Hari ini, Rio mendapat tetangga baru. Namanya Pak Andri dan Bu Reina. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang seumuran dengannya dan seorang anak laki-laki yang 2 tahun lebih muda dari mereka, Arina dan Ardeo.
“Rio, ayo sapa tetangga baru kita. Siapa tahu akhirnya kamu punya teman yang bisa diajak bermain,” ujar ibu Rio.
Rio memandangi keluarga tetangga baru itu yang sedang sibuk memindahkan barang dari mobil ke dalam rumah di balik jendela kamarnya. “Tidak. Aku tidak butuh teman, perempuan pula,” sahut Rio agak ketus. Ibunya hanya tersenyum pasrah. “Jangan begitu. Ibu tahu kamu lebih suka sendirian, tapi punya teman itu penting untuk bersosialisasi.” Terpaksa, Rio mengangguk. “Akan kutemui dia nanti sore.” Dia kembali menekuni bukunya. “Sekarang saja. Bantu mereka memindahkan barang. Kasihan, mereka hanya bertiga, sementara ayahmu sedang di luar kota. Adiknya masih kecil pula.” Dengan berat hati, Rio meletakkan bukunya dan pergi ke rumah sebelah.
“Permisi, Tan. Saya Rio, penghuni rumah sebelah. Boleh saya bantu tante pindahan?” Tanya Rio sopan.
Bu Reina yang sedang mengangkat sebuah kardus besar nampak terkejut, namun tak lama kemudian dia tersenyum lembut. “Terima kasih, Rio. Kami memang kesulitan memindahkan semua barang-barang ini.” “Sama-sama,” Rio membalas senyuman tulus itu. “Jadi, apa yang bisa saya bantu?”
Wanita yang masih terlihat muda itu berpikir sejenak. “Arina, sini sebentar!” Seorang anak perempuan berkucir ekor kuda yang cantik berlari menghampiri ibunya. “Ada apa, Ma?” “Nih, temani Rio ya. Dia mau membantu kita. Dia bisa membantumu memindahkan barang-barangmu,” Bu Reina mendorong punggung Rio pelan. “Oke,” sahut gadis itu riang. “Namaku Arina. Terima kasih sudah mau membantu.” Rio sedikit terkejut dengan keramahan Arina, karena sebelumnya dia jarang sekali bertemu anak-anak seusianya. Namun, dia segera tersenyum tipis agar Arina tidak tersinggung. “Aku Rio. Beritahu saja apa yang harus aku lakukan dan akan kulakukan sebaik mungkin.” Arina tertawa. “Kamu terlalu kaku, ya. Memangnya selama ini kamu tidak pernah berteman dengan seseorang?” Rio menggeleng. “Berteman membuang waktuku. Lebih baik kugunakan waktu itu untuk membaca buku Ensiklopedia.” Arina mengoperkan sebuah kardus besar yang cukup berat. “Papa punya banyak buku pengetahuan alam dan astronomi. Kamu mau pinjam?” Kedua mata Rio berbinar-binar. “Benar boleh kupinjam?” “Asal kamu mau menganggapku temanmu,” angguk Arina. “Baiklah. Mulai sekarang aku adalah temanmu,” ujar Rio.
Seharian itu, Rio membantu Arina sembari mengobrol tentang keluarga, sekolah, hobi, dan lainnya. Mereka cepat sekali akrab. Bahkan Rio yang biasanya terlihat dingin, cuek, dan kaku kini mulai terlihat lebih “hidup”.
Sore menjelang malam, Rio baru selesai membantu Arina menata kamarnya. Dia begitu kelelahan hingga duduk bersandar di halaman depan.
