Iman adalah segala-segalanya bagiku, hingga ketika ia benar-benar pergi aku bagai tak punya apa-apa selain sesak di dada.
Namanya Muhamad Iman, pria yang kukenali setahun silam. Orangnya ceria, humoris dan super duper humble, hampir satu kantor kenal siapa dia. Bahkan tak sedikit siswa perempuan yang jatuh hati padanya bahkan terkadang menggoda guru baru itu.
Waktu itu dia baru 2 hari bekerja di tempat dimana aku telah membaktikan diri sebagai tenaga pendidik selama 2 tahun belakangan.
Hari itu hari jum’at dan aku tidak mempunyai jadwal mengajar padi hari hari selasa dan jum’at. Usai sarapan aku langsung bergegas ke tempat favorit keduaku di sekolah ini setelah kantin, ya perpustakaan. Perpustakaan menjadi tempat paling menyenangkan setelah perutku sudah penuh, aku bisa menghabiskan waktuku seharian di sini, guna mengelak keinginan guru senior yang meminta menggantikan mereka mengajar dengan dalih yang sama “ada urusan dadakan di luar”
Aku baru saja membenamkan wajahku kemeja perpustakaan tapi suara bang Teguh sudah menggema ke setiap sudut ruangan “Kamu ini, dari awal datang ke sini sampai sekarang tidak pernah berubah, Amalia amalia” “Lili banyak ngoreksi nilai anak tadi malam, ngantuk banget, lili mau tiduran dulu lah bang Teguh. Nanti kalau ada kepsek atau guru lain datang bang Teguh bangunin ya” Ujarku sembari berpindah ke samping rak buku yang paling besar dan sesaat aku sudah meringkuk di lantai ubin putih itu.
“Amalia” “Amalia” Samar-samar kudengar ada nama yang memanggil namaku, dengan malas aku membuka mataku. Dan benar dia biang keroknya kenapa bang Teguh selalu tidak bisa membuat aku bahagia sejam atau dua jam bahkan. Aku mendengus kesal tapi segera tertahan setelah aku perhatikan tidak hanya ada aku dan bang Teguh di situ tetapi ada orang lain lagi. Aku mengernyitkan kening melihat sosok itu tanpa malu sedikitpun karena tertangkap sedang tiduran di perpustakaan.
Aku melirik jam tanganku ya ampun ternyata sudah hampir jam 12 dan itu artinya sekolah hari ini telah berakhir. Aku segera berhamburan ke majlis guru untuk mengambil tasku, di sana telah sepi tinggal beberapa orang guru perempuan yang juga sedang membereskan tas mereka.
“Mau pulang bareng saya?” aku menoleh ke arah suara itu Orang tadi batinku “Saya, lewat Usman Harun, tinggal di Ir. Sutami kan?” Lanjutnya kemudian dan aku menganggukkan kepalaku sebenarnya dengan berbagai pertanyaan bagaimana ia tahu tempat tinggalku.
“Terimakasih” ujarku setelah turun dari sepeda motornya “Aku Iman, Muhamad Iman,” lanjutnya sambil mengulurkan tangannya “Lili” aku hanya menyebutkan nama pendekku “Besok, pergi ke sekolah sama siapa?” “Biasanya naik angkot” jawabku jujur “Besok saya jemput ya, kan searah. Boleh saya minta kontak kamu” ujarnya sambil memberikan ponselnya. Kuambil ponselnya dan mencatat nomor WA ku
Sudah sebulan ini, aku pergi dan pulang kantor menumpang tebengan Iman, ternyata ia guru baru di sekolah. Dia baik, bahkan kelewat baik menurutku. Dia selalu menyapa siapapun yang ia temui dan memberikan senyum elektro magnetiknya itu ke semua orang. Dia benar-benar manis, lucu dan aku selalu nyaman tiap berada di dekatnya. Sekarang aku tidak mempunyai kebiasaan tidur lagi di perpustakaan, melainkan selalu sharing dan bercanda dengannya membahas apapun yang sekiranya terlintas di pikiranku.
“Kalian pacaran ajalah” Suatu hari ucapan pemuda gendut itu membuat kami terhenti dari obrolan panjang kami sedari tadi “Mau tunggu apa lagi, toh sama-sama suka kan” lanjutnya “Lili banyak yang naksir bang Teguh, Iman mah mana menang saingan” ujar Iman merendah “Halaaa banyaklaa alasan kau, Iman Iman macam ganteng aja kau mau Php-in cewek” logat medannya bang Teguh sudah keluar Iman hanya ketawa cekikikan mendengar ocehan bang Teguh. Aku meliriknya memang dia orang paling ceria yang pernah kukenal.
