“Di sini saja ya Mbak, lihatlah langit itu Mbak,” jemariku menunjuk ke barat, “Boleh, senjanya cukup indah ya Dik,” wanita berbaju putih itu memberhentikan sorongannya, “Benar Mbak, baru pertama kali aku melihat langit seperti itu,”
Sore ini aku tak merasakan hangat pelukan darinya, seorang lelaki yang kutanam sejuta pohon harap dan kutaburi padanya seribu bunga kasturi cinta, orang yang kuharap perhatiannya, sepotong rindu menggebu di relung jiwaku, rindu padanya. “Di mana kau,” batinku.
Sudah 2 jam aku di taman rumah sakit ini menunggu lelaki kurus tinggi itu, namun ia tak kunjung datang menemuiku, lelaki yang beberapa minggu belakangan ini menjadi penyemangatku, lelaki yang selalu kuselipkan namanya di bait sajak-sajak doaku, lelaki yang menjadi alasan untukku hidup lebih lama, lelaki yang kupanggil ia dengan nama Damar.
Semenjak kecelakaan beberapa minggu lalu, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah sakit ini, peristiwa itu pula yang telah merenggut sebagian anggota tubuhku juga ingatanku, benar, ucapan Dokter Rani masih terngiang-ngiang di telingaku, “Dik, kaki kamu yang sebelah kiri harus diamputasi,” aku hanya bisa menangis ketika mendengar perkataannya dan pasrah.
Hari-hariku berlalu begitu buram, aku sampai berputus asa hingga berniat untuk mengakhiri nyawa, namun Damar, Damarlah yang selalu ada untukku, yang mampu meredam niatku untuk bunuh diri, ia berjanji akan selalu menjagaku, “Aku akan menjagamu, sampai kau sembuh Manis”, kata-katanya itu yang menjadi penyemangatku untuk lebih kuat dalam menjalani hidup dan menerima takdir ini.
Apa lagi aku nyaris seperti orang gila, tak ada orang yang kukenal melainkan Damar, tak ada orang yang menjengukku kecuali Damar, tak ada orang yang memberikan semangat padaku selain Damar, saat ini hanya Damarlah yang kukenal, bagaimana tidak, aku saja tak mengenal siapa namaku, aku pun tak mengenal siapa keluargaku, aku juga tak mengetahui di mana kutinggal.
Damar, seorang pria yang baru beberapa minggu ini aku kenal ketika aku sadar dari siuman, dialah orang yang pertama kulihat ketika aku terbangun dari tidur panjangku itu, di rumah sakit ini, ialah orang pertama yang menjengukku, kata Dokter Rani aku telah pingsan selama hampir 3 minggu dan tak ada yang menemaniku selain Damar, aku tak mengerti mengapa ia menjagaku, merawatku, sedangkan aku saja tak mengenalinya.
meski ia orang yang baru kukenal, entah mengapa aku telah jatuh hati dengannya, melihat perangainya yang baik terhadapku itu yang membuat aku menyukai lelaki jangkung itu, ia pun tak pernah alpa menjengukku. Setelah lelah kutunggu lelaki itu, tiba-tiba.
“Hai, kamu lagi nungguin aku kan manis!,” kejut seorang lelaki dari belakang sambil memegang pundakku dan berbisik kepada Suster Elsa, lalu Suster itu pun meninggalkan kami berdua.
“Damar, kamu ke mana aja sih?,” tanyaku, “Aku tadi membeli ini untukmu,” sambil menyodorkan sebuah Paper Bag, “Apa itu?,” tanyaku dengan penasaran, “Bukalah,” sahutnya,
Kubuka bungkusan Paper Bag itu dengan perlahan dan… “Ini untukku Damar, cantik sekali,” kataku sambil tersenyum sembringah memegang sebuah gaun putih. “Iya manis, aku kan sudah berjanji padamu kemarin mau memberikan sesuatu untukmu,” “Terima kasih ya Damar, kamu baik sekali,” Perbincangan kami terus berlangsung hingga 30 menit pun berlalu dengan singkat, sampai akhirnya Damar mengatakan… “Kamu mau kan menikah denganku Manis?,”.
