Senja mencuat di balik gumpalan merah di atas langit sebagai atap terkokoh dari Sang Penabur Senja. Mentari kembali ke kaki langit mengakhiri hariku yang akan berganti dengan derap keheningan malam nanti. Aku mengagumi setiap kiasan sejuta makna dari bentangan alam yang tersirat menjadi bagian termasyur dari kisahku ini. Dan salah satu kisah masyur itu adalah cinta. Entah bagaimana aku mengenal hal indah sekaligus paling konyol ini.
“Astrid! Bangun! Kamu mau ngolor terus sepanjang hari. Cepat bangun, ini sudah jam 6.00” teriakan ibu membuyarkan mimpiku. Aku langsung beranjak dari kasur dan sesegera mungkin bersiap-siap ke sekolah. “Ya ampun, hari ini pasti telat lagi.”
“Astrid cepat Dion udah nungguin kamu dari tadi” dengan sigap aku turun ke bawah dan langsung menemui Dion yang sedari tadi sudah menungguku. “Selamat pagi Tuan putri Astrid yang cantiknya gak seberapa tapi leletnya enggak ketulungan”. “Maaf abangku yang gantengnya minimal tapi omelannya selangit” balasku padanya. Dia adalah Dion sabahat terbaik sepanjang masa. Aku dan Dion sudah 15 tahun bersahabat dan aku akrab memanggilnya abang. “Ya udah mau terus ngomel di sini atau mau berangkat ke sekolah?” “Ya berangkat ke sekolah la, cepat naik”. Dion tak pernah absen menjemputku, ya berungtunglah, aku dan Dion bersekolah di sekolah yang sama dan bahkan kami sekelas, bagiku dialah sahabat terbaik.
Teman-temanku sering beranggapan bahwa aku dan dia adalah pasangan alias kami pacaran padahal kami hanya sekedar bersahabat. Meskipun aku tidak menampik apa yang akan terjadi antara aku dan Dion pada bulan bulan dan tahun tahun berikutnya, yang terpenting bagiku akulah sahabatnya saat ini. Dion tahu segala tentangku mulai dari hal-hal yang kusukai sampai ha-hal yang tidak kusukai. Dia tidak pernah mengecewakanku, aku sungguh sangat menyayanginya sebagai sahabat.
“Ya ampun kita telat lagi, karena kamu sih dasar princes lelet” Dion mengerutuh. “Maaf Dion” ucapku penuh rasa bersalah. “Tidak apa-apa, kamu itu princes kan? Ya walaupun cuman princes lelet tapi bukannya princes itu harus mengangkat kepalanya. Nah sekarang angkat kepalamu princes nanti mahkotamu jatuh.” Dia tertawa kecil mengatakan itu, dia kelihatan sangat berkarisma. “Ah kau ini, ayo cepat masuk kelas ” balasku tersipu malu.
“Astrid cepat, emangnya kamu mau cengar-cengir di situ terus” tegurnya yang membuyarkan lamunanku. Di kelas aku menempati bangku ketiga dari depan, aku duduk sendiri karena beberapa bulan lalu teman sebangkuku memutuskan untuk pindah sekolah karena orangtuanya pindah ke kota lain. Sendangkan sahabatku Dion menempati bangku paling belakang.
Sesaat kebisingan di dalam kelas berubah hening bersama langkah kaki yang menderap masuk ke kelas kami. Dan ya langkah kaki itu milik Pak Arnold, wali kelas kami sekaligus guru fisika. Dia adalah guru tergusar di sekolah. Ya maklum saja dia berprinsip bahwa siswa tidak boleh di beri hati lama-lama bisa melunjak. Tetapi bukan Pak Arnold yang menjadi perhatian kami melainkan siswa lelaki yang mengikuti Pak Arnold. “Nah anak-anak ini adalah teman baru kalian bapak harap kalian bisa berteman baik dengan dia. Nak silahkan perkenalkan dirimu”. “Perkenalkan nama saya Rehan, pindahan dari SMAN 1 Bandung.” “Silahkan menempati bangku yang kosong itu”. Anak baru itu beranjak ke dekatku karena satu-satunya bangku kosong adalah bangku yang ada di sampingku. Para murid perempuan mulai melancarkan aksinya, silih berganti mereka mulai tebar pesona. “Huh, dasar kurang kerjaan” gerutuh ku dalam hati smbil memandangi mereka dengan tatapan yang risih.
Yaa kuakui Rehan memiliki wajah yang rupawan, perangainya pun sepertinya baik. Jadi wajar sih jika banyak siswi yang yang klepek-klepek dengan dia saat pertama kali melihatnya. Kecuali aku ya. Aku memang dikenal sebagai orang yang dingin dengan lelaki lain kecuali Dion. Entah mengapa tapi sepertinya tak ada yang bisa kuandalkan kecuali Dion.
