Pagi yang begitu dingin. Awal tahun baru yang disambut dengan hujan dan awan kumulus nimbus pekat yang memeluk langit dengan kuat. Hembusan angin semilir menambah suhu kian meminus dan menusuk tulang. Daun-daun kering saling bergesekan, membuat suara khas yang terkesan menyeramkan. Adrian memeluk dirinya sendiri. Ia tidak memperkirakan cuaca akan seburuk ini, dan ia tidak mengenakan jaket atau sesuatu yang dapat menghangatkan tubuhnya. Hanya kemeja merah bata dan jeans biru yang terlihat sedikit lusuh membalut tubuh jakungnya. Beberapa lembaran dokumen di dalam map yang telah ia siapkan. Ia menatap bangunan kokoh, yang sekarang nampak terlihat seram karena cuaca gelap, dengan tatapan sedikit ragu.
“Sekolah ini nampak seram” gumam Adrian. Namun, mau tak mau ia tetap melangkahkan kakinya ke dalam bangunan itu. Sekolah khusus musik itu akhirnya Adrian jamah. Aura dingin dan suasana sepi, sunyi kian menyeruak. Sukses membuat bulu kuduk Adrian meremang. “Apa benar aku akan disekolahkan di sini? Yang benar saja!” Adrian menghentakkan kakinya. Merasa kesal dengan pilihan Ibunya.
Adrian berjalan menyusuri lorong sekolah. Suasana benar-benar mencekam, karena masih pagi jadi lampu koridor tidak dinyalakan. Hanya suara derap langkah kaki Adrian yang menggema di sepanjang koridor. Terkadang ia berfikir ini bukanlah sekolah musik melainkan sekolah mistis!. Setelah cukup berkeliling akhirnya Adrian sampai di tempat tujuannya, Ruang guru. Seperti menemukan air di tengah gurun pasir, Adrian ingin sujud syukur di tempat. Ia melangkahkan kakinya yang setengah lelah ke dalam ruang guru. Guru-guru yang berada di dalam ruangan segera mengurus administrasi Adrian. Sedangkan Adrian hanya duduk dan sesekali menjawab pertanyaan yang terlontar dari guru muda yang mengurus datanya. Lily Kusdiati, nama itu tertulis jelas pada name tag guru yang berada di hadapan Adrian. Perawakannya tinggi dengan kulit kuning langsat serta mulus tanpa jerawat. Fisik idaman para lelaki.
“Adrian Praditya Agung, ya? Kenapa ingin sekolah di sini?” Bu Lily bertanya namun matanya lurus menatap data pribadi Adrian. “Saya hanya disuruh Ibu saya, Bu.” Jawab Adrian gugup. “hmmm, begitu. Baiklah kamu bisa sekolah besok. Ibumu sudah mengatur soal pakaiannya jadi tidak perlu khawatir.” Ujar Bu Lily ramah. “Terima kasih, Bu.” Adrian lekas melenggang pergi meninggalkan ruang guru. Di luar ia melihat langit yang kian mencerah. Mendung gelap yang seolah mencekam sudah mulai memudar perlahan. Adrian berjalan perlahan menjauh dari ruang guru. Koridor yang tadinya nampak seram kini sudah mulai bersahabat.
Sudah hampir setengah jam Adrian hanya berjalan dan berjalan tanpa menemukan gerbang keluarnya. Ia kemudian berhenti di tengah koridor ruangan yang entah namanya itu. Ia lelah karena terus berjalan tanpa menemukan ujung. Dengan begini ia sudah yakin kalau ia tersesat. “Ya ampun, harusnya aku tanya dengan guru tadi! Bodohnya aku!” Adrian merasa geram dengan dirinya sendiri. Ia memukul tembok dan beberapa kali menghentakan kakinya dengan keras.
Tak lama Adrian mendengar lantunan musik klasik Fur Elise dari Beethoven. Dentingan Tuts piano terdengar lembut namun juga bertenaga. Sangat lembut dan juga berperasaan. Kesan lagu yang misterius dan tersembunyi masih terasa pada lantunan nadanya. Adrian mencari sumber suara yang ternyata berasal dari ruang koridor itu. Adrian berniat melihat siapakah pianis hebat yang bersembunyi di dalam ruangan itu. Ia memberanikan diri membuka pintu itu secara perlahan. Dan pemandangan yang berada di depannya sukses membuat matanya terbelak sempurna. Hanya ada sebuah piano kuno penuh debu yang tengah terbuka, terdapat partitur yang lembarannya seakan dibolak-balikkan seseorang, jendela tertutup dengan gorden yang terlihat using serta kursi lapuk di dekat jendela. Namun, tidak ada seorang pun di sana. Kosong dan hampa. Tetapi, musik misterius khas milik Beethoven tetap terdengar. Tuts piano yang bermain dengan sendirinya.
