You could be my unintended choice to live my life extended, You could be the one I’ll always love, Denting nada itu mengalun perlahan, entah sudah berapa juta kali pria itu memutarnya yang jelas dia sangat menyukainya. Lagu itu terasa seperti menyayat hati pendengarnya, nadanya begitu memilukan namun pria itu terlihat menikmatinya seraya melempar jauh pandangannya keluar jendela. Mata pria itu perlahan terpejam, rambutnya putih sebagian, tubuhnya kurus, kulitnya putih pucat, begitu juga raut wajahnya seperti orang yang kurang tidur. Usianya mungkin sekitar 40 tahunan, itu terlihat dari sebuah buku memory tua di sebelahnya yang bertanggalkan 02 Mei 1983. Disana tertulis nama-nama siswa yang lulus tahun itu, dari tahun itu mungkin dapat ditebak usianya sekitar 48 tahun, pada usia 17 tahun dan tepat tahun 1983 dia lulus berarti dia lahir tahun 1966 sedangkan sekarang tahun 2014.
Pria itu masih tetap tak bergeming dari kursi malasnya, matanya perlahan terbuka, warna coklat itu sedikit memutih termakan usia. Dia mencoba berdiri kemudian melangkah menuju tumpukan buku hasil tulisannya yang tertata rapi. Sejenak dia memperhatikan semua tumpukan itu tanpa arti, pandangannya kosong. Tangannya bergerak meraih sebuah kotak tua di atas lemari yang sudah reyot itu kemudian kembali dan melemparkan tubuhnya di kursi tepat di depan jendela. Kotak berdebu itu dibukanya, dikeluarkannya 2 buku kecil, 1 buku tulis, bros dan jam tangan dari kotak itu dengan senyum di sudut bibirnya. Matanya berkaca-kaca saat membuka lembaran demi lembaran di hadapannya. Perlahan dia membacanya.
“Hey, bagaimana kabarmu sayang? Apa kamu baik-baik saja? Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadamu sayangnya waktu tidak memberiku kesempatan sama sekali. Kau tau, aku masih menyimpan semuanya di sini, apa kau juga melakukannya?” Sejenak dia berhenti, seolah menikmati alunan nada itu sekali lagi. “I’ll be there as soon as I can, but I’m busy mending broken pieces of the life I had before”
“Srrt”, lembaran itu dibaliknya. “Sayang, aku yakin kau tak akan pernah tau apa yang telah terjadi padaku dan aku pun tidak memiliki kesempatan untuk mengatakannya, namun setidaknya aku bisa menulisnya agar suatu saat aku bisa mengingatnya. Huff, aku tak akan pernah lupa akan pertemuan pertama kita di perempatan NorthCode Street itu, kau dengan selendang merahmu. Aku masih ingat jelas wajah bulatmu dengan pipi seperti menahan nafas dan kemerah-merahan seperti tomat itu. Aku masih ingat jelas langkahmu saat itu, di sudut matamu aku bisa menemukan setitik embun bening yang sejujurnya memperindah mata coklatmu. Kau berjalan perlahan namun penuh kekhawatiran, aku bisa merasakannya. Entah sudah berapa lama kita bertatap mata, yang aku perhatikan saat itu hanyalah setetes embun di kedua sudut matamu yang perlahan menjadi butiran pelangi. Aku, tidak bisa mengatakan apapun saat itu, tapi aku yakin kau tau apa yang ada dalam diriku yang tak sangup aku katakan. Kita terus berdiam sambil melangkah perlahan. Ya, seperti itulah, dua hari kita lewati bersama seperti inginmu dulu, makan berdua, duduk berdua, bercerita berdua dan menikmati indahnya langit di bawah jutaan bintang malam itu. Ya, aku yakin aku tak akan lupa. Hanya saja, semua itu terasa begitu cepat berlalu, meski dalam beberapa kesempatan aku mencoba membagi semuanya denganmu tapi pada akhirnya kita harus terpisah. Aku masih ingat saat butiran bening itu membanjiri matamu di malam pertengahan September waktu itu, aku masih ingat betapa terlukanya kita.”