“Nih,” Arina mengulurkan sebatang es lilin cokelat. “Maaf ya kamu jadi kecapekan begini.” Rio menerimanya dengan semangat dan langsung memakannya. “Terima kasih. Biasanya aku diam di rumah, jadi tidak apa jika sekali-sekali aku berkeringat seperti ini.” Arina duduk di samping Rio. “Sejujurnya, saat pertama kali aku melihatmu, kamu terlihat begitu kosong dan mati.” “Maksudmu?” “Yah, biasanya anak-anak seperti kita pasti sedang dalam masa hidup yang paling menyenangkan. Apalagi kulihat ibumu baik sekali. Aku merasa heran, mengapa kamu seolah-olah tidak mengenal kebahagiaan, keceriaan, dan kehangatan. Padahal, bagiku kamu adalah anak laki-laki terbaik yang pernah ada,” jelas Arina.
Rio tersenyum pahit. “Sejak kecil, aku tidak bisa merasakan emosi apapun. Aku tidak tahu apa yang membuatku seperti ini, tapi aku hanya dapat menerimanya. Teman-temanku menjuluki diriku “King of Ice” karena aku selalu membawa hawa dingin, di manapun aku berada.” “Tapi yang kurasakan darimu adalah keindahan dari es yang beku itu,” balas Arina yang kini menatap Rio dengan senyuman manisnya. “Aku tahu hatimu sebenarnya sangatlah murni, karena itu kamu kesulitan merasakan hati teman-temanmu yang kotor dan dipenuhi berbagai hal negatif. Tapi, cobalah untuk merasakan sisi positif mereka, dan kamu akan tahu apa itu keceriaan dari seorang teman.”
Rio terpaku akan kata-kata Arina yang menyentuh hatinya. Dia benar. Yang selama ini dirasakannya saat bersama teman-temannya adalah kebencian, iri hati, kecemburuan, keangkuhan, kesombongan,dan masih banyak lagi. Itu yang membuatnya malas bertemu orang lain. Tapi, Arina berbeda. Dia dapat merasakan hangatnya perapian di musim dingin dan sejuknya udara musim semi saat berada di dekat gadis itu.
“Kakak, waktunya makan malam!” Panggil Ardeo, adik Arina yang baru berusia 6 tahun. “Oke!” Balas Arina. Dia menggandeng tangan Rio. “Ayo, kamu juga ikut!”
Sejak hari itu, Rio berteman akrab dengan Arina. Mereka bersekolah di sekolah yang sama, tinggal di perumahan yang sama, mengikuti kursus yang sama, ekskul yang sama, dan memiliki hobi yang sama, yaitu membaca.
Namun, Arina adalah anak yang nekat, berbeda dengan Rio yang selalu hati-hati. Karena itu, setiap hari Rio dibuat pusing oleh ulah Arina. Entah itu memanjat pohon demi mengambil layang-layang, memasuki got demi menyelamatkan seekor anak ayam, berkelahi dengan anak SMP demi membela seorang anak yang dibully, dan lain sebagainya. Rio bahkan rela mengikuti kursus bela diri judo agar dapat melindungi Arina dari ancaman anak-anak SMP yang kini menaruh dendam pada Arina. Rio ada di samping Arina saat ayahnya meninggal akibat kecelakaan pesawat, dan bahkan bersedia menggantikan tempat ayah Arina.
Waktu berlalu dengan cepat. Kini mereka sudah berusia 16 tahun. Rio dan Arina tentu saja mendaftar di SMA yang sama. Di sana, Rio berkenalan dengan Kevin yang belakangan menjadi sahabat karibnya, sementara Arina seperti biasa memiliki banyak teman dan penggemar karena dia memiliki rupa yang sangat cantik. Namun bagi Arina, hanya Rio lah yang ia sayangi.
“Eh, Ri, Arina itu benar-benar teman masa kecilmu kan?” Tanya Kevin suatu hari. Rio melirik sahabatnya dengan curiga. “Kamu suka Arina?” “Dia kan murid tercantik di sekolah ini. Pintar olahraga pula,” Kevin meringis. Rio melipat tangannya di dada. “Tidak boleh. Kamu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pacarnya.” Kevin mendelik. “Memang kamu ayahnya?” “Tentu saja. Om Andri meninggal 3 tahun yang lalu dan sejak saat itu aku berperan sebagai ayahnya,” tukas Rio cepat. “Kalau begitu, aku ingin bertanya. Mengapa akhir-akhir ini dia sepertinya jarang datang ke sekolah? Apa dia sakit?”