“Astrid!. Ayo kita ke kantin” ajak Dion. Tanpa berpikir panjang aku langsung beranjak dari tempat duduk ku, “ayo”. “Eh murid baru, kenalin nama aku Dion dan ini Astrid, oh ya ayo kita ke kantin”. Seperti biasa, Dion yang sering ceplas ceplos dengan siapapun, tanpa berpikir panjang juga mengajak Rehan dan Rehan mengiyakannya. Kami pun pergi ke kantin, dalam perjalanan ke kantin di sepanjang koridor sekolah para siswi melihati Dion dan Rehan, itu membuatku sinis dan mendaratkan pandangan jelek pada siswi-siswi itu. “Dasar kurang kerjaan kalian” gerutuku dalam hati. Ku mengakui bahwa Dion adalah siswa terkeren di sekolah ditambah lagi dia adalah kapten tim basket sekolah kami, disenyumin sedikit saja para siswi kurang kerjaan itu bisa pingsan. Dan sekarang ditambah lagi Si siswa baru, Rehan yang memiliki wajah manis.
Setelah ajakan Dion ke kantin, Rehan lambat laun menjadi bagian dari persahatan kami. Aku yang dulunya tidak percaya siapa pun kecuali Dion kini telah menempatkan Rehan pada salah satu lelaki yang aku percayai. Tak butuh waktu lama untuk kami saling mengenal apalagi dengan sikap Rehan yang “easy going” semakin mempermudah kami untuk saling megenal. Aku sendiri mulai merasakan hal-hal ganjal dalam hatiku. Entahlah, awalnya aku mengira hal ini hanya sekedar rasa nyaman karena sebuah persahabatan yang terjalin antara kami. Tapi sepertinya tidak. Aku berusaha memecahkan kegundaan itu dan yang aku temukan adalah kata cinta yang terbungkus rapih. “Oh Astrid bagaimana bisa kau mencintai Rehan saat kau merasa sangat nyaman bersama Dion”. Sungguh ini membuatku dalam dilema, mungkin aku terlau egois, mungkin benar kata orang wanita dan pria tidak mungkin menjalin persahabatan yang murni tanpa campur tangan rasa cinta di dalamnya.
Menyadari hal itu aku mulai menghindari Dion dan Rehan. Jika pada pagi hari aku selalu dijemput Dion, kini aku mulai berangkat pagi agar bisa menghindari Dion. Jika aku diajak Rehan ke kantin aku menghindarinya dengan alasan jika aku ingin ke perpustakaan. Tapi tak berselang lama, Dion dan Rehan menyadari sikap ku itu. “Astrid kamu sebenarnya kenapa? Kamu ada masalah?. Belakangan ini kamu sering menghindar dari aku dan Rehan”, aku hanya diam mendengar pertanyaan Dion, tak tahu apa yang akan aku katakan padanya. Tidak mungkin kan jika aku mengatkan jika aku mencintai mereka berdua. “Maaf Dion belakangan ini seperti ada yang mengganjal dalam hatiku”. “Ya sudah jika kamu tidak mau berbagi. Tapi ingat aku selalu ada untuk kamu. Dan saat kamu siap menceritakannya, aku akan selalu ada untuk kamu” Ya Tuhan kata-kata Dion semakin membuatku dalam kegundaan.
Siang ini berlalu begitu cepat yang digantikan oleh senja sebagai pertanda malam akan segera tiba. Nada handphoneku berbunyi. Aku sesegera mungkin beranjak mengambilnya, dan ternyata itu pesan yang dikirim oleh Rehan. “Astrid, belakangan ini kamu aneh, kamu selalu menghindar dariku juga dari Dion. Memangnya kami ada salah ya?”. aku hanya mengabaikan SMS itu meskipun sebenarnya aku sangat memirkirkanya. Aku sadar bahwa menghindar bukan solusinya, tapi untuk saat ini aku lebih memilih demikian. Saat aku sudah merasa siap aku akan mengatakan semuanya.
Di sekolah, seperti biasa aku selalu bergelut dengan buku-buku tebal di bangku perupustakaan sekolah. Tempat yang dianggap siswa lain sebagai neraka tapi tidak denganku. Tapi untung saja aku tak tercap sebagai kutu buku. Setelah semua tugasku selesai aku beranjak keluar dari perpustakaan dan ternyata aku telah ditunggu oleh Dion dan Rehan. “kali ini kamu enggak bisa menghindar lagi Astrid, kita harus bicara” sambar Dion. “Ya udah tapi sama kamu aja ya. Maaf ya Rehan, nanti Dion aja yang ngasi tahu ke kamu” cakapku. “Ya udah, Dion gue tunggu lu di lapangan basket ya” Rehan menjawabnya dengan nada yang sedikit kecewa.