Sudah 3 bulan aku mengenal Iman, dan dari 3 bulan itu belum pernah sekalipun aku melihat ia cemberut, ia selalu tersenyum entah karena dia memang tak pernah bersedih atau ia ingin diakui semua orang bahwa ia memiliki lesung di pipinya. Kami selalu pergi bersama-sama di dalam maupun di luar sekolah, bahkan seantero sekolah mengecap kami telah berpacaran. Kami tidak membantah ataupun mengiyakan anggapan itu, Iman pernah berkata padaku “Kita jalani aja, seperti air mengalir. Entah kemana ia akan bermuara tak satupun dari kita yang mengetahuinya. Aku mengenalmu untuk memberimu rasa paling aman dan nyaman sebisanya aku akan membahagiakanmu tapi jika suatu hari nanti kau tak temukan bahagia lagi bersamaku, kau boleh pergi cari kebahagianmu sendiri, aku tidak akan melarang atau mencegahmu sedikitpun” Aku hanya mendekamkan wajahku di dadanya mendengar semua perkataannya.
Kami tidak pernah saling bertanya apakah kami mencintai satu sama lain, hanya saja dia lebih suka mengucapkan “I Love You” setiap pagi setelah seharian kami bersama, terkadang kiriman voice note, kadang tulisan 8 huruf itu saja, bahkan pernah beberapa kali dia datang ke rumahku pagi-pagi sekali hanya untuk mengatakan kalimat itu lalu mengecup keningku lalu pergi saja tanpa aku sempat mengucap satu katapun.
Tanpa sadar itu berlalu begitu saja. Rasa-rasanya baru kemarin ia mengantarku pulang. Tapi semua sudah berlalu lebih dari 7 bulan hampir 8 bulan. Ujian Nasional sudah berlalu 2 minggu yang lalu Sekarang sekolah sedang sibuk mempersiapkan acara perpisahan kelas 3, terlihat kesibukan di mana-mana. Bu Tri yang sibuk menggembleng anak-anak penari, Pak Sudi yang menjadi ketua panitia hari makin hari sering sakit kepala Bu Dini dan aku sebagai pelatih paduan suara diemban tugas menjadi pengamat persiapan perpisahan yang hanya tinggal 2 hari lagi. Aku hilir mudik memperhatikan beberapa grup sedang berlatih dengan pelatihnya masing-masing. Tapi sudah 4 hari ini aku tidak melihat Iman, pendamai kalbuku itu. Ia tidak datang ke sekolah, ataupun ke rumahku, tidak biasanya ia seperti ini, bahkan seharipun ia tidak pernah bisa tanpa melihat atau mendengar suaraku. Semua warga sekolah menanyakan Iman padaku dan apa boleh buat aku juga tidak bisa menghubunginya sehingga aku hanya bisa memberikan jawaban kecewa pada mereka.
Malam ini usai acara perpisahan aku merebahkan tubuhku yang kelewat penat di kasur empukku. Aku memeriksa ponselku yang sudah diacuhkan lebih dari seharian ini, dan harapanku terkabul aku segera membuka pesan dari pelipur hatiku, “Apa kabar sayang, dah lama ga jumpa. Man kangenlah, pengen ketemu Lili, mau peluk Lili. Maafin semua kesalahan Man ya sayang, besok kita ketemu ya. Ada hal yang pengen Man omongin sama Lili. I love you”
Pecahku tangis seketika membaca pesan itu. Oh Tuhan bagaimana ada orang semanis pria ini, betapa bergantungnya aku padanya. Nyeri di hatiku sedikit berkurang walau belum pulih seluruhnya. Namun kuhibur diriku yang lara sudah seminggu ini, tak cukup tidur, tak selera makan. Besok kita akan bertemu kekasihku, hiburku pada diri sendiri.
