“Siapa itu kak, kenapa gak disuruh masuk?” Ibu melihat aku sedang bercakap di depan pintu rumah, dengan dia yang pernah singgah di kehidupanku. “Temenku bu, cuma sebentar kok.” Aku berbohong, padahal aku enggan menyuruh Fajar masuk karena sudah kelewat benci dan sebenarnya aku tak mengharapkan bertemu dengannya lagi. “Biar saja kamu tak mau lagi bersamaku Naf. Jika kamu takdirku, kita akan bersatu kembali nanti. Bahwa aku masih berharap denganmu.” Aku membisu saat Fajar menyatakan hal itu dengan wajah sendu yang selalu kurindukan itu. Apa yang pernah kita lalui bersama adalah memori indah yang tak akan pernah terhapus, walaupun pengkhianatanmu sudah terlanjur melukai perasaanku Fajar. Kamu adalah salah satu bagian yang terbaik dalam hidupku. “Sudahlah Fajar, aku sedang sibuk banyak pekerjaan yang lebih penting bagiku saat ini dibanding harus melihatmu seperti ini di hadapanku. Yang telah terjadi biarkan saja jadi pengalaman untukku dan kau boleh pergi sekarang.” Aku sudah tak mampu menahan sesak di dadaku melihat wajahnya yang menyiratkan rasa penyesalan. Aku sudah memaafkannya, tapi aku takkan mungkin menerimamu kembali.
Saat aku mencium kebohonganmu itu, aku merasa tidak perlu lagi berhubungan denganmu. Apa yang kau perbuat mungkin adalah bagian dari kesalahanku jadi aku tidak harus menangis ketika melihatmu mesra dengan perempuan lain. Aku memang sedikit acuh padamu, aku terlalu sibuk mengejar ambisiku. Aku egois, memang. Kau butuh seseorang yang bisa menemanimu kala kau ingin duduk berdua di taman seperti pasangan lain. Namun aku tidak bisa seperti itu, aku hanya membuang-buang waktu jika harus melakukan hal yang kau inginkan. Aku juga tidak suka diatur-atur untuk mengikuti kehendakmu. Walaupun aku tak rela kehilanganmu, tetapi aku harus ikhlas melepasmu.
Kala itu, aku menghadiri rapat organisasi di sekolah yang sedang kujajaki saat ini di salah satu ruangan. Letaknya tak jauh dari kelas Fajar. Aku berada di kelas XI-IPA 2 dan dia berada di kelas XI IPS-1 jadi kami tidak sekelas. Kami berkenalan saat ikut OSIS ketika kami masih kelas XI tepatnya 3 tahun yang lalu.
“Hai, kamu dari OSIS kan?” “Ya, kamu juga kan?” Dia mengangguk, lalu mengulurkan tangan “Fajar Anugrah.” “Nafisah” ucapku seraya membalas uluran tangannya.
Kata orang itu mungkin cinta pertama, saat pertama kali bertemu kau langsung menaksir pada seseorang. Entahlah, aku lupa persisnya bagaimana yang jelas setelah berkenalan hari itu aku dan dia sering bertemu karena kelas kami juga berdekatan dan Fajar sering menemuiku waktu istirahat. Awalnya aku tidak suka karena dia suka cari perhatian di depanku. Namun lama kelamaan aku malah terbuai candaannya, menyukai senyumnya, dan aku merasa tak ingin kehilangannya.
Sekitar 3 bulan kami saling mengenal, akhirnya Fajar mengirim pesan lewat chat di sosial media “Aku ingin jujur, kau boleh benci padaku tapi aku benar-benar menyukaimu. Will you be my girlfriend now and my wife soon?” Aku terhenyak melihat pesan itu saat kubuka, 5 jam setelah pesan itu terkirim padaku. “Tadi dia mengirim pesan ini? Apa yang harus kujawab.”
Esoknya, dia menghampiriku sambil memberikan sesuatu. Sebuah kotak kecil berwarna merah muda dengan hiasan pita merah. “Apa ini?” “Buka saja, kau sudah membaca pesanku kan?”
Setelah kubuka, sebuah cincin yang pernah kuceritakan padanya. Saat melewat di toko, aku bilang padanya aku ingin memiliki cincin seperti tu. Ternyata dia membelikannya untukku. Sungguh aku tidak menyangka dia akan memberikan untukku.
