Ruangan itu gelap, di sekelilingnya terdapat tembok putih dan dua jendela yang membiarkan cahaya bulan masuk dengan sendirinya. Terdapat pula seorang gadis yang terduduk di atas kasur sambil menatap seorang lelaki di hadapannya. Gadis itu terduduk lemah dengan saluran infus di tangan kirinya. Dia terlihat sangat rapuh sehingga hanya dengan melihatnya, seolah-olah dia akan hancur kalau kau sentuh sedikit.
“Bisakah kau melupakanku?”. Tanya Gadis itu. Lelaki yang ada di hadapannya itu pun terkejut dengan terus menatap ke arah gadis itu. Nafas lelaki itu mulai cepat menandakan dia takut akan kehilangannya, sambil memegang sebuah bingkisan untuknya dia mencoba untuk berbicara. “Tidak kok, cuma bercanda doang!”. Potong gadis itu. “Sadis sekali ya aku, padahal kau sendiri ke sini, cuma mengkhawatirkanku”. Lanjutnya dengan mengalihkan pandangannya ke samping.
Lelaki itu mulai lemas, dadanya tidak bisa menahan rasa sakit yang amat dalam ini. Seakan-akan memberi pertanda jika gadis itu akan menghilang selama-lamanya. “Jadi, bagaimana denganmu, apa ada sesuatu di sana?”. Tanya gadis itu. “Sepertinya, aku dikirim ke perbatasan, mungkin aku tidak akan kembali untuk sementara, tapi pasti, aku akan kembali”. Jawab lelaki itu. “Perbatasan kah?”. Jawab gadis itu sambil menatap ke atas. “Mungkin aku membuat rencana juga?”. bisik gadis itu tapi sayang lelaki itu tak mendengarnya. “Akhirnya… Kau mau melakukan sesuatu walau kau mau, Letnan”. Jawabnya. “Kalau begitu, semoga berhasil, Letnan Wahid!”. “Terima kasih”.
—
“Hoy, Wahid!”. Panggil seorang perwira tentara sambil melambaikan tangannya. Lelaki itu menoleh dan kembali menyapa seorang perwira tersebut. “Oh Ahmad, bagaimana blok tiga, baik saja, kah?”. “Kau kira aku melepaskan penjagaan di sana, kawan?”. Jawab perwira itu dengan percaya diri. “Jadi… Kudengar kau dikirim ke perbatasan, ya Hid?”. “Yah, mungkin dua-tiga bulan”. Jawab lelaki itu dengan santai. “Kau yakin, Hid?, kau tinggalkan si Lita yang lagi sakit itu?”. Tanya perwira itu. Tapi, lelaki itu tidak mau menjawab dan mencoba menjauhi pertanyaan dari perwira itu. Tiba-tiba mukanya lebih dingin dan langkahnya makin cepat. “Hid, dengerin aku dulu, kau mau tinggalkan dia hanya untuk misi ini?”. Tanya perwira itu sambil mencepatkan langkahnya untuk mengejar lelaki itu. “Hid, dengerin aku dulu, Hid!” Suara perwira itu sangat keras, tapi masih saja lelaki itu mencepatkan langkahnya di lorong itu. “Hid!”. Panggil perwira itu dengan menarik pundaknya. Tiba-tiba, lelaki itu terjatuh, tersungkur menunduk menatap lantai sambil menutup wajahnya dengan tangan dan kakinya seperti menangis dan menyesali keputusannya selama ini. “Memang kau tau apa, Mad?, kau tau aku bukanlah orang yang tepat untuknya?, kau tau aku hanyalah seorang teman dari temannya kan, Mad?, kau tau sendiri dia cuma suka kamu, Mad?”. Perwira itu kaget. “Hid, mungkin yang kau katakan memang benar, tapi saat ini dia sedang membutuhkanmu, lihat kondisi, Hid, lihat kondisi!”. “Kalau pun aku ke sana, Mad, apa yang aku katakan?”. “Kau akan menemukannya di sana, Hid!, pokoknya sekarang siapkanlah dirimu dan pergi ke sana!”. Lanjut perwira tersebut sambil memegang bahu lelaki itu. “Hid, jika aku di posisimu, akan kulakukan apa saja pada seseorang yang kusukai itu, Hid, walau dia membalasku dengan keburukan pun akan kuterima”.