“Sedang apa kau di sini?” seorang perempuan muncul tiba-tiba di hadapan Adrian. “HUAAAAAA!” Adrian terlonjak dan mundur beberapa langkah ke belakang. “Si-si-si-siapa kau?!” Adrian menunjuk-nunjuk sosok perempuan yang mengenakan seragam sekolah dengan rambut panjang yang sedikit bergelombang, dan juga berkacamata. “Oh aku? Hehe, aku hanya seorang pianis biasa di sekolah ini” ujar perempuan itu dengan wajah ceria dan riang. “Kau pianis? Jadi kau yang memainkan musik klasik itu?” Adrian menunjuk-nunjuk piano penuh debu itu. Dan ia baru tersadar satu hal, musiknya terhenti. “Haaa? Mana mungkin! Kau hanya berhalusinasi. Bahkan beberapa tuts di piano ini sudah sumbang dan tidak diperbaiki. Jadi tidak mungkin ada yang memainkannya.” Jelas perempuan itu sambil membersihkan sedikit debu yang menempel pada piano itu. “Tapi tadi aku benar-benar mendengarnya. Permainan yang luar biasa. Aku yakin dia pasti seorang pianis professional!” mata Adrian berkilau penuh rasa kagum. “Ya ya terserah kau.” Perempuan itu berjalan menuju pintu.
“Kau sedang apa di sini? Hari ini kan masih libur?” tanya Adrian membuat perempuan itu berhenti dan membalikan tubuhnya. “Aku baru saja mengembalikan partitur musik milik Chopin. Itu, kuletakkan di sana” perempuan itu menunjuk buku yang terletak di atas kursi dekat jendela.
“kau tersesat, bukan?” tanya perempuan itu. “emm ya.” “Baiklah aku akan mengantarmu keluar.” Ujar perempuan itu. Wajah Adrian berseri. “terima kasih! Emm, namamu?” “Panggil saja aku Adelia.” Jawab perempuan itu-Adelia- yang membuat alis Adrian naik satu, “kenapa hanya Adelia? Kau pastinya punya nama panjang bukan?” “Memangnya aku akan memberi tahumu? Tidak akan. Kau hanya orang asing yang tersesat di sekolah. Bhewww!” Adelia menjulurkan lidahnya, mengolok Adrian. “Cih! Dasar.”
“Kau sendiri siapa namamu, bocah asing?” terdengar ada nada menghina pada ucapan Adelia. “Adrian.” Jawab cuek Adrian. “Ck! Ya sudahlah. Ayo keluar dari sini” Adelia menarik tangan Adrian dan keluar dari ruangan pengap itu.
KEESOKAN HARINYA Hari pertama Adrian sekolah di sekolah barunya. Rasa canggung tentu masih terasa kuat di atmosfernya. Ditambah ia tak terlalu paham tentang letak kelas dan ruangan khusus klub ekstrakulikuler, ini pasti akan menyulitkannya. Sesekali ia bertanya pada siswa yang lewat. Dan sebuah pemikiran muncul di dalam kepalanya, di mana Si Adelia itu?
BRUKKKK “Aduhhhh!” Adrian merasa menabrak seseorang. “aku minta maaf!” ujar Adrian, takut-takut kalau yang ditabraknya adalah kakak kelas atau guru. “Whooaa ternyata kau, bocah asing!” ‘kenapa suara ini begitu menjengkelkan?’ gumam Adrian. Secara tak sadar empat siku-siku terpati di dahinya. “Kau kenapa bisa di sini?” tanya Adrian heran. “Aku sekolah di sini, bocah asing. Memang kau tak bisa melihat seragamku?” jawab Adelia. “Oh iya! Kemarin kau juga—” KRINGG.. KRINGG PELAJARAN SEGERA DIMULAI “Astaga! Pelajaran pertama dengan Pak Ansyah! Bisa gawat kalau terlambat!” Adelia nampak tergesa-gesa menuju ruang kelasnya, X5. Sedangkan Adrian kelas X3. Adrian melangkah dengan cepat menuju ruang kelasnya.
