Tak kuasa Tania menggenggam tangan suaminya yang kekar itu. Air matanya jatuh menggelinang membasahi tangan mungil lembutnya itu. Pintu depan sudah terbuka lebar. Angin laut berhembus kencang menerpa gubuk kecil tepi dermaga yang sudah mulai ramai akan pelaut yang akan menggelar tikar bisnisnya malam ini. “Apakah kau sudah mau pergi lagi?” Tanya Tania sambil terisak. Thomas tidak bergeming dan tidak menjawab. Dia menghela nafas sejenak. Melepaskan genggaman lemah Tania dan memegang bahu mungil itu lantas mendudukannya di kursi terdekat.
Thomas tanpa berkata apapun dia mengangguk kecil seraya memegang kedua tangan Tania. Thomas yang sudah kehabisan waktu segera bergegas mengambil topinya di sebelah pintu bagian atas yang tersangkut oleh paku. Sambil memantik rokok yang sudah ada di mulutnya, Thomas sudah menjalani langkahnya meninggalkan Tania sendiri.
Tania meringik. Angin laut yang sejak sore sepoi-sepoi bak mengalun lembut wajah Tania, kini sangat kencang sekali, bak menampar Tania keras-keras. Betapa tidak, baru 2 hari suaminya pulang dari pelautanya, kini dia sudah harus berlayar lagi. Melayarkan kapal milik saudagar dari timur. Memang begitu banyak uang yang dijanjikan selama sebulan. Tapi sayang, waktu bersama Tania lah yang harus dikorbankan suaminya. Tanpa bisa diusap, air mata yang jatuh dari pipi Tania.
Andai tahu begini, Tania mungkin tidak akan pernah mengijinkan Thomas berlayar untuk pertama kali waktu itu. Ya, waktu senyuman Thomas sangat berkembang membuka pintu keras-keras hingga banyak debu yang tersapu olehnya. Dia berteriak keras-keras, “sayang!!! Sayang!!! Aku pulang” Thomas yang sangat bahagia berlari ke dapur dengan tergopoh-gopoh memegang sebuah selebaran kertas berwarna kulit tua yang masih tampak baru. Dia menghampiri Tania dan memeluknya. Memutar-mutarkan tubuh kecil Tania ke atas, kesana dan kemari. “Lihat sayang! Aku punya kabar bagus untuk kita! Aku akan segera punya pekerjaan tetap dari sini! Kita akan cepat mewujudkan impian kita nanti sayang! Hahahaha” Kata Thomas yang sangat gembira hatinya. Mengetahui itu Tania senang sekali, hatinya langsung sumringah, senyumnya tersemburat lebar di bibir mungilnya. Ia lantas memeluk tubuh gempal suaminya tersebut.
Thomas dengan hati yang gembira segera membopong tubuh mungil Tania ke atas ranjang, merebahkan setiap bagian tubuh Tania, mencium keningnya dengan lembut. Serta seraya mengusap rambut pirang Tania yang sedikit bergelombang Thomas berkata, “Semua impian kita akan segera terkabul sayang, hanya akan ada aku, kau dan bayi-bayi mungil kita nanti disebuah rumah yang besar di atas gunung.”. “Kau tak perlu susah-susah lagi untuk bekerja di ladang milik orang barat itu, cukup aku saja yang akan berlayar mencari uang, kau yang akan mengurus malaikat kita nanti. Dan setiap malam minggu bolehlah kita kesana sambil membeli garmen bagus dari Persia, dan tak usahlah kita membeli lagi kotak pengabul itu. Itu hanyalah tahayul Bangsa-Bangsa Skandinavia”. Tania tersenyum, memeluk suaminya. Tak ada kata lagi yang bisa menggambarkan bagaimana suasana hati Tania saat ini. Bagaimana tidak, sebentar lagi dia akan menjadi wanita yang bahagia. Mereka akan punya cukup uang untuk hidup sederhana di atas gunung yang langsung menghadap laut. Mempunyai anak-anak yang sudah lama mereka impikan. Bisa menikmati waktu bersama setiap Thomas pulang berlayar. Bukankah itu adalah hidup yang cukup untuk wanita pesisir seperti Tania?.