Aku merasakan ada sesuatu yang sudah melingkari pinggangku. Bagus saja dia langsung membisikkan sebuah kata di telingaku “I Miss You” / sehingga aku bisa tau siapa itu, kalau tidak bisa-bisa sendok sayur yang tengah aku pegang sudah mendarat di kepalanya. Iman memang suka datang diam diam ke rumahku lalu memberikan kejutan kecil yang begitu berharga buatku yang kadang membuat aku meneteskan airmata bahagia, tidak peduli apa yang tengah aku lakukan, memasak kadang mencuci piring kadang sedang memeriksa tugas anak. Dia dengan selongonya dia datang dan langsung memelukku dari belakang dan I love it so much…
Aku membalikkan badanku padanya dan langsung melemparkan sebuah kecupan di lesung pipinya (ini menjadi kebiasaan favoritku 3 bulan belakangan ini) “Kangen banget nih kayaknya” Ujarnya mengejekku “Kamu ke mana aja sih? Kamu tau gak sih Lili rindu kamu kayak orang gila” “olo-lo-lo, manjanya sayang Man ni. Kangen yaa. Maafin Man ya sayang” “Aku ga minta penyesalan kamu Man, aku minta penjelasan” tegasku “Iya nanti kita bahas ya,” ujarnya lagi Iman punya kebiasaan buruk setiap kali aku mengajaknya bicara. Ia selalu menghindar dengan dalih akan dibahas nanti, nanti dan nanti. Hingga itu akan jadi sebuah kalimat semu yang tidak ada kebenarannya.
Sekolah sedang libur dan artinya aku tidak bertemu dengannya. Kuakui aku memang begitu bergantung padanya. Beberapa hari ini kami sering video call, dia mengatakan sedang tidak sehat untuk bertemu denganku. Ya aku mengerti. Tapi rasa rinduku tidak dapat mengerti.
Sore itu dia kembali meneleponku aku mendengar suaranya mulai membaik “Cepat sembuh yaa syang, Lili udah kangen banget” “Amin, ke mana aja Lili beberapa hari ini?” Tanyanya kemudian “Ga ke mana-mana. Mau pergi sama siapa sih orang kesayangan lagi sakit”. “Yakin ga ke mana-mana? Tapi ga ada nelepon atau Wa sama sekali” “Lo, kan Imannya lagi sakit, jadi Lili ga mau telepon takut ganggu” jelasku yang mulai aneh mendengar ucapannya “Ya udahlah aku mau istirahat dulu” “Aku??” Sejak kapan Iman pakai bahasa ini. Aku merasakan kejanggalan atas sikap kekasihku ini
Hingga pada suatu sore kami bertemu setelah 10 hari tidak bertemu. Iman telah benar-benar sembuh. Aku begitu bahagia melihat dia sudah seperti Iman yang kukenal. Ceria, humoris, ramah.
Hari itu kami duduk di angkringan bang Iwan, tempat favorit kami karena viewnya di atas bukit dan langsung berhadapan dengan laut. Aku terpingkal-pingkal mendengar leluconnya, sesekali bang Iwan menimpali gurauan kami sore itu sambil mengantarkan kopi hitam panas kesukaannya. Ia menyeruput kopinya dengan nikmat. Lalu aku buka percakapan kami yang sempat tertunda beberapa minggu yang lalu karena alasan klasik Iman “Iya, nanti kita bahas ya”. Tapi kali ini aku tidak akan membiarkan Iman lolos dengan alasan yang sama
“Man, kapan Lili akan dikenalkan dengan keluarga Iman?” tanyaku yang berhasil membuat Iman sedikit terkejut “Sabar ya sayang, nanti pasti ada waktunya kok” “Nanti kapan Man, kita udah hampir 1 tahun kenal dan kamu selalu bilang nanti nanti. Lili udah ga muda lagi lo Man” “Iman tau, cuma Iman belum punya waktu yang pas untuk…” “Waktu yang pas itu kapan?” Aku memotong Ia menatap wajahku nanar, “Kita pulang yuuk” lanjutnya kemudian “Lili gamau pulang, lili mau dengar jawaban Iman” aku sedikit membentak “Jangan gitulah sayang, banyak orang malu” ia memberiku isyarat akan beberapa orang yang memang sedang memperhatikan kami
Dering Hp Iman kembali berbunyi seperti biasa, setiap kami bersama kakaknya Iman selalu menelepon “Apa lagi?” Iman menjawab teleponnya dengan sedikit menghardik “Mana umi… iya Mi nanti abis maghrib Iman pulang kok. Iyaa ga kan larut malam lagi, assalamualaikum” ia kemudian mematikan teleponnya dan menggapai tanganku dan kami pulang dengan lagi masalah yang tergantung
Di perjalanan pulang, kami tidak saling bicara. Hp Iman berdering lagi seperti biasanya, Iman tidak akan mengangkat telepon lebih dari 1 kali dari orang yang sama ketika sedang bersamaku walaupun itu dari kakaknya. Tapi mungkin karena kesal atas sikapku. Ketika baru saja ia duduk di dalam rumah, ia mengangkat dering telepon yang sudah sangat bising dari tadi. “Apa??? Aku pulang, aku pasti pulang ya Allah…” Iman menarik nafas panjang, aku heran kenapa dia bersikap begitu kasar pada kakaknya, aku tidak suka ia begitu namun karena aku lagi kesal aku meninggalkan ia sendiri di ruang tamu, dan masuk ke kamarku. Dari dalam kamar aku mendengar nada kasar Iman menghardik kakaknya “Di luar mana? Rumah Lili? Kamu di luar rumah Lili? Ehh jangan Gila yaaa Mon!!”