“Huff”, keluh pria itu sembari mengistirahatkan matanya sejenak. Udara di ruangan itu begitu sesak hingga memaksanya untuk berdiri dan membuka jendela. Secercah cahaya masuk dari arah barat, matahari terlihat lesu di atas pembaringannya, ruangan itu sedikit terisi cahaya dari luar, ruangan yang cukup rapi dengan rak penuh buku catatan dan tempat tidur serta meja tulis lengkap dengan kursinya, sebuah kursi malas yang tadi digunakannya berhenti bergoyang. Lantai di bawahnya berderit saat dia menggeser kursi tempatnya bersandar, dia menatap ke atas, hanya terlihat seperti prisma segitiga yang terbaring, ya, ruangan ini adalah atap dari seluruh ruangan dibawahnya. Perlahan cahaya itu meredup saat mentari bergulir beberapa centi kepembaringannya, pria itu melanjutkan kegiatannya. Dia menarik nafas perlahan seraya membuka lembar berikutnya dengan hati-hati.
“Saat itu, di bulan yang sama semua kesedihan itu bermula, airmatamu tidak berhenti menitik, aku masih ada di sana waktu itu sesaat setelah tangismu berhenti sejenak, diam-diam aku memperhatikanmu dibalik pohon yang cukup gelap saat kau kembali memasuki rumah itu. Beberapa menit kemudian langkahku mulai beradu dengan tanah cadas tanpa rumput pertanda bahwa jalan itu sering dilewati oleh banyak orang. Tempat itu begitu gelap, hanya jalan setapaklah satu-satunya pilihanku untuk pulang itu pun terletak tepat di tengah area perkebunan yang begitu lebat. Malam itu sangat gelap, namun diatas aku bisa melihat jutaan bintang sedang bekedip seolah mengajakku bicara. Langkahku terhenti sejenak, aku menikmati malam itu sendiri dengan airmata dipelupuk mataku. Ya, aku menangis malam itu dan aku yakin kau juga sedang menangis di kamarmu. Entah apa alasannya tapi keluargamu tidak mengizinkanmu berhubungan denganku, itulah yang kau katakan padaku disela tangismu beberapa saat tadi, lalu kemudian kau berkata kau ingin mengakhiri semuanya yang mungkin membuat semua usahaku terbuang sia-sia. ‘Maaf’, itulah ucapmu tadi, aku terdiam menatapmu, wajahmu sembab, lingkaran di sekitar matamu membengkak bukti bahwa kau terus saja menangis sebelum kedatanganku. Kau memaksaku menyerah, sebisa mungkin aku masih mencoba melakukan yang terbaik hingga 3 bulan kedepan. Tepat satu hari sebelum tanggal kelahiranmu aku mempersiapkan sebuah hal kecil sebagai kado untukmu, tak kusangka itulah saat terakhir aku menemuimu di sana, setelah itu kau memutuskan ‘resign’ dari pekerjaanmu dan seketika menghilang dari pandanganku. Andai saja kau tau saat itu aku berusaha mencarimu, tapi percuma, terakhir kudengar kabar kau sudah bersama pria lain yang lebih segalanya dariku. Kau tau, itu membuatku kehilangan semangat hidupku. Semua terasa hancur, hari-hariku dipenuhi rasa sesak tanpa tepi. Sebuah kabar itu seketika membuat kenangan kita hancur layaknya cermin yang terjatuh dari atap. Tempat itu, saat itu, suasana itu, aku tidak sanggup lagi menemukannya meski aku mencoba kembali ke tempat yang sama sekali lagi. Aku menunduk di sana menatap perempatan NorthCode yang dulu menjadi awal pertemuan kita, ya, perempatan itu, suatu tempat kecil di sudut desa Backe di kota bagian BlowCity. Aku juga sempat kembali ke jalan setapak malam itu, namun aku sama sekali tidak pernah menemukanmu sampai pada akhirnya terdengar kabar bahwa kau telah menikah. Kau takkan pernah tau betapa hancurnya saat itu, aku kehilangan semuanya, setiap hari hanya terisi oleh kesedihan dan airmata. Aku tidak pernah bisa memejamkan mataku saat rembulan tiba dan membujukku untuk terlelap dibawah pelukannya, setidaknya aku masih bisa berdoa sejenak ditengah kegelapan.
Sejenak aku ingin berhenti bernafas, namun aku tau itu tidak sedikitpun membantuku, andai saja aku bisa. Terkadang fikiran buruk mencoba merasukiku untuk menenggak beberapa botol wine atau anggur semacamnya untuk membuatku terlelap dari keadaan ini sedetik saja, namun aku sadar itu akan semakin merusak hidupku. Aku hancur, langkahku bergerak tanpa arah mencari suatu tempat dimana aku bisa sendiri dan tidak ada orang yang mengenalku.
