Tak ada lagi kerlip di matamu. Tak ada lagi senyum penuh kehangatan di bibirmu. Dan tak ada lagi… Genggaman erat pemberi semangat darimu. Haruskah sekarang? Tak bisakah nanti? Saat rasa ini sudah mampu kuungkapkan? Tak bisakah nanti? Saat perbedaan sudah tak lagi menghantui?
Aku tak ingat kapan terakhir kali menggenggam tangannya. Tangannya yang begitu hangat. Tangannya yang mampu memunculkan rasa bahwa aku begitu terlindungi. Tangannya yang mampu menjadi penyemangat. Tangannya… yang saat ini begitu dingin. Dan kini tangannya, tak membalas genggamanku.
“Terima kasih sudah mau datang, Ra.” Aku menolehkan wajahku ke arah seseorang yang sedang berdiri di sampingku. Wajahnya pucat, ada kantung mata di bawah kedua matanya. Senyumnya terlihat begitu lelah. Dan badannya semakin kurus saat ini. Aku bangun dari dudukku lalu memeluknya. Tepukan pelan di punggungnya mampu membuatnya menangis. Aku semakin merekatkan pelukanku, memberikan semangat untuknya, juga untukku. “Reno pasti senang sekali kalau dia tahu kamu di sini, kamu tahu kan kalau dia begitu rindu padamu?” Aku hanya mengangguk pelan, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata apapun, karena aku tahu saat aku berbicara pasti akan ada tangisan yang akan mengikuti. Dan menangis saat ini adalah hal terakhir yang ingin aku tunjukkan di depan semua orang yang ada di ruangan ini, terlebih di depan wanita yang sedang berdiri di hadapanku. “Rania, kamu pasti lelah, kami sudah menyiapkan tempat untukmu beristirahat, besok kamu bisa datang lagi ke sini untuk melihat Reno bersama Ibu.” Lagi, aku hanya tersenyum lalu mengangguk pelan saat Ibunda Reno mengajakku pulang untuk beristirahat. Yang beliau tidak tahu adalah dada ini begitu sesak ingin memeluknya, ingin menumpahkan seluruh perasaan yang berkecamuk di dada, ingin memohon maaf. Tapi melakukannya tanpa tangisan saat ini adalah hal yang sangat mustahil.
“Akhirnya Ibu ketemu kamu lagi, Ra, Ibu rindu sekali padamu.” “Rania juga rindu sama Ibu, maaf Rania baru bisa datang sekarang,” balasku sambil menggenggam tangannya erat. “Tak apa, tak perlu minta maaf, Ibu paham mengapa kamu pergi.” Aku menundukkan kepalaku, mencoba menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca. Kenangan dua tahun yang lalu bagai menghantam wajahku setelah Ibunda Reno mengatakan itu. Kenangan yang tak pernah membawa penyesalan ke hidupku sebelum hari ini, sebelum aku melihat Reno yang kini tengah dalam keadaan koma. Sebelum… aku menyadari bahwa masih ada rasa di hatiku untuk Reno.
“Ibu belum sempat membereskan kamar tamu, jadi selama kamu di sini kamu bisa tidur di kamar Reno, tidak apa kan?” tanya Ibunda Reno sambil membuka pintu yang ada di belakangnya. Pintu kamar Reno. Dengan perlahan aku memasuki kamar tidur yang didominasi warna biru laut itu. Warna kesukaan Reno. Waktu ternyata tidak mengubah hal yang satu ini. “Tidak apa Bu kalau Rania di sini?” tanyaku. Ibu tersenyum, senyum yang begitu mirip dengan senyum Reno. “Ibu yakin Reno tidak akan keberatan kamu tidur di kamarnya,” jawabnya dan langsung meninggalkanku sendirian.
Hangat. Itulah yang aku rasakan begitu memasuki kamar Reno. Seluruh kamarnya masih tertata rapi, aku begitu yakin Ibu membersihkan kamar ini setiap hari. Pandanganku beralih pada rak buku yang berada tak jauh di hadapanku. Dia masih suka membaca. Waktu juga tidak mengubah hal yang satu ini. Senyum yang muncul di bibirku seketika menghilang begitu aku melihat sebuah judul buku yang ada di rak buku itu. Buku yang begitu aku kenal. Buku yang dengan membaca judulnya saja mampu membuatku terlempar kembali ke hari itu. Hari di mana aku memberikan buku itu pada Reno.