Namun, Tania mungkin tidak sadar untuk merengkuh semua kebahagiaan yang begitu besar juga pasti akan ada aral yang yang harus dilewati. Layaknya pelaut yang ingin mendapat ikan atau berlayar haruslah menerjang ombak besar dari samudera.
Tania yang sedang menangis segera untuk mengambil secarik kertas untuknya membuat tulisan-tulisan untuk suaminya ketika sudah pulang nanti. Karena Tania akan ada urusan pekerjaan di ladang milik saudagar barat itu sampai 2 minggu lagi dan itu adalah tepat dimana Thomas pulang dari melautnya.
Pena bulu angsa itu sangat cekatan dalam menggores secarik kertas lama yang sudah bertumpuk di bawah selebaran brosur-brosur tawaran kerja. Air mata yang sejak tadi mengalir di pipi Tania hingga kini tak berhenti mengucur. Hati Tania tambah perih seraya ia menggoreskan bulu angsa itu di kertas, seraya ia menggores lagi luka-luka di hatinya.
Setelah melipat secarik kertas itu dan meletakkanya di atas meja makan. Tania segera merebah dirinya di ranjang lusuh itu. Sambil menatap rembulan di seberang jendela ia berdoa agar Thomas akan segera kembali, dan akan tinggal dalam waktu yang lama dengannya. Membagi semua tawa canda layaknya dahulu. Merekahkan tawa-tawa bersama. Saling memeluk satu sama lain. Akan ada kecupan-kecupan indah selamat tidur atau pagi sepanjang malam dan pagi datang ataukah yang paling sederhana adalah cerita-cerita tentang kehidupan yang sempurna mereka.
Mungkin sang bulan mendengar rintihan hati dari Tania itu, kotak pengabul dari Bangsa Skandinavia yang berada di sebelah ranjang itu mulai bersinar indah. Mengalunkan suara-suara angin dan gemericing lonceng yang merdu. Melelapkan siapapun yang mendengarkan sehingga akan tertidur sambil tersenyum. Alunan itu pun terbawa angin laut ke tengah hamparan samudra, naik ke langit dan bergumul di antara mega.
Tak lama sejak kejadian itu. Tania sedang memasak di dapur, Perutnya mulai membuncit tanda sudah ada malaikat-malaikat yang dititipkan padanya ada di Rahim mungilnya. Kata tetua mungkin itu adalah sepasang. Thomas yang dahulu melaut tiada henti sekarang sudah dinaikkan jabatannya dan hanya melaut 1 bulan sekali dengan jangka waktu pelayaran 10 hari. Entah mengapa saudagar dari timur itu menjadi baik kepada Thomas. Mungkin Kotak Skandinavia itu memang benar adanya.
Thomas yang baru bangun dari tidurnya langsung turun untuk menyapa istrinya di pagi hari. Sambil memeluknya dari belakang ia mengecup pipi Tania. Mengusap-usap perut Tania yang buncit. “Hai hai… maaf ya ayah bangunnya terlambat. Gara-gara ibumu tidak membangukan ayah”. Thomas berkata. Tania hanya tersenyum saja melihat kejadian tersebut, sambil memegangi perutnya sembari tangan kekar khas pelaut Thomas Tania berucap, “Mungkin ayah juga sih tidurnya kemalaman, ngopi terus sama Pak Bondan”. Thomas menjawab, “Habis kalo ngopi sama kalian kan masih belum bisa, makanya cepatlah lahir” “6 bulan lagi ya yah, nanti kita ngopi, sabar sedikit” gurau Tania.
Kehidupan keluarga Tania berubah seribu kali lebih indah. Seindah pelangi di atas mega setelah topan berkecamuk semalaman.
Pasar malam dari Persia mulai ramai dikunjungi padahal ini masih dapat jam 5 sore. Ya, karena bangsa Persia terkenal dengan barangnya yang sangat berkualitas. Thomas dan Tania tak mau ketinggalan melewatkan momen ini. Dari gerbangnya saja mereka sudah disambut oleh sekelompok pemuda memainkan beberapa sitar. Alunannya membuat telinga menjadi rileks, ada anak-anak kecil yang sedang mengantri menunggu penjual gulali mengaduk gulalinya. Terompet-terompet bangsa utara tak ketinggalan meramaikan riuh padunya suasana pasar malam ini. Dan tak kalah indah sebuah bianglala besar yang terpasang banyak lampu berdiri kokoh di tengah pasar. Sungguh menggugah.