Awal pelajaran dilalui Adrian dengan lancar. Acara perkenalannya pun tak berlangsung lama. Bahkan beberapa perempuan meminta nomor ponselnya. Adrian duduk di bangkung paling belakang dekat dengan jendela luar bersama dengan seorang laki-laki blasteran bernama Mike. Mike sendiri tipikal orang yang mudah akrab. Contohnya ia menawarkan Adrian agar duduk di sampingnya. Mike juga memberitahu beberapa hal tentang sekolah ini kepada Adrian. Laki-laki dengan tampang blasteran itu mulai bercerita mulai dari hal sepele hingga mitos yang beredar tentang gedung lama.
Adrian menatap gedung lama yang berseberangan dengan gedung yang sedang ia pijak. Di sana terdapat ruang musik yang tak sengaja kemarin Adrian masuki dan juga Adelia. Tiba-tiba ia teringat bahwa Adelia tidak masuk bersamanya melainkan dia memang sudah ada di sana sebelum Adrian masuk. ‘Ada yang janggal’ gumam Adrian.
Sekilas lagi ia melihat tepat di jendela ruang musik yang tertutup itu. Tak beberapa lama perlahan terlihat gordennya terbuka sedikit dan menampilkan sosok yang familiar di mata Adrian. “Adelia.” Tak sengaja Adrian menyebut nama perempuan menjengkelkan itu. “kurasa ada yang aneh dengan perempuan itu.”
—
“Pesta dansa musik klasik?” Alis Adrian naik satu setelah mendengar berita yang ia dengar dari teman sebangkunya, Mike. Sudah beberapa minggu Adrian sekolah, dan ia sudah mulai terbiasa dengan atmosfer yang baru. “Ya. Biasanya sekolah mengadakannya diawal tahun begini. Bagaimana mau ikut?” tawar Mike sembari menyikut lengan Adrian. “Terdengar seru. Mungkin aku akan ikut.” “Tapi kau harus mengajak satu perempuan untuk berdansa denganmu.” Ujar Mike menepuk-nepuk bahu Adrian. “Haah? Dari mana aku bisa menemukan seorang perempuan untuk berdansa denganku?” Adrian nampak kaget dengan syarat nya. “Hmm itu sih urusanmu, yang jelas namamu sudah kutulis di daftar tamu. Sampai jumpa!” Mike melenggang pergi secara tiba-tiba. “Dasar Si Mike itu!!” Adrian merasa geram. ‘mungkin aku akan mengajaknya’ pikir Adrian.
Cuaca siang ini cukup terik namun angin semilir masih terasa membelai kulit. Adrian memilih pergi ke gedung lama, siapa tahu ia akan bertemu dengan seorang yang ia cari dan mengajaknya berdansa bersama. Adrian membuka pintu ruang musik itu, dan benar saja Adelia tengah duduk di kursi dekat jendela yang masih tertutup itu.
“Ada apa?” tanya Adelia tanpa melihat lawan bicara. “Soal pesta dansa lusa nanti. Kuharap kau bisa menemaniku.” Adrian berjalan mendekat ke arah Adelia. “Kau yakin?” tanya Adelia yang membuat mimik bingung pada wajah Adrian. “Apa maksudmu?” “Baiklah oke aku akan berdandan sebaik mungkin demi kau, bocah asing!” Adelia menunjuk wajah Adrian. Adrian hanya tersenyum ke arah Adelia sebagai ucapan terima kasih.
“Mau bermain piano bersama?” tawar Adrian sembari mendekati piano kuno itu. “Piano itu sudah lama tak terpakai. Pasti sumbang suaranya” jawab Adelia. Adrian tetap bersikukuh membuka piano kuno itu dan menekan satu tutsnya. Sedikit suara sumbang menggema di ruang musik itu. “Parah juga sumbangnya. Tapi, tak apa” Adrian duduk di bangku dan mulai bermain piano.
Lantunan yang terdengan keras dan sedikit sumbang memecah keheningan di dalam ruang itu. Jemari Adrian asik menari di atas tuts. Melatunkan sebuah nada yang terdengar cepat, pasti, dan terkesan tertutup. Seperti sebuah musik yang menutupi perasaan sebenarnya, seakan ada sebuah masalah yang dipendamnya. Abstrak, tidak seimbang dan penuh kebimbangan. Sulit untuk didefinisikan.
“Etude op.10 no.4, dari Chopin. Hebat juga kau bisa memainkan musik cepat itu.” Adelia duduk di samping Adrian dan mulai memainkan deretan tuts itu.