Rania Tesalonika. Aku tersenyum ketika membaca namaku sebagai pengarang buku itu. Novel pertamaku yang berhasil diterbitkan. Novel pertamaku yang menjadi kado pertamaku untuk Reno. Novel yang tahun ini sudah berumur tiga tahun sejak aku memberikannya pada Reno.
Masih begitu jelas di ingatanku bagaimana bangganya aku ketika memberikan buku ini sebagai hadiah untuk Reno, dan bagaimana eratnya pelukan yang diberikan oleh Reno untukku begitu dia sadar bahwa itu adalah novel pertamaku. Semua masih terasa begitu jelas walaupun sudah tiga tahun kejadian itu terjadi.
Terima kasih untuk Reno atas support yang tiada hentinya kamu berikan padaku. Jangan kemana-mana ya, terus temani aku kala writer’s block menghantuiku. Tuhanku dan Tuhanmu tahu betapa aku mencintaimu. Kamu mencintaiku juga kan? Untuk pertama kalinya dalam setahun ini, aku kembali menangis. Menangisi aku dan Reno. Menangisi keadaanku dan Reno. Menangisi perbedaan yang Tuhan ciptakan di tengah diriku dan Reno. Perbedaan yang begitu tinggi dan bagai tak ada akhir. Perbedaan yang membuatku dan Reno bagai langit dan bumi yang diciptakan untuk berjalan beriringan namun bukan untuk disatukan.
Dengan sedikit gemetar aku kembali meletakkan buku yang mampu memporak-porandakan hatiku. Hanya butuh satu paragraf di buku itu yang mampu membuat aku kembali menangisi keadaanku dan Reno. Kenapa? Kenapa harus Reno ya Tuhan? Kenapa harus aku ya Tuhan? Kenapa harus kami?
Dengan langkah gontai aku kembali duduk di tempat tidur Reno untuk mengatur napasku yang sudah tersengal bagai habis berlari puluhan kilometer. Sepertinya Tuhan belum ingin membuatku tenang, karena detik berikutnya air mataku kembali membasahi pipiku.
Reno, aku meninggalkanmu tanpa pamit, mengapa kamu masih menyimpan fotoku? Foto kita? Dengan susah payah aku berjalan ke arah meja belajar Reno, tempat di mana terdapat bingkai foto yang di dalamnya terdapat fotoku dan Reno. Kupeluk bingkai itu dengan erat, begitu eratnya sampai aku tak peduli bingkai foto itu akan remuk. Kuusap pelan wajah Reno yang terlihat begitu bahagia di foto itu. Kapan aku bisa melihat senyummu lagi, Ren? Aku rindu. Kubuka bingkai itu perlahan. Reno pasti tak masalah aku mengambil foto ini, ucapku dalam hati.
Aku berpikir kalau Tuhan sedang menghukumku hari ini karena aku sudah meninggalkan Reno tanpa pamit, tanpa penjelasan. Meninggalkan Reno dengan kesedihan yang hanya mampu dia pendam sendiri. Meninggalkan Reno dengan sejuta tanya. Meninggalkan Reno dengan janji yang telah aku ucapkan. Janji untuk terus mencoba bertahan dengan perbedaan yang ada. Ya, Tuhan sedang menghukumku karena untuk kesekian kalinya hari ini Tuhan kembali membuatku tak mampu membendung air mataku. Kenapa harus kau buat jarak kita kembali bagai langit dan bumi saat kurasa kita sudah sedekat nadi? Detik berikutnya, teriakan kesedihanku akhirnya mampu terbebaskan, bersama dengan air mata yang kini tak lagi kucegah. Tuhan… mengapa harus aku dan Reno?
“Reno tak pernah menyerah Rania, dia selalu menunggumu, menunggumu kembali.” Sebuah suara dari pintu kamar Reno membuatku menoleh, dan ketika melihat siapa yang sedang berdiri tak jauh dariku, aku kembali menangis dan berteriak kencang. Aku merasakan tangan Ibu memelukku. Usapan pelan di punggungku membuat tangisku semakin mengalir deras, membuatku semakin merasakan penyesalan dan kesedihan. “Kita cari jalan keluarnya bersama, kamu dan Reno, genggam kembali tangannya sebelum terlambat Ra,” ucap Ibu yang dijawab dengan anggukan penuh keyakinan dariku. Reno, kita mulai cari jalan keluar lagi, ya, kali ini aku tak akan meninggalkanmu berjuang sendiri, kali ini kita akan kembali berjuang bersama.
