“Dear, Diary… Alira Faza Anindya. Itu namaku. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakakku yang pertama bernama Ahzan Fauzi. Kakakku yang kedua bernama Alby Fazrial.”. Lembaran kenangan tulisanku waktu SMP. Itu namaku dan kedua kakakku. Kami adalah 3A bersaudara, sebab semua berawalan huruf “A”. Entah kenapa, di antara kami bertiga, namaku adalah yang paling panjang.
“Ra… Tidur! Udah malem!” mama yang melihat pintu kamarku terbuka, masuk begitu saja. Aku segera bersiap-siap tidur. Aku sangat menyayangi mama, karena hanya beliaulah orangtuaku satu-satunya yang aku miliki.
Aku baru sampai sekolah diantar oleh kak Ahzan. Kak Ahzan tampaknya begitu khawatir membiarkanku sekolah. Meski begitu, aku tetap segera memasuki bangunan SMA tersebut. Rindu sekali rasanya dengan SMA ini. Mungkin, sudah lebih dari seminggu aku tak menginjakkan kaki di SMA tercinta ini.
Sesampainya di kelas, Ryana teman sebangkuku langsung menyambutku dengan rasa penuh rindu. Tak lama kemudian, pak Ferdi memasuki kelas kami. Beliau akan membagi kami dalam kelompok-kelompok untuk menyelesaikan tugas akhir semester. Setiap kelompok hanya terdiri dari dua orang saja, entah mengapa. Tugasnya adalah setiap kelompok diwajibkan mengumpulkan satu buah kerajinan tangan apapun. Nama per-nama telah disebutkan. Ah, rupanya aku tak satu kelompok dengan Ryana. Giliran namaku disebutkan.
“Alira dengan Angga…”. Angga? Siapa Angga? Seingatku tak ada teman satu kelasku bernama Angga. Rupanya baru kusadari bahwa ada satu wajah asing di ruang kelas ini. Kata Ryana, Angga adalah siswa baru sejak beberapa hari yang lalu.
Awal pertemuanku dengannya sungguh tak mengenakkan. “Lo aja yang ngerjain. Gue males”. “Enggak bisa gitu dong. Kalo gak ngerjain, kita gak dapet nilai.”. “Peduli apa lo sama nilai? Lo kan sering gak berangkat, bukannya dengan begitu lo buang-buang nilai lo gitu aja?”. “Gue punya alesan kenapa gue gak berangkat. Lo gak usah bawel, dan gak usah sok tau tentang gue!”.
Sore ini, aku ada di sebuah rumah yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Rumah Angga. Ini juga karna terpaksa, dia gak nepatin janji buat dateng ke rumahku. Pembantunya begitu baik, menyambutku dengan ramah, membuatkan minuman, dan tentunya memanggilkan Angga yang entah sedang apa di kamarnya. Tak lama kemudian, si Angga turun dengan pakaian seadanya. Bisa kupastikan dia baru bangun tidur. Kusuruh dia cepat mandi, biar bisa cepat ngerjain tugas. Menurut pembantunya, orangtua Angga sering pergi ke luar kota. Bisa disimpulkan bahwa Angga adalah satu dari sekian anak di dunia yang kurang mendapat perhatian dari orangtuanya.
Sudah kuputuskan bahwa aku dan Angga akan membuat satu buket bunga dari kain untuk tugas kami. Angga protes. Berhubung tak ada ide lain, dia terpaksa setuju. Meski sudah kuajari, dia tetap tidak bisa dan sering membuatku marah. Karena kesal, aku iseng mencoret mukanya pake spidol. Eh, dia malah balik menyerangku.
Aku dan Angga butuh waktu berhari-hari untuk menyelesaikan tugas itu. Sampai hari ini, seluruh bunga telah selesai dibuat. “Akhirnya bunganya jadi, kita tinggal merangkainya.”. “Udah, itu besok lagi aja! Sekarang lo ikut gue!” Angga menarik tanganku pergi dari tempat itu. Dia mengajakku ke taman. Angga terdiam lalu menatapku. “Kalo aku perhatiin, kamu kenapa sih selalu pucat?”. Bahasa Angga pake aku kamu yang bikin aku salah tingkah. “A… aku enggak papa.”. Angga pergi sebentar lalu kembali dengan membawa bunga dari kain. Ia memberikannya padaku. “Aku tau ini cuma bunga dari kain. Aku mencoba membuatnya untuk kamu. Kalo aku kasih kamu bunga yang hidup, seiring waktu dia akan mati. Tapi bunga ini enggak akan mati. Dia akan menemani kamu saat aku enggak ada buat kamu.”. Entah apa maksudnya, tetapi aku menerima bunga itu.
Aku tak menyangka bahwa itu adalah hari terakhir aku ketemu dengannya. Sudah hari ke-10 dia tidak berangkat sekolah. Aku berniat mengunjungi rumahnya meski badanku terasa tak enak. Berkali-kali bel berbunyi, tapi tak kunjung ada yang ke luar. Penglihatanku terasa buram. Cairan berwarna merah mengalir dari hidungku menetes di tanganku. Dapat kulihat samar-samar kak Alby yang tadi mengantarku, berlari ke arahku. Setelah itu, entah apa yang terjadi. Semua seakan gelap seketika.
Aku kembali melihat cahayaku, mataku terbuka. Aku tak heran mengapa aku di sini, mengapa aku memakai seragam biru ala pasien, sebab inilah alasanku sering tak berangkat sekolah. Aku sudah cukup lama bersahabat dengan tempat ini. Aku paham, perbincangan antara dokter terhadap mama dan kedua kakakku. Aku tak kunjung dioperasi, sebab dana tak kunjung terkumpul. Sejujurnya, aku sudah cukup lelah dengan leukemia yang mendiami tubuhku sejak satu tahun terakhir.
“Ma… Enggak usah terlalu dipaksakan kalo emang gak ada dananya. Aku enggak papa kok.”. “Kamu harus dioperasi biar sembuh dek.” ucap kak Ahzan.
Tiba-tiba, datang sepasang suami istri dengan raut wajah sedih. Mereka bilang mereka bersedia membiayai seluruh pengobatanku asalkan aku mau bertemu dengan anaknya.
Aku yang terduduk di kursi roda, didorong oleh wanita itu menuju kamar anaknya. Aku melihat seorang pria terbaring di atas ranjang. Air mataku menetes saat kuketahui bahwa pria itu adalah Angga. Kepalanya plontos karena kanker otak. Aku tak menyangka jika kami adalah sesama pengidap penyakit ganas itu. Sepasang suami istri tadi, rupanya orangtua Angga.
“Ra… Kamu masih simpen bunga yang aku kasih waktu itu kan? Jaga baik-baik ya! Aku akan hidup di bunga itu untuk kamu. Jangan nangis! Kamu harus sembuh! Aku udah tau penyakit kamu dari Ryana.”. “Enggak Ngga. Jangan aku doang yang sembuh, tapi kamu juga harus sembuh! Biar kita bisa buat bunga bareng lagi.”. “Ada yang ingin aku omongin sama kamu. Aku cinta kamu, Alira.” matanya tertutup bersamaan dengan air matanya yang mengalir. “Aku juga cinta sama kamu Ngga.”. Air mataku semakin deras mengalir. Begitupun dengan seluruh orang di ruangan itu. Awan kabut menyelimuti hati kami semua.
Cerpen Karangan: Ria Puspita Dewi Blog / Facebook: Elfa Ria Puspita