Senyum merekah dan uang di kantong, Thomas berjalan-jalan sambil mencarikan garmen terbaik untuk sang istri. Mencoba-coba daster terbaik dari Persia, membelikan peralatan-peralatan bayi yang lengkap untuk anaknya kelak yang diprediksi akan menjadi sepasang malaikat laki-laki dan perempuan. Thomas sangat senang memilih mainan-mainan itu. Tania yang tersenyum sambil memegangi perutnya sangat bersyukur. Senyum dan ucapan syukur selalu berkumandang di hati kecilnya.
Tidak terasa tengah malam sudah menjelang, Tania sudah mulai merasa letih, akhirnya mereka pulang dengan setumpuk barang-barang yang mereka gunakan untuk bayi-bayi mereka serta garmen yang indah bagai garmen putri Persia yang dibelikan oleh Thomas. Tania merebah, dia terasa begitu lelah sekali, tapi Thomas masih mengajaknya bicara. Sambil mencium kening yang dilanjutkan perutnya, Thomas kembali mengusap rambut Tania, “Aku harap jika perempuan, ia mempunyai mata, hidung dan alis indahmu”. Pinta Thomas “Aku harap jika laki-laki aku mau ia mempunyai badan yang kekarmu, rambutmu dan mulut manismu itu Thomas” Ujar Tania.
Hujan mulai mengetuk jendela kamar mereka. Angin kembali menuju selatan. Rintik hujan kini menjadi hujan, tak lama badai menerjang. Perasaan Tania gelisah. Namun Thomas dengan senyumnya memeluk erat Tania. Tapi kilat kini seraya menggelora di angkasa. Dan akhirnya satu kilat yang mahadahsyat menyilaukan mata. Tania kaget tersentak dan terpaksa berteriak “Aaaa!!” suara Tania terpekik dan menjingkat dari kasur itu. Tania melihat seluruh ruangan nanar, kosong. Dia memegangi perutnya yang mendadak menjadi kecil seperti semula. Ia memanggil-manggil Thomas dengan suara yang lantang. Tapi tiada hasil. Ia berlari menuju ruang makan dengan tergopoh-gopoh dang berdoa jika semua itu bukan mimpi.
Tania hanya bisa menggigit bibir melihat Thomas tidak ada dalam ruangan itu, Tania terduduk menyibak, jatuh, sedih, kecewa, tercampur aduk. Kali ini emosinya tak tertahankan. Ia memegang rambutnya yang pirang seraya menangis tersujud, “TUHAANN jika kau tidak ingin memudahkan jalanku untuk bahagia bersamanya! Aku rela kau renggut saja dia dan aku! Serta anak-anakku yang akan kau turunkan esok pertemukan kami dalam surgamu saja!! Aku tak mau lagi di sini! Aku muak! Semua hanyalah fana’ dan kau hanya ingin melihat kesedihanku saja kan? Ambil semua! AMBILL!” Tania menangis sejadi-jadinya.
Benar saja, besoknya terjadi insiden di kapal Thomas. Tetua yang tau kabar ini langsung saja berlari tergopoh-gopoh ke rumah Tania, tapi sayang Tania sudah tergantung di ruang makan tersebut. Dan tetua melihat secarik kertas bertuliskan. “Aku pergi dulu sayang, aku selalu merindukanmu, tidak mudah menahan rindu ini, menahan semua gejolak, menahan semua tangis ini. Rindu yang tak berujung ini kepadamu bagaikan ombak di lautan yang selalu mengusap pipimu lembut. Aku tidak apa, jangan pikirkan aku, aku hanyalah sebuah dermaga di hidupmu. Kalau sudah tidak kuat pulanglah, aku selalu menunggu. Karena sebuah dermaga adalah tempat terakhirmu bersandar”.
Cerpen Karangan: Faisal Firmansyah Blog / Facebook: faisal firmansyah