Lagu lain terdengar. Jemari Adelia memainkan sebuah lagu yang cepat, mantap, dan terkesan misterius. Ada part lambat namun tiba-tiba cepat. Adrian ikut menekan tuts dan bermain dengan sedikit kewalahan, karena harus menyeimbangi kecepatan Adelia.
“Kau terlalu cepat. Tempo lepas. Kau tidak mengikuti partiturnya?” Adrian menghentikan aksi Adelia. “Sepertinya kau belum pernah bermain banyak dengan lagu Mozart. Contohnya Symphony no.4” Adelia menunjuk wajah Adrian dengan rasa penuh kemenangan. “Memang sih, lagu Mozart kebanyakan lagu cepat dan terkadang aku kesulitan memainkannya.” Adrian menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak terasa gatal.
“Mau coba lagi?” “Lagu apa?” “Fur Elise, bisa?” tantang Adelia. “Boleh!” Adrian mulai menekan tuts awal. Dentingan seperti hari itu mulai terdengar lagi. Lagu yang tidak terlalu cepat namun aura misterius dari lagu ini tetap terasa. Kedua tangan Adelia ikut bermain. Dua pasang tangan dengan lihai memainkan sebuah nada.
“Menyenangkan bermain piano bersamamu.” Senyum simpul itu terpati di wajah Adrian. “Terima kasih” Adelia membalas senyum Adrian dan kembali fokus pada deretan tuts di hadapannya. ‘Kuharap waktu berhenti berputar’ gumam Adelia.
Malam yang penuh gemerlap khas anak remaja. Hingar bingar kebersamaan dan keromantisan begitu kental terasa di atmosfernya. Adrian siap dengan kemeja putih polos yang dibalut jas hitam serta dasi merah garis putih yang sengaja ia longgarkan. Adrian memerhatikan arloginya beberapa kali. Pesta dimulai sebentar lagi dan pasangannya belum menampakkan dirinya.
“Aduhh Adelia lama sekali sih!” lagi-lagi Adrian mengecek arloginya. Dan seseorang menepuk pundaknya lembut dari belakang. “Maaf lama menunggu.” Adelia sibuk mengatur nafasnya yang berderu. “Kau dari mana saja?” Adrian memerhatikan Adelia. Dress merah yang menyala bagai api yang membara serta rambut yang disanggul menambah kadar kecantikan Adelia. “Kau pikir mendapatkan baju ini mudah?” wajah Adelia menjadi cemberut. “Mendapatkan? Kau mencurinya?” “Tidaklah! Bodoh! Aku meminjamnya!” “Ya sudah ayo ke Aula. Pesta mau dimulai!” Adrian menarik lengan Adelia dengan erat seakan tidak akan membiarkannya pergi.
Lantunan musik klasik Spring Time dari Yiruma terdengar lembut menggema di Aula sekolah. Adrian berdansa dengan Adelia bagai pasangan yang serasi. Beberapa kali Adelia harus menyeimbangkan gerakannya dengan Adrian. “Kukira akan diputar musik Chopin atau Mozart” kesal Adrian. “Kau bisa coba sendiri di rumahmu, Adrian.” Ujar Adelia. “Akhirnya kau menyebut namaku, Adelia.” Senyum tulus terpati di wajah Adrian. Membuat darah Adelia berdesir dan naik ke wajah sehingga menimbulkan sedikit rona merah di sana.
“A-A-Adrian.” Adelia tiba-tiba nampak gugup. “Ha? Kenapa?” tanya Adrian. Dia bingung, gelagat Adelia berubah. “Maafkan aku” jawab Adelia seraya pergi keluar dari Aula. Adrian benar-benar bingung sekarang. Ia hanya memerhatikan kepergian Adelia yang berlalu begitu saja.