Ketika aku berpikir bahwa Tuhan sedang memberikan kesempatan kedua untukku dan Reno, Tuhan ternyata hanya memberikanku kesempatan untuk dapat menemani Reno di saat-saat terakhirnya. Ketika aku kembali untuk menepati janjiku untuk tetap bertahan, Reno memilih untuk menyerah. Ketika aku ingin meniadakan jarak antara kami, Reno memilih untuk menambah jarak di antara kami. Sekarang, jarak kami tak hanya sejauh langit dan bumi, namun lebih dari itu.
Penyesalanku bukan karena meninggalkan Reno tanpa pamit, bukan karena membiarkan Reno bertahan seorang diri, bukan karena perbedaan yang hadir di antara aku dengannya. Penyesalanku adalah aku yang tidak bisa menemani Reno lebih lama, tidak bisa menepati janjiku padanya, tidak bisa setegar dirinya untuk terus bertahan, tidak bisa menggenggam tangannya lebih lama, tidak bisa… meminta maaf atas semua kesalahan yang telah aku lakukan padanya. Ren, bisakah kita menghadapi jarak yang lebih jauh dari jarak langit dan bumi?
“Ibu sudah membaca novel terbarumu, terima kasih ya, Ibu suka sekali dengan ceritanya.” Aku tersenyum mendengar suara di ujung telepon. Suara yang selalu terdengar hangat dan mampu menentramkan hatiku yang mendengarnya. Suara yang selalu terdengar ramah meski kesedihan masih tersirat di setiap kata yang diucapkannya. “Sama-sama Bu, Rania senang sekali Ibu suka ceritanya, maafkan Rania mengungkit Reno di cerita Rania ya, Bu,” balasku Terdengar tawa di ujung sana. Ah, lega sekali hatiku mendengar tawanya. “Kamu tahu apa yang akan dikatakan Reno kalau tahu orang yang dicintainya memakai ceritanya sebagai inspirasi karya terbarunya? Dia akan sangat senang dan bangga padamu, Rania, percaya sama Ibu.” Kata-kata hangatnya mampu membuatku meneteskan air mata lagi, membuatku semakin rindu pada Reno. Sudah enam bulan sejak Reno meninggalkanku, sejak jarak antaraku dan Reno bahkan lebih jauh dari jarak langit dan bumi, dan hari ini menjadi hari yang penting bagiku karena setelah tiga tahun beristirahat menulis, aku dapat menerbitkan kembali karyaku, bukuku yang kedua. Tentang Reno.
Aku tersenyum membaca ucapan terima kasih yang kutulis di awal buku. Terselip doa bahwa nama yang tertulis di sini dapat membaca kata-kata yang tak sempat kuucapkan ini. Aku membayangkan bagaimana reaksinya ketika membacanya, apakah akan memelukku? Mengatakan kalau dia bangga padaku? Atau terlalu senang sampai menangis? Aku tersenyum membayangkan wajahnya. Wajah seseorang yang mengisi seluruh hatiku, bahkan sampai saat ini ketika aku tak mampu lagi melihat wajahnya. Bahkan sampai saat ini, saat jarak kami tak dapat kami hitung besarnya. Saat ini… hingga nanti.
Dear Reno… Terima kasih telah hadir di hidupku dan membawa perbedaan di antara kita. Dari sekian banyak kata yang tak sempat aku ucapkan, satu yang harus kamu tahu, aku tak pernah menyesal pernah mengenal dan mencintaimu. Tuhanmu dan Tuhanku tahu seberapa besar rasa syukurku kamu hadir di hidupku. Reno, aku mencintaimu, kamu mencintaiku juga kan? Hadir di mimpiku lagi ya, Ren, karena hanya lewat mimpi aku dapat merasa bahwa kita masih sedekat nadi meski jarak kita sejauh langit dan bumi. Yang selalu merindukanmu, Rania Tesalonika.
Cerpen Karangan: Tasya Aulya R. Blog / Facebook: Tasya Aulya Rachmatia