Malam itu, aku melewati sebuah perkebunan lebat yang kembali mengingatkanku akan dirimu, entah dimanakah aku, aku tidak tau. Semakin jauh aku melangkah, mungkin akan semakin baik. Sayang, kemanapun aku pergi rasa sakit itu terus saja menemani. Ya, beginilah aku, masih sama seperti dulu, kurus kering sedikit putih, atau lebih tepatnya pucat. Aku tidak akan pernah lupa janji yang dulu kau ucapkan meskipun aku tau kau tidak mungkin membuktikannya, entah kenapa aku masih menaruh harap akan kedatanganmu.”
“Krrtt”, suara deritan kursi menggema di ruangan yang semakin meredup. Dia berdiri lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi malas setelah beberapa saat menulis sebuah catatan kecil di belakang buku yang telah dibacanya tadi. “Srrt”, dibukanya sekali lagi bagian paling belakang buku yang berada di tangannya.
“Sekarang, setelah berpuluh tahun berlalu, kau tidak pernah hadir juga. Aku masih ingat dulu jemariku dengan lihainya menari di atas tuts piano ataupun gitar untuk menghiburmu, lihatlah, sekarang jemari mungilku pucat, aku rasa aku tak sanggup mengajaknya menari lagi saat nanti engkau datang. Tapi rasanya tidak, kau takkan pernah datang, aku tau itu. Sejujurnya, aku masih menunggu hingga saat ini, entah berapa lama lagi usiaku akan bertahan, tapi tubuhku terasa semakin melemah. Kau tau, tulang-tulangku sampai terlihat menonjol. Sekarang aku lemah, aku sadar harusnya belum tiba saat seperti ini diusiaku yang sekarang, tapi bayangmu di otakku memaksaku lebih cepat beristirahat. Mungkin sekaranglah saatnya, maafkan aku, maaf karena aku takkan sanggup lagi memainkan tuts itu di hadapanmu, maaf karena aku hanya bisa melihat airmata itu tanpa menghapusnya saat kau menangis malam itu, maaf, maafkan aku. Mungkin sekarang aku tidak akan sangup berjalan jauh, tapi setidaknya aku masih bisa melantunkan lagu ini sekali lagi. Aku harap kau mendengarnya sayang.”
“Huff”, keluh itu mengalir perlahan. Tangan kurusnya terjulur, mencoba meraih tombol kecil di pemutar musik tuanya. “Klik”, lagu itu mengalun kembali dari awal. Pria itu mengayunkan kursi malasnya perlahan sembari mengikuti nada-nada yang terdengar. Dia mulai menggumam.
You could be my unintended choice to live my life extended, (Kau mungkin menjadi pilihan tak terduga untuk menenemani hari-hariku) You could be the one I’ll always love, (Kau mungkin kan jadi satu-satunya yang selalu ku cinta) You could be the one who listens to my deepest inquisitions, (Kau mungkin satu-satunya orang yang mendengarkan semua tanyaku) You could be the one I’ll always love, (Kau mungkin kan jadi satu-satunya yang selalu ku cinta) I’ll be there as soon as I can, (Aku akan disana secepat yang kubisa) But I’m busy mending broken pieces of the life I had before, (Tapi aku terlalu sibuk merajut kepingan hidup yang aku miliki sebelumnya) First there ones the one who challenged all my dreams and all my balance, (Awalnya satu persatu menentang semua mimpi dan keseimbanganku) She could never be as good as you, (Dia takkan mungkin sebaik dirimu) You could be my unintended choice to live my life extended, (Kau mungkin kan jadi pilihan tak terduga untuk menemani hari-hariku) You could be the one I’ll always LOVE, (Kau mungkin satu-satunya yang selalu ku cinta)
Alunan nada tersebut berhenti bersamaan dengan ayunan kursi malas tempatnya duduk, mata cekungnya terpejam, kedua tangannya memeluk kotak tua dan buku itu. Terdapat sebuah tulisan kecil yang tertutup tangannya. You should be the one I’ll always Love, gumamnya lirih, tangannya jatuh terkulai. “J. Sills Nevinton”, tulisan itu terlihat. “Huff”, nafas terakhirnya berhenti.
Cerpen Karangan: Wahyu Danarga Facebook: facebook.com/ergayosa Wahyu Danarga Pujangga Yang Terkurung Dalam Kamar Kosnya