Rio terdiam. Dia pun penasaran akan hal itu, karena hari ini Arina tidak muncul lagi di sekolah. Kalaupun dia masuk sekolah, wajahnya selalu nampak pucat. Walau rumah mereka bersebelahan, akhir-akhir ini Rio sangat sibuk dengan berbagai kegiatannya sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menjenguk Arina. Ardeo pun kini jarang terlihat bermain di halaman. Biasanya, Ardeo pergi bermain di halaman atau taman bersama anjing milik Pak Heri yang sudah renta. Kini, dia sepertinya lebih sering mendekam di dalam rumah.
Penasaran, Rio langsung menuju rumah Arina yang ini tampak suram tanpa izin dari sekolah alias membolos. Pintunya tidak terkunci. Dia segera membuka pintu itu dan melenggang masuk ke dalam rumah yang sering sekali dia masuki sejak 8 tahun terakhir ini.
“Arina…? Tante? Ardeo?” Panggil Rio pelan. Sayup-sayup, dia mendengar suara dari arah kamar Arina.
Pintunya sedikit terbuka, memperlihatkan Arina yang tengah berbaring dengan wajah pucat dan dipasangi berbagai alat medis.
“…harusnya kamu dengar kata-kata saya kemarin lusa. Kamu tidak bisa terus-menerus memaksakan diri demi sahabatmu itu,” Rio mendengar suara seorang wanita yang cukup familiar. Itu adalah suara dokter pribadi keluarga Arina, dr.Fransiska. “Saya tidak bisa terus-menerus diam di sini. Rio akan “mati” lagi jika aku tidak bersamanya,” ujar Arina lemah. “Kak, Kak Rio bukanlah segalanya. Kakak juga harus memerhatikan kondisi kakak!” Ardeo terdengar setengah membentak. “Tanpa Rio, kakak tidak akan bertahan hidup selama ini. Kamu juga tahu kan seharusnya jangka hidup kakak hanya mencapai usia 8 tahun setelah kakak resmi mengidap leukemia? Buktinya setelah bertemu Rio, kakak dapat bertahan selama 8 tahun lagi,” balas Arina.
Tanpa sadar, air mata Rio mengalir. Untuk pertama kalinya, dia menangis. Dia menerobos ke dalam kamar Arina dan memeluk gadis yang selama ini benar-benar disayanginya.
“Ri…Rio…?” Arina terkejut dengan kedatangan orang yang sedari tadi ia sebut-sebut. “Kamu… dengar semuanya…?”
“Kenapa kamu tidak jujur padaku?” Tanya Rio tanpa menghiraukan pertanyaan Arina. “Kenapa kamu terus membiarkan dirimu sengsara?” Arina tersenyum. “Karena aku tahu kamu akan seperti ini. Ke mana perginya “King of Ice” yang dulu tidak memiliki emosi itu?” “Jangan bercanda!” Rio setengah membentak. Pelukannya semakin erat. “Sejak kapan kamu seperti ini?” “Sejak usianya 6 tahun,” jawab dr. Fransiska. “dan memburuk 2 tahun kemudian.”
Rio tercekat. Itu berarti, saat pertama kali dia bertemu dengan Arina adalah saat Arina nyaris menemui kematiannya. Tapi, saat itu ibunya tidak nampak khawatir atau sebagainya. “Orangtuanya tahu soal ini?” Dr. Fransiska menggeleng. “Arina melarangku melakukannya.” “Mama sudah cukup menderita saat kakaknya meninggal. Aku tidak ingin kabar tentang hal ini diketahui oleh mama ataupun papa, tapi Ardeo berhasil mengetahuinya saat dia memergoki aku dan dr. Fransiska di rumah sakit saat dia hendak menjenguk temannya,” tutur Arina lirih. Tiba-tiba, darah mengalir dari hidungnya. Dia terdiam, namun tersenyum beberapa detik kemudian. “Sepertinya hanya sampai sini batas kekuatanku.” Rio memegangi tangan Arina. “Apa maksudmu?” “Kakak sudah bertahan selama 8 tahun, dan itu sudah cukup untuk membuat banyak kenangan bersama Kak Rio,” sahut Ardeo yang sedari tadi terdiam. “Selama ini kakak bertahan hanya demi Kak Rio! Dan Kak Rio bahkan tidak sadar bahwa kakak sangat menyukai Kak Rio!” Sekali lagi, Rio tercekat. “A…apa…?” Dia beralih pada Arina.