—
“Silahkan masuk!”. “Hai!”. Jawabnya dengan lemah setelah memasuki ruangan itu. “Kamu ya?”. Sambil menghela nafasnya. “Mmm, ini!”. “Wah, kue!, ayo makan di luar!”. “Di sana dingin, loh!”. “Biarin, sini-sini!”.
Lelaki itu pun dipaksa untuk menggendongnya. Hampir tak terasa berat gadis itu, dia benar-benar ringan. Membuat lelaki itu khawatir. “Hoy, awas ya bilang aku berat!”. “Tidak, kau sangat ringan, Seharusnya kau makan yang lebih banyak lagi!”.
Lelaki itu pun telah sampai ke atap rumah sakit, di sana dia melihat sekeliling lingkungan rumah sakit yang sangat luas. Langitnya pun memancarkan cahaya dengan terang dan warna biru ikut mendominasinya. Awan tak kalah, mereka menampakkan dirinya dengan indah, bunga-bunga di tepi tembok juga sangat segar dan elok, burung-burung merpati mulai terbang kesana-kemari saat mereka tiba. Bau air yang menggenang di atas lantai, sangatlah unik.
“Waah!!”. Takjub gadis itu. “Ayo duduk di sana!”. Mereka pun duduk di bangku dekat pagar. Si gadis itu mulai membuka bingkisan yang dibawa lelaki itu. “Hey, apa kamu sudah bersiap pergi ke perbatasan?”. “Emm… Enggak”. “Mmm… Apa kabarnya si Yuni?”. “A.. Aku tak tau”. “Kamu, kamu ngapain ke sini?”. “Ah… Itu..”. Dimulailah keheningan di sana. “Aku cuma mau menjengukmu saja”. “Huh… Jika kau benar-benar ingin menjengukku, katakan sesuatu dong!”. “Tidak bisa, walau aku memikirkannya masih saja tidak bisa”. “Sudah kuduga!”. Katanya sambil tertawa kecil. “Kalau begitu, bisakah kau berjanji untuk kembali Letnan Wahid?”. “Eh?”. “Aku akan melakukan operasi saat kau berada di perbatasan besok dan makanya, kembalilah dari perbatasan besok, ya!”. Lelaki itu terdiam. “Iya, aku janji!”. Akhirnya dia menjawabnya. “Janji loh ya!”. “Janji!”.
Tiba-tiba si gadis terdiam. Ia mulai menatap bingkisan itu bersama kue di tangannya. Dengan cahaya yang dibiaskan matahari dia terlihat cantik dan elok. Lelaki itu pun terkagum-kagum. “Kamu sangat baik ya, Letnan Wahid!”. Tiba-tiba dia berkata. “Kamu juga hebat, bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan Ahmad”. Lelaki yang ada di sampingnya itu pun terkaget. “Kamu sangatlah gagah, kamu juga suka makan kue coklat dan minum air teh”. Lanjutnya dengan menutup matanya dan tersenyum. “Terus, film apa ya, yang kau suka?, dan hewan apa yang kau suka?, dan lagu apa sangat kamu suka?”. Senyumnya pun ikut memudar. “Aku iri sama Yuni, dia tau bagaimana itu kamu, dia tau apa kesukaanmu, dia tau apa kebiasaanmu”. Gadis itu pun terdiam. “Aku ingin tau kau lebih dalam Letnan Wahid… Jadi kumohon, jangan tinggalkan aku lagi!”. Air matanya pun mengalir, tangisan gadis itu sangat keras sampai membuat para burung merpati ketakutan menjauh dari mereka. Tidak banyak yang dilakukan lelaki itu. Dia tak sanggup melihatnya menangis dan hanya bisa memeluknya erat dan ikut menangis kecil.