“Sebenarnya ada apa sih Strid? Kok Rehan enggak kamu ijinin ikut ama kita?” ungkap Dion dengan penuh protes. “Karena yang menjadi masalahnya adalah karena aku suka sama Rehan” sambarku. Aku sendiri memprotes segala rasa suka yang aku rasakan karena aku telah berprinsip untuk tidak jatuh cinta pada sahabatku tapi apa boleh buat, aku tak bisa berkutik saat mengetahui kenyataan bahwa prinsipku telah ditibas oleh gejolak dalam hatiku ini. “Ya ampun Astrid, apanya yang salah coba? Kamu suka sama Rehan dan menurut aku itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Dan kamu perlu tahu bahwa Rehan juga suka sama kamu, Dia sendiri yang ngomong sama aku”. Aku sangat senang mendengar kalimat yang baru saja diutarakan oleh Dion, dan aku memutuskan untuk bicara dengan Rehan setelah pulang sekolah.
Jarum jam menunjukkan pukul 2.30 tepat. Aku sesegera mungkin berjalan henda menghampiri Rehan. Tapi Rehan berjalan sangat cepat dan begitu aku memanggilnya dia sudah dijemput menggunakan mobil sedan silver. Baru kali ini Rehan dijemput, biasanya dia selalu menggunakan motor ke sekolah. Tapi ya sudahlah, aku berencana untuk mengerimkan pesan ke Rehan alias SMS begitu sampai di rumah.
Begitu sampai di rumah aku langsung mengambil ponselku. “Rehan?” pesan yang kukirim memang agak kaku. Tapi beberapa menit berselang tak ada balasan dari Rehan. Aku terus berusaha tak hanya sekali atau dua kali aku mengirimkan pesan, bahkan berkali-kali sampai pulsaku habis. “Oh dasar Astrid kere”. Aku berpikir mungkin Rehan sibuk atau dia sedang ada acara keluarga hingga tak memperhatikan ponselnya. Akhirnya kuputuskan untuk berbicara pada Rehan besok saja.
Suasana bising di daam kelas mengawali hari yang menemaniku menapaki suasana kalbu yang semraut ini. Aku terus menunggu Rehan sambil melihat jam tangan mungil pemberian ayahku sebagai hadiah ulang tahunku tahun kemarin. Garis waktu terus beranjak dan bel sebentar lagi akan berbunyi, tetapi batang hidung Rehan pun tak kunjunng kelihatan. Pikiranku terus semraut menanti Rehan sementara hatiku terus saja dalam kegundahan.
“Heh melamun aja dari tadi” sambar Dion. “Aduh Dion bikun kaget aja, eh ngomong-ngomong kamu lihat Rehan tidak?” cakap ku. “enggak. Tumben Rehan telas biasanya dia yang paling pagi diantara kita bertiga. Mungkin dia sakit kali atau lagi ada urusan yang lain” balas Dion. Belum selesai percakapanku dengan Dion, pak guru sudah tiba di dalam kelas. Itu membuat percakapan kami terhenti.
Hari ini langit senja nampak begitu indah, dengan gradasi jingga yang menyeruak di ufuk barat, pemandangan yang selalu menjadi favoritku. Tapi senja kali ini tak lagi sama. Sudah 1 minggu Rehan tak ada kabar. Bahkan seminggu ini dia tidak pernah muncul di sekolah. “Sebenarnya ada apa sih” pertanyaan tentang Rehan yang selalu ada di kepalaku yang tak kunjung terpecahkan oleh nalar dan logikaku.
“Dorrr!!! Ngelamun aja mbak”. “Aduh Dion ngagetin aja. Dion aku mau minta tolong. Bisa enggak?”. Dengan nada yang penuh gombalan Dion menjawab “Apasih yang enggak buat gadisku yang satu ini”. “Dion temenin aku ke rumah Rehan dong” pintaku merengek. “ya ampu Astrid masih aja mikirin si cowok tengil itu, dia aja enggak pernah balas sms kamu, kamu kok peduli amat ama dia sih” balasnya dengan nada kesal. Aku hanya menundukkan kepala ku memikirkan kalimat yang baru saja keluar dari mulut Dion. “kalau begitu aku temenin, enggak enak tahu Strid liat kamu yang merajuk seperti itu”.