Kamu?? Iman memanggil kakaknya “Kamu”
Aku segera keluar dan menunggu apa yang terjadi berikutnya, aku mengintip dari jendela Iman menemui seorang wanita di luar sana, dan terlihat ia menghardik wanita itu dan seperti mengusirnya dari sini. Dan wanita itu terus menunjuk-menunjuk ke arah rumahku.
Deg Dadaku seperti berhenti. Iakah Muhamad Iman yang kukenal, yang tidak pernah berkata kasar sekalipun namun kini ia menghardik kakak kandungnya. Aku melihat Iman berjalan ke arahku, ia masuk ke rumah tanpa menghiraukanku, mengambil helmnya dan langsung nyelonong ke luar rumah tanpa berkata apapun padaku. Aku menyusul ia keluar ingin meminta penjelasan dan meminta maaf secara langsung kepada kakaknya atas sikap kasar adiknya yang mungkin saja dikarenakan atas diriku.
“Iman tunggu, kak…” Plak Sebuah tamparan mendarat di pipiku, rasanya panas sekali. Mata Iman merah menyaksikan itu, dan ia langsung melindungi tubuhku dari serangan kakaknya. “Kak Lili minta maaf, Lili gak bermaksud… Airmataku meleleh menambah panasnya bekas tamparan tadi” “Maaf… Setelah apa yang kamu lakukan kepadaku, kamu cuma minta maaf. Amalia, ternyata kamu memang selugu persis seperti yang diceritakan Iman” perempuan itu bicara seperti nenek sihir “Cukup Mon..” Iman sekali lagi menghardik kakaknya “Kamu telah merusak kebahagiaan aku, wanita j*lang,” perempuan itu mendorong tubuhku hingga tersungkur di sisi aspal. “Masih banyak laki-laki di luaran sana, kenapa harus merampas kepunyaan orang lain” lanjutnya
Deg. Sekali lagi aku tak merasakan detak jantungku “Dia kekasihku, dia tunanganku, aku akan menikah dengannya. Tapi karena kau, ia mencampakkanku” perempuan itu sudah berjatuhan di tanah sama sepertiku
Kekasih? Tunangan? Sesaat mataku gelap, aku bagai dihunus ribuan pedang, aku melihat Iman masih memangku tubuhku. Aku seperti hilang tenaga, rasanya remuk redam. Oh Tuhan
Aku mencari kebenaran di mata Iman, dan ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun hanya airmatanya yang mengalir melewati kelopak indah itu. Aku tersenyum getir
Kukuatkan kakiku yang sepertinya tertanam ke dalam lumpur langkahku gontai menapaki rumput halamanku, aku tak peduli lagi entah apa yang diracaukan perempuan itu, aku cuma samar-samar Iman mengucapkan kata maaf dan berusaha untuk membopongku ke rumah tapi segera kutepis. Dengan susah payah aku sampai ke rumahku kututup pintu dari dalam kudengar pelan-pelan Iman masih memohon kemaafanku
“Maaf aku tidak mengenalmu, aku tidak mengenal seseorang orang dengan nama Iman” Aku mengutuk diriku sendiri dan mengasihani betapa malangnya aku,
Entah sudah berapa lama aku meringkuk di depan pintu, sepertinya aku sudah mulai melemah dan kemudian tak sadarkan diri. Harapanku ketika nanti mataku terbuka kembali ingatanku akan seseorang bernama Iman benar-benar musnah. Tuhan, mohon kabulkan keinginanku ini.
Cerpen Karangan: HA Blog / Facebook: HA Amellia HA merupakan nama pena dari Harmelia Susanti, perempuan kelahiran tahun 1995. Sebelumnya saya pernah mengirimkan cerpen dengan username Amelia Susanti. Tapi sekarang saya memutuskan untuk menggunakan nama pena HA untuk nama saya. Mari berteman hubungi saya di facebook dengan user name HA Amellia, kalau belum di confirm ask via chat yaa. Atau bisa kunjungi Instagram saya dengan user name H_amellia