Dinda duduk termenung di salah satu bangku alun-alun kota. Melihat sorak sorai kehidupan di dalamnya. Anak-anak kecil berlari saling mengejar. Muda-mudi bersitatap penuh kasmaran. Sedangkan para lansia asyik menikmati sisa usia mereka dengan bergurau. Sungguh harmoni yang indah kala itu.
“Neng, sendirian aja, nih?” tanya seorang penjual koran pada Dinda. Dinda hanya diam lantas tersenyum. Ia juga heran mengapa dirinya sendirian menikmati keindahan sore ini. “Ya, udah Neng abang duluan.” Kali ini Dinda mengangguk. Hatinya menjadi tak karuan. Sebenarnya dari tadi ia sedang menunggu sang pujaan hati. Tetapi yang ditunggu pun tak kunjung hadir.
Akhirnya Dinda memutuskan untuk berjalan santai mengelilingi alun-alun. Merasakan setiap hembusan angin yang lembut membelai rambut hitamnya. Namun matanya selalu awas mencari pria berkulit kuning langsat, bermata cokelat, dan berambut hitam kemerahan. Siapa lagi kalau bukan sang pujaan hati.
Empat puluh menit berlalu. Matahari semakin condong ke barat. Menggelantung manja pada awan tipis yang kian luruh. “Sudahlah mungkin ia tak sempat kali ini,” ucap Dinda dalam hati. Air mata perlahan menetes di kedua lesung pipi Dinda.
Tak ada yang tahu sebab sang pujaan hati tak dapat memenuhi janji. Kini ia tengah berjuang melawan gejolak ajal di tenggorokannya. Sungguh tak ada yang tahu. Hanya senja di ufuk barat yang menjadi saksi bisu perih yang dua insan itu rasakan.
Singkat saja ungkapan hati yang payau…
Cerpen Karangan: Muhammad Pramesta J. S Blog / Facebook: jalasena Ingin berbagi cerita? Follow akun instagram penulis di muhammad_pramesta atau email pramestajalasena12[-at-]gmail.com. Thanks…