedang meletakkan pesananku. “Boleh,” entah mengapa aku mengatakan itu, refleks, kupikir karena dia tampan, aku suka. “Robusta sama donat durennya satu ya mas,” pria itu memesan kepada pelayan. “Oke mas nanti pesanannya saya antar,” jawab pelayan.
Pelayan itu kembali pergi, meninggalkan aku bersama orang asing yang kemudian aku tahu namanya adalah Doni. Baru beberapa kata yang ia keluarkan tapi aku sudah mengambil kesimpulan bahwa dia adalah orang yang ramah. Caranya berucap juga seru, intonasinya indah. Dia pribadi yang menyenangkan, aku suka.
Sendu senja mulai menjelang, aku rasa sudah saatnya aku pamit untuk pulang ke rumah. Doni hanya mengangguk tanda mengizinkan. Padahal aku sangat ingin dia menahanku, setidaknya meninggalkan kesan bahwa dia tak ingin aku lekas pergi. Tapi tak dilakukannya, aku bergegas pergi meninggalkan cafe tersebut. Sampai aku terhentak tatkala tanganku yang hendak menarik gagang pintu ditahan seseorang.
“Biar aku antar,” kata Doni.
Ah, rasanya saat itu aku ingin teriak bahagia. Cuma satu kalimat tapi hatiku dia buat kiamat. Di motor, Doni terlihat berbeda dia jadi banyak bicara dan saat itu aku tahu bahwa aku jatuh cinta. Motor Doni tiba di rumahku saat waktu menunjukan pukul lima sore. Ia pamit dan bergegas pergi. Dia pergi membawa begitu banyak jawaban atas pertanyaan di kepalaku yang belum sempat aku keluarkan. Kecuali nomer handphone yang ia tinggalkan, tanda bahwa akan ada pertemuan selanjutnya.
Benar saja, pertemuan itu membawaku kepada pertemuan selanjutnya dengan Doni. Membawa perasaanku kian meningkat pula. Aku bahagia, kalo saja pertemuan pertama itu tak pernah terjadi mungkin aku tak akan sebahagia ini.
Kian hari kian dekat pula hubunganku dengan Doni. Satu bulan setelah pertemuan pertama itu aku dan Doni resmi menjalin hubungan spesial. Aku mengetahui banyak hal tentang dia seperti kebiasaannya menaruh salah satu telapak tangannya di atas cangkir kopi sebagai tanda bahwa ia sedang berpikir.
Setiap malam minggu kami selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu. Uniknya setiap kali kami keluar, tujuan kami hanya cafe itu, cafe yang sama tempat kami pertama kali pertemu. Tak ada bosannya, mungkin karena cinta. Sampai aku mulai menyadari bahwa dua bulan setelah pertemuan rambut Doni kian menipis. Tiap kali kutanya jawabannya tak pernah serius. “Salah pake sampo,” jawab Doni.
Aku tahu ia berbohong, aku tahu ada yang ia coba sembunyikan. Anehnya apapun itu aku tidak pedulikan. Selama aku bisa terus bersamanya aku sudah bahagia. Sederhana, sekadar bisa menatap hujan bersamanya, aku sudah bahagia.
Hari itu hari Sabtu sore, empat bulan sejak pertemuan pertamaku dengan Doni, 3 bulan sejak ia pertama kali menyatakan bahwa ia mencintaiku. Doni bilang hari itu ia akan menjemputku untuk ke cafe. Tak ada perasaan aneh sampai aku melihatnya dengan kepala pelontos dan wajah pucat di depan rumahku.
Dia hanya memintaku untuk cepat naik ke motornya. Aku tahu tujuannya, dia ingin agar cepat sampai di cafe itu. Aku tak tahu apa yang sebenarnya dia simpan. Yang aku tahu saat itu aku mencintainya, tak mau ia hilang, tak mau ia pergi, bodohnya aku saat itu.
Gelap menimpa senja, suasana remang di cafe ditambah udara dingin yang masuk menusuk sampai ke tulang. Perasaanku kian tak karuan. Doni memilih meja di tengah cafe, tidak di sudut seperti biasanya yang kami lakukan. Sikapnya kian dingin, bibirnya memucat, pucat sekali. Satu jam berlalu sudah, yang kami lakukan hanya saling berpegangan tangan lama sekali, rasanya seperti takut kehilangan. Suasana cafe ramai, tapi tenang tanpa kebisingan sama sekali. Aku tak bisa mendengar apapun, semuanya sunyi. Sampai sebuah percakapan terdengar di telingaku.
“Kalo ada tambahan bisa ke kasir mas biar na..” “Cepet pergi!” pria itu membentak pelayan.
Aku terkejut, tapi tak kulepaskan pegangan tanganku. Pria itu duduk di sudut cafe. Setelah membentak kulihat ia menangis, aku tak mengerti. Seisi cafe memandanginya. Tapi tak seorangpun berani menenangkannya, aku rasa dia gila.
“Uhuukk…” Doni batuk.
Kulihat batuknya mengeluarkan darah. Aku khawatir, tanpa pikir panjang kubawa ia ke rumah sakit. Aku panik, aku takut, aku cemas. Dalam perjalanan ke rumah sakit ia tak sadarkan diri. Hanya senyuman indah yang ia lepaskan sebelum tak sadarkan diri. “Kamu boleh pergi,” hanya kalimat itu yang terucap sebelum ia memejamkan mata.
Sesampainya di rumah sakit, yang aku lakukan hanya termenung. Tak lama berselang dokter mengatakan bahwa Doni meninggal, sekiranya saat itu aku tahu bahwa selama ini ia menyembunyikan penyakit kanker otaknya dariku. Aku lemas, menangis sejadinya. Datang tiba-tiba, pergi tanpa aba-aba. Kamu curang Doni.
Sampai saat ini yang aku lakukan hanya menangis. Di sudur cafe tempat di mana pertama kali kita bertemu. Tempat pertama kali kita saling mengenal. Saat ini aku hanya menunggu pelayan membawa pesananku yang juga jadi menu favoritmu datang. Seandainya ada kamu di sini.
Aku menangis di mejaku sampai pelayan tersebut datang membawa pesananku dan sesosok pria tampan yang sebenarnya tidak ku pesan. “Boleh aku duduk?” pria itu bertanya kepadaku seiring pelayan meletakan pesananku di atas meja.
Pelayan itu telah menaruh pesananku, wajahnya masih ketakutan. Khawatir aku kembali emosi. Pria itu kembali bertanya. Aku tak menjawab, yang aku lakukan hanya meletakkan salah satu telapak tanganku di atas cangkir kopi.
Cerpen Karangan: Abyan Rai Blog / Facebook: Abyan Rai ig : @1abyanrai