Dua bulan telah berlalu, lelaki itu telah pulang dari perbatasan. Lelaki itu telah kembali ke markas. Benar tidak ada kabar dari gadis itu. Dia merasa, kalau gadis itu tak akan pernah kembali lagi walau dia telah kembali. “Wahid!”. Panggil dari seorang perwira. “Kabar buruk, Hid, Lita berpulang”. Lelaki itu menghela nafasnya dadanya memang terasa panas dan sesak. Tentunya dia terkejut, tapi lelaki itu memilih untuk tenang karena ia telah menyadarinya saat dalam perbatasan. “Hid, ini darinya”. Di genggamnya surat dari tangannya. “Dia mengatakan untuk memberikannya padamu dan jika kau tak suka, katanya robek saja kertasnya”. Lelaki itu menerima surat itu. “Terima kasih, Sersan Ahmad!”. Jawabnya. Lelaki itu pulang ke rumahnya. Ia mendapatkan perasaan sedih yang amat dalam hari ini. Segala penatnya makin terasa karena ingatan di perbatasan. Sesampai di rumah lelaki itu penasaran dan membaca surat itu.
Untuk Letnan Wahid. Selamat pulang Letnan Wahid!. Apa kabarmu? Mungkin ini pertama kalinya saya mengirim surat padamu, walau sebelumnya saya belum pernah sama sekali membuat surat pada siapapun. Entah apa yang membuatku ingin menuliskan surat ini untukmu. Tapi, setelah mengingat wajah anehmu saat menjengukku, aku sangat ingin menulis surat ini.
Benar Letnan Wahid, kau terlihat bodoh, aneh, menyedihkan. Bahkan suaramu sangat kecil saat berbicara denganku. Tanganmu yang kecil dan dingin membuatku takut akan jatuh saat kamu menggendongku. Saat pertama kali melihatmu dulu pun, aku mengira kalau kamu tidak akan bisa masuk ke ketentaraan. Iya betul, wajahmu terlalu polos dan badanmu yang terlalu kecil membuatku takut kalau kamu dijahili oleh seniormu. Tapi, saat kau menunjukkan kepiawaianmu dalam membela diri sangatlah hebat, aku sampai kagum dibuatnya.
Sebenarnya, dulu sebelum aku bertemu denganmu aku pernah jatuh pingsan sekali. Bahkan setelah masuk SMA aku mulai sering menginap di rumah sakit. Yah, aku tahu kalau kondisiku saat itu sangat buruk.
Suatu malam, aku melihat ibuku menangis di lobi rumah sakit, yah, saat itulah aku sadar, mungkin aku tidak akan lama lagi hidup di dunia ini. Tapi, disaat itulah, aku mencoba berubah, saat itu juga aku mulai bekerja keras dan melakukan apapun yang kumau. Aku pun jadi sering jahilin Ahmad dan Yuni. Mereka benar-benar lucu saat aku goda. Karena itulah, tolong aku minta maafkan padanya, ya, dan juga pada Yuni karena membuatnya repot.
Tapi memang, peristiwa-peristiwa yang kita lalui sangatlah seru dan juga ingatkah kamu saat di Arfonia dulu. Sungai yang kita lompati dulu sangat sejuk dan dingin, dimalam itu juga kunang-kunang terbang bercahaya di sisi kita, bahkan di bawah pohon pun bulan melihat mengintip kita.
Rasanya aneh, jika hal-hal sepele itulah yang masih kuingat. Tapi, Letnan Wahid, dari semua kenanganku dengammu, apa kamu akan melupakannya? Kumohon jangan lupakan loh ya! Apa juga aku bisa berbekas di hatimu? Walau dalam waktu yang lama ini, apa kamu masih bisa mengingatku? Tolong ingat aku baik-baik, ya!
Apa surat ini mencapaimu? Apa isi hatiku sampai padamu? Semoga… ini semua tersampaikan padamu!. Jadi maafkan aku yang mengganggumu, ya, maafkan aku yang selalu meledekmu, ya, maafkan aku yang selalu merepotkanmu, ya. Tolong banyak-banyakin maafin aku, ya! Letnan Wahid, aku benar-benar mencintaimu. Terima kasih!
“Bodoh, yang harusnya minta maafkan dan berterima kasih kan aku!”. Gumam lelaki itu sambil menggenggam surat itu ditangannya. “Karena kau lah… Yang membuat hari-hariku saat ini berwarna!”.
Cerpen Karangan: Rifqi Muhammad