“Maaf, aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu. Kamu anak yang tampan, namun sayangnya terlihat mati. Aku bertekad untuk membuat kamu lebih hidup, dan aku berhasil. You’re not a King of Ice anymore, but you can be a King again. But now, it’s the King of Warmth, karena kini kamu terasa begitu hangat,” Arina menyentuh dada Rio. “Hatimu benar-benar hangat, Rio. Aku bersyukur aku bertemu denganmu, dan bahkan menghabiskan 8 tahun ini bersamamu. Maaf aku tidak bisa bersamamu lagi.” Air mata Rio mengalir lebih deras. “Tidak, kumohon… Aku bahkan belum berbuat apapun untukmu…”
Arina mengelus wajah Rio. “Rio, tidak semua orang berhati mulia sepertimu. Ada banyak orang di luar sana yang hatinya kotor dan busuk. Jadi, sudah tugasmu untuk memurnikan hati mereka. Jangan memandang mereka rendah hanya karena hati mereka, tapi kasihanilah orang-orang yang hanya dapat melihat keburukkan suatu hal. Dengan melakukan itu, kamu sudah cukup membuatku bahagia,” dia beralih pada adiknya. “Ardeo, Kak Rio akan menjadi pengganti kakak. Jangan lagi anggap dia musuhmu ya. Anggaplah Kak Rio adalah kakak kandungmu. Dan tolong jaga mama baik-baik setelah mama pulang dari Singapura.”
Arina memandang keluar jendela. “Dunia ini indah, sayangnya manusia membuatnya semakin rusak, baik fisik maupun “mental”nya. Jika kamu tidak sanggup mengubah fisiknya, setidaknya perbaikilah manusia yang bertugas menjaga Bumi ini,” bisiknya entah pada siapa. “Maaf, sudah saatnya. Selamat tinggal, Rio, terima kasih telah menjadi sumber kehidupanku selama 8 tahun ini.”
Bertepatan dengan kata-kata itu, Arina menutup matanya, dan akan seperti itu untuk selamanya. Wajahnya tetap cantik seperti biasa. Bibirnya yang merah merekah menyunggingkan senyum tulus, seolah-olah berkata bahwa “tugasku sudah selesai. Now go and be a King again” pada Rio.
Seminggu setelah hari penuh duka itu, Rio memutuskan untuk membereskan kamar Arina. Arina menghiasi kamarnya dengan foto-foto bersama keluarga, Rio, dan teman-temannya yang lain. Dengan setengah bernostalgia, Rio mencabuti satu per satu foto-foto Arina dengannya untuk kemudian dia simpan di dalam album.
Dia terhenti di satu foto. Foto pertama yang mereka ambil 8 tahun yang lalu, saat keluarga Arina mengadakan acara syukuran di rumah baru mereka. Di dalam foto itu, Arina yang sedang tertawa lebar merangkul Rio yang hanya tersenyum kecil. Iseng, Rio melihat bagian belakang foto itu. Rio terkejut saat menyadari tulisan tangan Arina di pojok kiri bawah foto itu.
“Seems like the King of Ice has gone. But you can be king again, maybe the King of Warmth 😉 love you always, Arina”
Rio memeluk foto itu erat-erat. “Yes, I’ll be king again, and you’ll be my queen, forever.”
Cerpen Karangan: Charissa. E Blog / Facebook: Choco Caramella