Suara itu menggetarkan jiwaku, saat itu aku terdiam beberapa menit. Jantungku berdebar dengan cepat, jemariku dingin, seharusnya aku bisa menjawab dengan mudah pertanyaan damar itu, aku tahu pasti jawabannya, namun entah mengapa mulutku terasa kaku, damar tepat di depanku dan tangannya memegang tanganku, risau menghantuiku.
“Dia saya antar ke kamar dulu ya pak, sudah azan magrib,” kata Suster Elsa datang menghampiri kami yang tengah diam dan bungkam. “Oh iya Mbak, silahkan,” sahut Damar dengan melempar senyum dan mengacak-acak rambutku, “Permisi pak.” Suster Elsa menyorong kursi rodaku meninggalkan damar sendiri di taman. Hari ini Damar menggoreskan cerita yang indah untuk kukenang, cerita yang menjadi sejarah di lembaran kisah hidupku pada senja yang membiru di taman rumah sakit ini.
“Besok aku akan berikan jawaban pasti untuknya” batinku sambil tersenyum sendiri, Suster Elsa membawaku menuju kekamar. Malamku dihantui oleh seribu pertanyaan, masih terngiang-ngiang suara Damar yang mengatakan “Kamu mau menikah denganku manis,” hingga kata-katanya tersebut terbawa mimpi. Lagi dan lagi.
—
“Damar.” “Damar.” “Aku Mau Damar!,” aku mengigau hingga terbangun dari mimpi indahku, pagi itu pijar mentari menembus tirai kamar rumah sakit, hingga menyilaukan mataku, aku tersentak. Suara gaduh terdengar dari luar kamar rumah sakit ini. Aku kenal suara lelaki itu, itu suara Damar, namun ia sedang bergaduh dengan siapa?.
Tak lama kemudian seorang wanita tua memasuki kamarku. “Nelly, kamu sudah bangun,” wanita itu tersenyum mendekatiku sambil mengecup kening dan mengelus kepalaku, “Nelly? Kamu siapa?,” tanyaku, “Ini ibu nak, ibu kandung kamu, ibu rindu sekali padamu, ibu mencarimu selam 3 minggu nak, ibu sudah mencarimu ke mana-mana namun nihil hasil, kamu menghilang begitu saja tanpa kabar, setelah ibu mendapatkan kabar dari Tiya teman kuliahmu kalau kamu kecelakaan dan di rawat di rumah sakit ini, ibu buru-buru langsung datang ke sini, ternyata benar kalau kamu kecelakaan, terang wanita tua itu,
“ha? Ibu kandung? Damar mana? tadi aku seperti mendengar suaranya,” tanyaku tegas, “Oh lelaki yang mencelakaimu itu, dia sudah ibu laporkan ke polisi,” jawab wanita tua yang mengaku dirinya sebagai ibuku. “Apa? lelaki yang mencelakaiku? Kau laporkan ke polisi?,” kutanya lagi dengan rasa bingung dan penasaran, “Benar nak, kemarin kamu kecelakaan, dan lelaki itulah yang menabrakmu,”. Ucapannya seperti mala petaka buatku, aku seperti tak percaya dengan perkataan wanita tua itu, kepalaku berdenyut seperti dihunjamkan belati, pandanganku buyar, “Nel, Nel, Nelly, bangun nak!,” terdengar suara yang semakin lama semakin mengecil.
Hari berganti, aku terbangun dari pingsanku yang tak tahu sudah berapa lama, aku membangkitkan tubuhku, kulirik jam dinding yang telah menunjuk pukul delapan kurang seperempat, kupegang kepalaku yang sedikit denyut, Suster Fitria memasuki kamarku.
“Alhamdulillah, akhirnya sadar juga kamu, kamu telah pingsan hampir seminggu, kata Dokter kamu harus banyak istirahat, untuk saat ini jangan berfikir terlalu keras, sebentar ya, saya akan panggil keluargamu,” kata Suster Fitria sambil mencatat sesuatu.