Sore itu aku memustuskan untuk ke rumah Rehan. Sampainya di sana rumah itu nampak begitu sepi. Sangat hening sampai aku berpikiri mungkin aku dan Dion salah rumah. Tapi suara pintu menarik perhatian kami kembali. Ada seorang wanita paruh baya yang keluar dari rumah itu, wajahnya nampak menanggung kesedihan yang begitu mendalam. “pasti nak Astrid yaa” kata ibu itu sambil tersenyum kecil. “Iya benar bu, saya Astrid. Rehannya ada bu?”. Dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya ibu tersebut menyodorkan secarik kestas untuk ku “nak Astrid silahkan baca sendiri, Rehan memberikan ini sembelum dia pergi”. Setelah memenrikan surat itu, wanita paruh baya itu kemudian masuk ke dalam rumah.
Aku sangat penasaran dengan isi surat itu, dan kemana Rehan pergi. Tanpa berpikir panjang aku menyuruh Dion berhenti di sebuah taman kecil dengan tempat duduk warna jingga, warna senja favoritku. “Dion kita mampir bentar yaa. Aku mau baca surat ini”. “okelah tuan putri” pasrah Dion.
Jantungku berdegub kencang saat hendak membaca surat itu. Tulisan Rehan sangat indah, dan yang tidak kalah indahnya adalah kata yang terangkai pada kalimat pertamanya “untuk Astrid si gadis jingga yang membuatku jatuh cinta pada senja”. “Astrid, kamu pasti sangat marah padaku. Ya tentu saja, aku memaklumi itu. Tapi kumohon baca surat ini sampai pada kata terakhirnya. Astrid, sebenarnya aku telah mendengar pembincanganmu dengan Dion. Kamu tahu, saat itu aku sangat bahagia, aku dicintai oleh gadis yang membuatku jatuh cinta sejak pertama memandanganya dan dalam waktu yang sama aku jatuh cinta pada senja. Astrid, gadis kebanggaanku Sore itu, aku sedang duduk di bangku sebuah taman, tak sengaja aku melihatmu dengan baju warna putih yang nampak pas dengan tubuhmu. Aku melihat rambut hitam legam milikmu terurai dengan sangat indahnya. Dan pada saat itu, aku jatuh cinta. Kau tahu, saat itu aku belum mengenalmu, itu adalah hari pertamaku tinggal di kota ini. Jadi yang jatuh cinta pertama adalah aku. Dan alasan aku mencintai senja adalah kamu. Aku tahu Astrid, pasti saat ini kamu bertanya-tanya jika aku mencintaimu lantas ke mana aku pergi, ke mana Rehan yang sangat kamu cintai?. Di dalam surat ini aku akan menjelaskan alasan kepergianku. Astrid, sekitar 3 minggu lalu aku memeriksakan diri ke dokter. Dan hasilnya sangat sulit untuk aku percaya, aku sendiri sangat takut untuk sekedar menuliskannya dalam surat ini. Aku difonis menderita penyakit kanker sumsum tulang belakang stadium akhir. Pada saat itu duniaku seperti berhenti. Tak ada lagi harapan untukku. Setelah seminggu mengetahui hal itu, aku mulai menjalani pengobatan. Sebenarnya dulu aku ingin memberitahumu tapi kamu selalu menghindar dariku. Astrid gadis yang selalu aku cintai, kumohon jangan menangis. Setidaknya jika tidak bisa menahannya untuk saat ini, kumohon jangan lagi menangis di senja-senja yang berikutnya. Mungkin radarmu dan radarku tak lagi menyatu, kita ada di dunia yang berbeda. Sangat jauh jarak antara kita. Tapi aku sangat yakin, kau tidak serapuh gadis yang lainnya. Kau ini gadis yang sangat kuat. Menangislah bersama senja hari ini, tapi kumohon jangan ada lagi tangisan esok lusa dan hari-hari ketika kita tak lagi bisa walau hanya sekedar bertatap muka. Aku yakin akan ada takdir yang indah untukmu. Aku juga menemukan takdir yang indah itu, yaitu kamu. Aku berjanji, jika kita berjumpa di kehidupan selanjutnya aku tak akan menyeka tiap tabir dari senja. Aku akan mengatakan aku teramat mencintaimu. Tapi untuk saat ini, cobalah untuk bangkit. Aku tahu senja tidak akan mungkin sama lagi, jangan pernah mencari karena aku tak akan mungkin kembali. Dariku yang teramat mencintaimu.
Aku menangis membaca setiap kata dari surat ini, aku tak kuasa menahan bulir-bulir air kesedihan ini. Pada saat itu Dion memelukku erat, sangat erat. Tak ada lagi yang bisa aku ucapkan selain suara rintihan yang teramat perih. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan karena yang kuhadapi adalah sebuah takdir…
Cerpen Karangan: Nur Asisi Bahar Blog / Facebook: Nur Azisi