“Hoi! Adrian!” Mike datang dan menepuk pundak Adrian. “Mike? Kenapa kau ke sini? Kau tidak berdansa dengan pasanganmu?” tanya Adrian heran dengan kedatangan Mike yang tiba-tiba. “Justru aku ingin bilang padamu jangan menerobos masuk ke Aula. Aku tahu kau sangat ingin berdansa. Tapi, kalau kau tidak memiliki pasangan kau tidak boleh masuk.” Jelas Mike. “Apa maksudmu, Mike?” mata Adrian tiba-tiba membelak dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. “Harusnya itu pertanyaanku, Adrian. Kau berdansa sendirian selama musik berlangsung!” kedua tangan Mike mencengkram bahu Adrian. “Bohong!” Adrian berteriak, membuat ia menjadi pusat perhatian orang-orang. “Kau pasti bohong kan, Mike? Apa kau tak lihat? Aku dan dia di sini! Berdua kami berdansa!” Nada Adrian meninggi. Ia tak percaya ini. “Adrian, kau butuh istirahat sekarang.” Mike ingin menuntun Adrian ke ruang belakang, tempat istirahat. Namun tangannya ditepis oleh Adrian. “Aku akan pergi sendiri.” Ujar Adrian sembari berlari keluar Aula. Tujuannya sekarang hanya satu, ruang musik yang berada di gedung lama.
Di bawah cahaya rembulan Adrian berjalan menuju gedung lama. Walau gelap dan terkesan menyeramkan ia tak peduli. Ia hanya ingin melihatnya sendiri kebenaran yang sesungguhnya. Ia jalan dengan tergesa-gesa menuju ruang musik yang sudah tak terpakai itu. Terkadang Adrian tersandung bebatuan atau bahkan kakinya sendiri. Sesampainya di depan ruang musik Adrian terdiam sejenak. Ia hanya takut, takut kalau saja hal yang tidak ia inginkan akan terjadi. Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya Adrian membuka pintu itu perlahan hingga benar-benar terbuka. Namun ruangan itu kosong. Tak ada seorang pun di dalam. Ia hanya melihat sepucuk surat di atas piano kuno itu. Adrian melangkah masuk, mengambil surat itu lalu membacanya.
Adrian, maaf kalau ini bukanlah sebuah perpisahan yang kau inginkan. Aku menulis ini dimalam kau mengajakku untuk pesta dansa dan aku menaruh surat ini tepat sebelum menemuimu di Aula. Aku tidak tahu bagaimana caraku untuk menjelaskannya. Kau membaca surat ini mungkin karena teguran orang lain di Aula, bukan? Haha maaf kalau begitu. Kau dibilang apa oleh mereka? Gila? Nggak waras? Atau belum minum obat? Hahaha.
Aku tidak tahu harus bicara apa denganmu tapi apa yang mereka katakan benar. Kau berdansa sendirian. Aku tidak di sana, bagi orang yang tak melihatku. Tapi kau tidak. Kau melihatku, menggenggam tanganku seolah takut akan kehilanganku, kau yang begitu terkejut saat melihatku tiba-tiba muncul, dan kaulah yang sekarang ini menangis untukku. Maaf aku baru bisa bilang kalau yang bermain Fur Elise itu adalah aku.
Sebenarnya aku bukanlah pianis handal, aku hanya sangat menyukai musik dan aku telah diikutkan berbagai ajang. Beberapa pihak terus memujiku karena aku jenius, karena itu aku terbebani. Aku harus menjadi yang nomor satu dan ketika aku tidak memenangkan sebuah lomba, maka aku akan dihina bahkan beberapa ada yang meneror, memaksaku agar aku berlatih lagi dan menjadi juara satu. Siklus itu terus terjadi hingga aku menyerah dan kembali kepada Tuhan sekitar dua bulan yang lalu, di ruang ini. Jarang ada yang lewat di gedung lama. Jadi, saat kau masuk ke ruangan ini aku benar-benar terkejut dan juga bahagia. Terima kasih atas semua yang kita lakukan bersama. Kuharap kau bisa lebih banyak berlatih lagu Mozart, kau terlihat payah dengan lagu bertempo cepat. Terakhir, yang ingin kuucapkan adalah
I LOVE YOU.
Adelia Lenatha
Derai air mata Adrian tumpah sudah. Semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya telah terjawab. Kalau ia tahu akan seperti ini jawabannya maka ia lebih baik tidak mengetahui jawabannya seumur hidup
“Bahkan kau belum tahu nama lengkapku, Adelia!” Adrian mencengkram surat itu. Sesosok perempuan berdiri di belakang Adrian tanpa sepengetahuannya. Mengenakan dres merah menyala dengan rambut yang disanggul rapi. “Sampai bertemu lagi, Adrian Praditya Agung.” Sosok itu menghilang perlahan bersamaan dengan jatuhnya air mata pada kedua pipinya.
“Aku mencintaimu, Adelia” “Aku mencintaimu, Adrian”
Cerpen Karangan: Ayu Pratiwi Blog / Facebook: ayu sei-chan