“Saya butuhnya Damar Sus,” keluhku, “Damar? maaf, Dik. Tidak bisa.” Jawab Suster Fitria yang sedikit terperanjat itu. “Suster, saya hanya ingin berbicara dengan Damar Sus, tolong panggilkan dia, ada hal-hal penting yang harus saya sampaikan padanya Sus, sekarang, tolong!”, pintaku dengan nada memohon, sekonyong-konyongnya wanita tua semalam yang mengaku sebagai ibuku itu masuk tanpa memberi salam. “Mana Damar buk? Aku ingin menjumpainya sekarang!” Rontaku.
Pagi itu Aku dibawa oleh orang-orang yang mengaku sebagai keluargaku menuju ke suatu tempat, semenjak dari rumah sakit hingga di perjalanan air mataku terus-menerus mengalir, relung batinku seperti tersayat, aku terisak sayu pilu, hingga mataku membengkak karena kekenyangan meluapkan tangis.
Menurut cerita dari keluargaku dan keluarga Damar sewaktu di jalan tadi, Damar sangat menyesal telah menabrakku, mencelakaiku, melukaiku, dan telah membuatku menjadi cacat atas kelalaiannya dalam berkendara, namun ia akan bertanggung jawab atas perbuatannya itu dan berjanji kepada keluarganya akan menikahiku, namun apa boleh dikata, ia tak bisa lagi menjumpaiku, ia hanya meninggalkan sepucuk surat yang berisi sebuah puisi.
Kupesan pada robbi sebuah hati, Jangan lagi kau tikam rindu yang masak ini Teduhilah, hati yang buta karena keruhnya pilu mendera Aku tersuguhkan duri menikam rindu, Nelly Rindu karena kepulanganku yang selalu alpa Senja membungkuk hingga sekeping bulan tiba Beri senyum terakhir Hari menggulung waktu merenung Dengarkan sajak meronta mengadu pada kertas Kusut merana kata-kata terisak sayu Bercucur pilu menderu-deru Ingin lagi kukecup kening senja hingga malu Membiru pipinya Kupetik senyum malam hingga ia pun kelam membelam Sekeping bulan kukutip di balik jeruji besi, kugantung dilangit malam Biarkan sinarnya menerangi temaram hatimu Dari sudutku bintang benderang mengedip manjaa mata putihnya Rupamu ada di antara mereka Sungguh rindu ini kian lama.
Puisi pertama dan terakhir dari sang pangeran senjaku yang tak pernah akan kembali. Burung bertikai dengan kicauannya yang merdu, surya kembali berjuang menenggelamkan tubuhnya ke ufuk barat, menghamparkan pijarnya yang menguning di lembayung senja, namun hangatnya senja entah mengapa tak kudapati kali ini.
Rumpun-rumpun awan yang jingga menyeberang di bawah langit biru, di bumi daun gugur layu menghantam, yang lain menari melambai-lambai dihempas angin syahdu, aku tersandar di kursi roda dua, kisah menceritakan aku yang menunggu jemputan.
Bulan di atas lampu tempat pemakaman umum menggantung putih. separuh jantungku terasa sesak, detik tak merubah menit, jam diam membungkam, mereka bengap menyebut nama-nama kosong, aku tak perduli.
“Aku memaafkanmu Damar,” “Aku Merinduimu,” “Tunggu!” “Aku,” “Di Surga,”.
Cerpen Karangan: Muhammad Nor Daulay Blog / Facebook: muhammadnordaulay[-at-]yahoo.com Muhammad Nor Daulay, lahir di Medan, 08 Oktober 1996. Penulis yang akrab di panggil daulay ini adalah mahasiswa FKIP UMSU jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis tercatat sebagai anggota aktif di HMJ bahasa & sastra indonesia dan bergiat di forum diskusi KESPERA Medan, ia juga termasuk salah satu personil lipyu band asal kota medan.