“Will you be mine now and forever?” katanya. Lagi-lagi aku diam membisu saat mendengar suaranya. “Yes…” Hanya itu, karena aku terpaku melihat wajahnya yang kegirangan mendapat jawaban dariku.
—
Fajar masih berdiri di hadapanku, berharap pintu hatiku masih terbuka untuknya. Maafkan aku, tapi rasa sesak di dadaku, luka di dalam hatiku masih belum sembuh jua. Hingga ruang kosong yang pernah disinggahi olehmu masih terkunci rapat. Aku pun tak sanggup membukanya walau harus menahan tangis. Aku belum bisa menerimamu.
“Baiklah Naf, kalau kamu masih membenciku aku menerima itu. Maafkan aku, maafkan aku yang melukai hatimu dengan kebodohanku. Ini ada hadiah mungkin bisa jadi yang terakhir untukmu tapi jika Tuhan menakdirkan kita kuharap aku bisa jadi yang terbaik untukmu. Jangan lupakan segala kenangan kita Naf, agar kita bisa mengenang kembali saat bertemu.” Fajar memberikanku sebuah kotak berwarna biru dengan garis-garis putih, lalu melangkahkan kaki dengan berat. Kulihat raut wajahnya yang sendu, matanya yang sayu, dan punggungnya kemudian hilang di pandanganku.
Aku masih tetap berdiri. Air mataku sudah mengering, hatiku masih belum terobati, pikiranku kosong entah karena apa aku jadi seperti ini. Kutatap pemberian Fajar di tanganku yang bertuliskan “To My Sunshine, My Star, My Nafisah.”
Kubuka perlahan tutup kotak, dan kulihat isinya adalah sebuah album foto kecil berwarna merah. Saat dibuka, berisi foto-fotoku saat masih SMA. Tepatnya saat masih bersamanya, aku tahu dia menyukai dunia fotografi tapi aku tidak tahu kalau dia rajin memotretku diam-diam. Aku memandangi semua hasil jepretan yang dikemas indah dalam sebuah album cantik.
“Terima kasih Fajar Anugrah atas segala kasihmu untukku.”
Di akhir foto, ia menyelipkan sebuah kertas bertuliskan “Hi My Girl! I’LL BE MISS YOU.” Aku tersenyum membaca tulisan itu “I’ll be miss you, too.”
2 tahun kemudian. Aku mendapat kabar dari teman lamaku di SMA, dia memberitahuku lewat telepon kalau Fajar meninggal karena sakit parah yang dideritanya sejak dulu. Aku diam sejenak, membisu, tak mampu berkata-kata, jantungku serasa tak berdetak. Kemudian aku menghela nafas dan segera menanyakan di mana sekarang keluarganya.
Esoknya aku berkunjung ke rumah duka, keluarganya menyambutku karena mereka sudah mengenalku sejak dulu. Mereka sudah tahu bahwa hubunganku dengan Fajar sudah berakhir dan saat itu pula Fajar menderita Leukimia. Parah sekali, aku tak pernah menanyakan keadaannya saat itu. Aku benar-benar menyesal. Barulah disitu aku tak kuat menahan air mata dan saat aku menerima album foto itu adalah terakhir kali aku bertemu dengannya.
“Fajar, takdir bukan untuk kita. Maafkan aku yang terlalu egois untukmu. Padahal aku tahu bahwa kau sangat tulus untukku. Aku akan terus mendoakan untukmu.” Aku baru menyadari rasa sayangmu, kini setelah kau tiada segala harapan kita untuk kembali bersama telah pupus dengan rencana Sang Ilahi.
Cerpen Karangan: Niken Ankapristya Blog / Facebook: Niken AD Halo! Panggil saja aku Niken. Aku lahir di Sumedang dan masih tinggal di kota tahu ini. Aku masih berstatus pelajar di MAN 1 Sumedang masuk jurusan Keagamaan. Asli orang sunda, sukanya suasana tenang dan damai kalau nyari inspirasi. Buat yang mau silaturahmi bisa add facebook: Niken AD, instagram: @nikenanka dan email: nknankaa[-at-]gmail.com